CrispyVeritas

Fadli Zon: Sejarah Harus Berdiri di Atas Fakta, Bukan Sensasi

Menurut Fadli, historiografi tidak bisa berdiri di atas narasi yang labil. Ia menyerukan agar publik, terutama kalangan akademisi, tetap menjunjung prinsip verifikasi, empati, dan intelektualitas. “Kita butuh sejarah yang reflektif, bukan represif; yang adil terhadap korban, tetapi juga jujur terhadap kebenaran,” ujarnya.

JERNIH– Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan sejarah, khususnya menyangkut tragedi nasional seperti kerusuhan 13–14 Mei 1998. Dalam sebuah pernyataan pers yang dikirim Menteri Fadli via pesan WA, Fadli menyoroti polemik seputar istilah “perkosaan massal” yang selama dua dekade terakhir terus mengundang perdebatan akademik, sosial, dan politik.

Fadli menyampaikan apresiasinya terhadap publik yang makin peduli pada sejarah nasional, khususnya masa transisi menuju Reformasi. Namun, ia mengingatkan bahwa pencarian kebenaran sejarah tak boleh bersandar pada asumsi, apalagi sensasi. “Peristiwa Mei 1998 memang menyisakan luka dan polemik. Tapi justru karena itu, sejarahnya harus bersandar pada bukti hukum dan data yang teruji secara akademik,” ujar Fadli.

Ia mengutip hasil investigasi sebuah majalah ternama yang bahkan tak mampu mengungkap fakta kuat soal klaim “perkosaan massal.” Demikian pula, laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) saat itu disebut hanya menyebut angka tanpa disertai data nama, lokasi, waktu kejadian, atau identitas pelaku. “Ketika menyangkut karakter kolektif bangsa, kita tidak boleh sembrono. Jangan sampai bangsa ini mempermalukan dirinya sendiri atas dasar data yang belum konklusif,” kata Fadli, tegas.

Fadli menampik bahwa pernyataannya dimaksudkan untuk menyangkal keberadaan kekerasan seksual dalam peristiwa itu. Sebaliknya, ia dengan tegas mengutuk segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan, baik pada masa lalu maupun kini. “Namun istilah ‘massal’ harus diuji secara ketat. Jangan sampai penggunaan istilah itu menjadi simplifikasi atau malah manipulasi terhadap kenyataan yang kompleks,” katanya.

Menurut Fadli, historiografi tidak bisa berdiri di atas narasi yang labil. Ia menyerukan agar publik, terutama kalangan akademisi, tetap menjunjung prinsip verifikasi, empati, dan intelektualitas. “Kita butuh sejarah yang reflektif, bukan represif; yang adil terhadap korban, tetapi juga jujur terhadap kebenaran,” ujarnya.

Pernyataan Fadli ini muncul di tengah kekhawatiran sebagian pihak terhadap dugaan penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia yang tengah disusun. Namun, Fadli membantah tuduhan tersebut. Ia menegaskan bahwa justru salah satu semangat utama penyusunan buku ini adalah menegaskan peran perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa.

Ia menyebut bahwa pembahasan tentang perempuan dalam sejarah telah diakomodasi secara substansial, mulai dari Kongres Perempuan 1928, peran ormas perempuan dalam pergerakan nasional, kontribusi perempuan di bidang diplomasi dan militer, hingga perjuangan melawan kekerasan dalam rumah tangga dan upaya menuju kesetaraan gender dalam kerangka SDGs.

Dalam konteks ini, Fadli mengajak publik untuk terlibat dalam proses secara terbuka. “Kami akan menyelenggarakan diskusi publik dan siap berdialog dengan berbagai kelompok masyarakat, termasuk tokoh dan komunitas perempuan, akademisi, serta masyarakat sipil. Prinsip keterbukaan, partisipasi, profesionalisme, dan akuntabilitas adalah fondasi kami,” kata dia.

Di ujung pernyataannya, Fadli mengingatkan bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi juga cermin tanggung jawab masa kini dan masa depan. “Mari kita jadikan sejarah sebagai ruang belajar bersama. Bukan medan propaganda, tapi tempat tumbuhnya empati dan kekuatan pemersatu bangsa.” [ ]

Back to top button