Kalah Perang, Armenia di Tepi Jurang Krisis Politik
Pashinyan menggunakan istilah kudeta ketika petinggi militer menuntut pengunduran dirinya. Pada Sabtu (27/2), ribuan pendukungnya turun ke jalan menolak intervensi tentara dalam urusan politik. Aksi itu dibalas demo kelompok oposisi.
JERNIH—Usai perang dengan Azerbaidjan, Armenia kini berada di tubir jurang krisis politik paling rapuh di negara itu. Kisruh teranyar adalah perselisihan seingat antara PM Nikol Pashinyan dan petinggi militer. Pashinyan mencurigai adanya niat kudeta. Buntutnya ribuan pendukungnya turun ke jalan, yang disambut demonstrasi tandingan.
Senin (1/3), sekelompok demonstran menyerbu masuk ke dalam sebuah gedung pemerintah di ibu kota Armenia, Yerevan. Mereka menuntut agar Perdana Menteri Nikol Pashinyan mengikuti imbauan militer untuk mengundurkan diri.
Tuntutan itu dilayangkan bekas Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Onik Gasparyan, usai dipecat Pashinyan. Keduanya berselisih ihwal penggunaan peluru kendali Rusia, Iskander, dalam perang melawan Azerbaidjan di Nagorno-Karabakh.
Pashinyan dan kabinetnya dituduh “tidak mampu mengambil keputusan yang dibutuhkan,” tulis Gasparyan dalam sebuah petisi yang ditandatangani 40 petinggi militer, termasuk Wakil Kepala Staf, Tiran Khachatryan, pahlawan Perang Nagorno 1994, yang ikut dipecat.
Namun pada Sabtu (27/2) lalu, Presiden Armenia Armen Sarkisian, menolak menandatangani perintah perdana menteri untuk memakzulkan Gasparyan. Keputusannya itu menambah runcing situasi politik di Yerevan.
“Presiden republik, berdasarkan kewenangan yang diberikan Konstitusi, mengembalikan rancangan perintah pemakzulan dengan penolakan,” tulis Kantor Kepresidenan Armenia. Krisis politik saat ini, “tidak bisa ditanggulangi lewat pergantian jabatan secara terus menerus.”
Tidak lama setelah pengumuman itu, Pashinyan menulis di Facebook dia akan mengirimkan rancangan perintah pemecatan lain kepada Presiden Sarkisian. Menurutnya penolakan presiden tidak meredakan krisis “sama sekali.”
Pashinyan dulu memimpin gerakan “Revolusi Beludru” yang menumbangkan bekas PM Serzh Sargsyan yang pro-Rusia, dan menggantungkan kelangsungan kekuasaannya pada sebuah klan politik yang berisikan bekas komandan militer pada Perang Nagorno pada 1992-94.
Buntut kalah perang
Pashinyan menggunakan istilah kudeta ketika petinggi militer menuntut pengunduran dirinya. Pada Sabtu (27/2), ribuan pendukungnya turun ke jalan menolak intervensi tentara dalam urusan politik.
Namun aksi solidaritas itu bersambut demonstrasi tandingan kelompok oposisi. Pada Minggu (28/2), sekitar 5.000 orang tercatat mengitari jalan-jalan protokol ibu kota demi menuntut pemakzulan perdana menteri.
“Pashinyan harus pergi demi kemaslahatan negeri. Posisinya sudah terlalu lemah. Tidak seorang pun menanggapinya secara serius,” kata Vera Simonyan, seorang demonstran berusia 28 tahun.
Bekas Perdana Menteri Vazgen Manukyan, yang dinominasikan partai-partai oposisi buat menggantikan Pashinyan, ikut menyuarakan tekanan terhadap rival politiknya. “Hari ini Pashinyan tidak punya dukungan. Saya mengimbau aparat keamanan dan polisi untuk bergabung bersama militer dan mendukung militer.”
Meski demikian, sejauh ini fraksi oposisi di parlemen gagal mengumpulkan jumlah kehadiran sesuai quorum untuk memakzulkan Pashinyan.
Popularitas sang perdana menteri anjlok setelah Armenia kalah dalam perang selama 44 hari di Nagorno Karabakh. Buntutnya Azerbaidjan kini menguasai sebagian besar wilayah pegunungan di antara kedua negara itu.
Perjanjian damai yang disepakati Pashinyan dinilai mempermalukan Armenia. Namun sang perdana menteri bersikeras dirinya harus menyudahi pertempuran, karena Armenia dikhawatirkan akan menderita kekalahan yang lebih besar jika perang berlanjut.
“Dia harus bertanggung jawab atas kekalahan dalam perang, atas ratifikasi perjanjian yang mempermalukan Armenia,” kata seorang demonstran antiPM kepada AFP. [AFP/DPA]