Hore! Presiden Naikkan Gaji ASN di Tengah Efisiensi Anggaran

- Selain menaikkan gaji ASN, lampiran Perpres 79/2025 juga akan memberlakukan peningkatan kesejahteraan ASN, melalui penerapan konsep total reward berbasis kinerja.
- Pengamat menilai keputusan Presiden ini akan semakin memperburuk kesenjangan dengan pekerja informal.
JERNIH – Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk menaikkan gaji ASN, terutama guru, tenaga kesehatan, dan penyuluh, dosen, TNI/Polri serta pejabat negara. Kebijakan ini menimbulkan respons beragam.
Peraturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025. Perpres ini ditandatangani Prabowo pada 30 Juni 2025 dan berlaku sejak diundangkan pada tanggal yang sama.
Ketentuan tentang menaikkan gaji ASN dalam Perpres, termuat di bagian lampiran pada Program Hasil Terbaik Cepat dalam RKP Tahun 2025. Setidaknya ada 8 program hasil terbaik cepat dalam RKP Tahun 2025. Kenaikan gaji ASN itu tercantum di nomor 6 dari 8 program hasil terbaik cepat itu.
“Menaikkan gaji ASN (terutama guru, dosen, tenaga kesehatan, dan penyuluh), TNI/Polri dan pejabat negara,” sebagaimana tertulis dalam Perpres Nomor 79 Tahun 2025.
Selain menaikkan gaji ASN, lampiran Perpres 79/2025 juga akan memberlakukan peningkatan kesejahteraan ASN, melalui penerapan konsep total reward berbasis kinerja. Kebijakan ini sebagai upaya mendukung terwujudnya kesejahteraan ASN yang adil, layak, dan kompetitif yang akan tergambar dari aspek penggajian penghargaan, dan disiplin Indeks Sistem Merit menjadi 67 persen, serta aspek manajemen kinerja Indeks Sistem Merit menjadi 61 persen.
“Untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan aparatur sipil negara melalui penerapan konsep total reward berbasis kinerja, aparatur sipil negara dapat dilaksanakan melalui penerapan manajemen penghargaan dan pengakuan bagi aparatur sipil negara, serta penerapan sistem manajemen kinerja aparatur sipil negara,” bunyi lampiran Perpres tersebut.
Sementara Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut keputusan Presiden Prabowo Subianto ini akan semakin memperburuk kesenjangan dengan pekerja informal. “Ini adalah sumbu dari adanya keretakan sosial atau gejolak sosial ke depan,” ujar Bhima.
Ia menilai, kenaikan gaji ASN di tengah efisiensi anggaran kurang tepat, dan menunjukkan pemerintah tidak memiliki kepekaan terhadap krisis serta empati. “PPh 21 mereka sudah ditanggung oleh negara. Jadi fasilitas negara itu sudah terlalu banyak bagi ASN. Justru para pencari kerja, para orang yang kerja di sektor informal, ojol itu yang harusnya dinaikkan pendapatannya dengan APBN,” terangnya.
Oleh karena itu, ia menegaskan pemerintah seharusnya menggunakan anggaran hasil penghematan belanja pegawai untuk melakukan stimulus ke UMKM. “Biar ada lapangan kerja di luar dari sektor pemerintahan,” jelasnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA), Herry Mendrofa menilai dengan akan dinaikannya gaji aparatur sipil negara (ASN) maka Presiden Prabowo Subianto telah menganggap birokrasi sebagai sebuah aset. “Ini mencerminkan strategi pembangunan yang menempatkan birokrasi sebagai aset, bukan beban,” kata Herry.
Dalam perspektif institutionalisme, menurut dia, hal ini dapat memperkuat kapasitas negara melalui aparatur yang profesional. Secara psikologis dan politik, jelas Herry, kebijakan ini membangun loyalitas dan legitimasi.
Herry menyebut memang kebijakan ini bisa saja menimbulkan kritikan dan kecemburuan sosial di masyarakat, namun hal tersebut nantinya dapat dimaklumi bila kinerja ASN juga sepadan. “Bisa menimbulkan (kritik dan kecemburuan sosial). Namun kemudian akan dimaklumi ketika berbanding lurus dengan performa yang baik oleh PNS terhadap pelayanan publik,” tuturnya.