Crispy

Hanya Dua Jam Sehari: Kota di Jepang Menantang Warga Melepaskan Ponsel

JERNIH –  Bayangkan hidup hanya dengan dua jam ponsel sehari. Dua jam untuk membaca pesan, membalas email, menonton video, men-scroll media sosial, bahkan menonton film kesayangan. Setelah itu—selesai. Layar gelap, genggaman kosong.

Kedengarannya mustahil, bukan? Namun, itulah yang kini tengah digagas oleh Toyoake, sebuah kota kecil di Prefektur Aichi, Jepang. Dengan keberanian yang langka, pemerintah kota itu mengimbau warganya—tak hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa—untuk membatasi penggunaan ponsel pintar hingga dua jam sehari.

Alasan di balik imbauan ini sederhana sekaligus serius: kesehatan jiwa dan raga. Wali Kota Masafumi Koki menegaskan, terlalu lama terpaku pada layar berakibat pada tubuh yang letih, pikiran yang gelisah, dan tidur yang hilang. “Kami ingin mencegah penggunaan yang berlebihan, yang berujung pada masalah kesehatan fisik dan mental… termasuk gangguan tidur,” ujarnya.

Alasan itu mungkin tidak berlebihan. Betapa sering kita memejamkan mata sambil masih menggenggam ponsel, membiarkan notifikasi menggantikan desahan napas terakhir sebelum tidur.

Bukan Sekadar Anak-Anak

Yang membuat langkah Toyoake berbeda adalah cakupannya. Tidak seperti kebijakan serupa di tempat lain yang hanya menyasar pelajar, aturan ini mencakup seluruh warga, dari bocah berusia enam tahun hingga orang dewasa paruh baya. Anak-anak diminta berhenti bermain gawai setelah pukul 21.00, sementara remaja dan dewasa dianjurkan menutup layar pada pukul 22.00.

Tak ada hukuman bagi yang melanggar. Namun, pesan moralnya jelas: ponsel seharusnya berhenti menjadi pusat kehidupan.

Tetapi, apakah masyarakat siap? Jawabannya, setidaknya untuk sementara, adalah tidak.

Gelombang kritik segera membanjiri media sosial. Seorang warganet menulis, “Saya mengerti maksud mereka, tapi dua jam itu mustahil.” Yang lain menambahkan, “Dua jam bahkan tidak cukup untuk membaca buku atau menonton film di ponsel saya.”

Di Toyoake sendiri, dari 69.000 penduduk, pemerintah menerima puluhan telepon dan email hanya dalam empat hari, dan 80% di antaranya bernada protes. Rupanya, layar kecil itu terlalu berharga untuk sekadar dibatasi.

Namun, Walikota Koki tetap bergeming. Ia mengingatkan bahwa kebijakan ini bukanlah pemaksaan, melainkan ajakan untuk merenung. “Ponsel pintar memang berguna dan sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi saya harap kebijakan ini bisa menjadi kesempatan bagi keluarga untuk memikirkan kembali waktu yang mereka habiskan di depan layar,” katanya.

Ia berbicara bukan tanpa alasan. Anak-anak di Toyoake mulai membolos karena tak sanggup berpisah dari ponselnya saat sekolah. Orang dewasa pun kerap begadang menatap layar, melewatkan tidur, bahkan mengorbankan momen kebersamaan dengan keluarga.

Bayang-Bayang Jepang Modern

Toyoake hanyalah satu titik kecil di peta Jepang, tetapi kegelisahannya adalah cermin seluruh negeri. Pada 2020, sebuah wilayah di Jepang bagian barat sudah mencoba langkah serupa: membatasi anak-anak bermain gim hanya satu jam sehari pada hari sekolah, dan 90 menit saat liburan.

Namun kenyataan berbicara lain. Survei terbaru dari Badan Anak-anak dan Keluarga Jepang mengungkapkan bahwa rata-rata anak muda menghabiskan lebih dari lima jam sehari di dunia daring, bahkan pada hari kerja.

Lima jam yang terasa sekejap di dunia maya, tetapi menggerogoti perlahan dunia nyata.

Maka, pertanyaan besarnya bukanlah apakah warga Toyoake sanggup mematuhi aturan ini. Pertanyaan sesungguhnya adalah: apakah kita semua sanggup hidup tanpa terus-menerus menatap layar di genggaman?

Mungkin, di balik kritik dan keluhan, terselip rasa takut. Takut kehilangan “dunia” yang kita temukan di ponsel, sekaligus takut menyadari betapa besar ketergantungan kita padanya.

Toyoake mungkin hanyalah kota kecil. Tetapi keberaniannya mengingatkan kita pada sesuatu yang jauh lebih besar: bahwa di luar layar biru yang berpendar, ada hidup nyata yang sering kita abaikan.(*)

BACA JUGA: Tahun Depan Korea Selatan Larang Siswa Bawa Ponsel

Back to top button