Crispy

Jika Trump Kalah, Amerika Terancam Bahaya Besar

Sangat mudah untuk membayangkan Trump (dengan lebih dari 80 juta pengikut di Twitter dan potensi akan menjadi pimpinan jaringan televisi pasca-kepresidenan), dia akan terus menyuarakan keluhan kecurangan pemilu hari demi hari.

JERNIH—Calon Presiden Partai Demokrat dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2020, Joe Biden, pernah mengatakan, ia percaya jika Donald Trump kalah pemilu dan menolak meninggalkan Gedung Putih, banyak pensiunan jenderal yang dulu bekerja untuknya “akan mengawalnya keluar dari Gedung Putih dengan segera”.

Biden dalam wawancara dengan Trevor Noah di “The Daily Show” itu juga mengatakan, bukan pertama kalinya ia menegaskan keyakinan bahwa Trump mungkin berusaha untuk mengutak-atik hasil pemilu. “Catat kata-kata saya, saya yakin dia akan mencoba untuk mencurangi pemilu dan mengada-ada dengan beberapa alasan mengapa pemilu kali ini tidak dapat diadakan,” ujar Biden pada April lalu.

Namun, menurut analisis Chris Cillizza dari CNN, bahaya sebenarnya di sini bukanlah Trump akan mengubah tanggal pemilihan umum atau berusaha untuk mengklaim hak mutlak atas kepemimpinan di Gedung Putih. Suatu hal yang dapat mengancam potensi kepresidenan Biden dan kemampuan Amerika Serikat untuk beralih dari salah satu pemilu paling kotor dalam sejarah modern, adalah jika Trump menolak untuk mengakui kekalahan. Trump kemungkinan juga tidak akan mengakui kemenangan Biden sebagai Presiden AS secara adil.

Ada track panjang Trump menolak untuk mengakui kekalahan dan justru mengklaim sebagai korban kecurangan pasukan jahat, kemungkinan besar ia akan mengandalkan strategi itu lagi jika kalah pada 3 November 2020.

Pertimbangkan hal-hal berikut ini:

-Ketika Trump kalah dalam kaukus negara bagian Iowa dalam serangkaian Pilpres AS 2016 dari Senator Texas Ted Cruz, ia berpendapat ia telah dicurangi. “Ted Cruz tidak memenangkan Iowa, dia mencurinya,” tulis Trump di Twitter. “Itulah sebabnya semua jajak pendapat itu sangat salah dan mengapa dia mendapat lebih banyak suara daripada yang diperkirakan. Sangat buruk!”

-Ketika Trump kalah dalam Popular Vote dari Hillary Clinton pada Pilpres AS 2016, bahkan saat trump memenangkan Electoral College dan kursi kepresidenan. Trump telah mengklaim tanpa bukti, bahwa ada tiga  hingga lima juta suara ilegal telah diberikan kepada Hillary.

-Menyusul kekalahan Partai Republik atas mayoritas kursi DPR pada pemilihan paruh waktu 2018, Trump menyatakan Republik telah menjadi korban kecurangan Partai Demokrat. “Kita harus menyimak penghitungan suara itu. Anda tahu, saya terus mendengar tentang pemilihan dan berbagai langkah penghitungan yang mereka miliki.” Trump menambahkan, Demokrat memenangkan semua pemilihan umum pada pemilihan paruh waktu 2018. “Ada sesuatu yang terjadi di sini. Bisakah kalian merasa sedikit lebih paranoid daripada sekarang?”

-Sebelum pemilihan khusus DPR negara bagian California pada Mei 2020 yang kemudian dimenangkan oleh Partai Republik, Trump menulis di Twitter, “Partai Demokrat sedang mencoba untuk mencuri pemilihan lain. Semuanya dicurangi di sana.”

Jadi jelas terlihat pola kecenderungan Trump untuk meneriakkan potensi kecurangan pemilu oleh lawan jika dia kalah.

Mengingat sejumlah komentarnya di masa lalu, bahkan dalam Pilpres AS 2016 yang dia menangkan, ada alasan untuk percaya bahkan jika Trump meninggalkan Gedung Putih pada Januari 2021, dia tidak akan pernah mengakui dia kalah. Hal itu akan menimbulkan konsekuensi besar tidak hanya pada politik bangsa, tetapi juga pada pondasi luas di mana demokrasi Amerika telah dibangun.

Bandingkan pada 2000, setelah lebih dari sebulan menceritakan dan dengan ketidakpastian tentang siapa yang benar-benar memenangkan negara bagian Florida, Al Gore tidak hanya mengakhiri kampanyenya tetapi juga menyerukan seruan besar untuk persatuan di Amerika Serikat.

“Malam ini, demi persatuan kita dengan rakyat dan kekuatan demokrasi kita, saya menawarkan konsesi saya,”kata Gore pada 13 Desember 2000. “George W. Bush maupun saya tidak mengantisipasi jalan yang panjang dan sulit ini, tentu saja tidak ada di antara kami yang menginginkannya terjadi, tetapi itu telah terjadi, dan sekarang itu telah berakhir. Semuanya terselesaikan, sebagaimana harus diselesaikan, melalui institusi terhormat dari demokrasi kita.”

“Demi persatuan kita dengan rakyat dan kekuatan demokrasi kita.”

“Terselesaikan, sebagaimana harus diselesaikan, melalui institusi terhormat dari demokrasi kita.”

Bisakah kita membayangkan Trump, dalam situasi yang sama di ambang kekalahan, melakukan atau mengatakan hal yang sama? Benar-benar mustahil bukan? Sulit membayangkan Trump akan mengaku kalah secara terhormat seperti itu jika jelas dia tidak memenangkan pemilu.

Apa yang tidak dilakukan oleh kurangnya konsesi formal apa pun dari Trump sangatlah jelas: Untuk pasukan pendukung yang memujanya, mereka juga tidak akan pernah percaya bahwa Biden telah menang atau sebagai presiden yang diakui, terlepas dari apakah peta pemilihan atau Popular Vote yang membuktikannya. Artinya, bagi sebagian Amerika, Biden akan dipandang sebagai presiden tidak sah dan oleh karena itu bukan seseorang yang perlu didengarkan.

Sangat mudah untuk membayangkan Trump (dengan lebih dari 80 juta pengikut di Twitter dan potensi akan menjadi pimpinan jaringan televisi pasca-kepresidenan), dia akan terus menyuarakan keluhan kecurangan pemilu hari demi hari.

Trump memang memiliki kepentingan untuk melakukannya. Seperti yang telah dia tunjukkan berulang kali selama masa kepresidenannya, Trump sangat tidak memedulikan jabatan atau statusnya sebagai suar moral di dalam Amerika Serikat dan seluruh dunia.

Chris Cillizza dari CNN menyimpulkan, buntut dari kekalahan Donald Trump dalam Pilpres AS 2020 tidak sulit untuk dibayangkan: perpecahan yang bahkan lebih mendalam di dalam negeri, antara pendukung Trump dan kalangan lainnya. Perpecahan itu akan membuat janji Joe Biden untuk menciptakan “One America” ​​lagi-lagi menjadi sekadar mimpi kosong. [CNN]

Back to top button