Al-Masri dibunuh oleh Kidon, sebuah unit di tubuh Mossad yang khusus ditugaskan mengeliminasi target bernilai tinggi. Dalam bahasa Ibrani, Kidon berarti “ujung tombak.”
JERNIH– Agustus lalu seorang pria ditembak mati di tengah jalan di ibu kota Iran, Teheran, saat bersama puterinya. Awalnya media-media melaporkan bahwa korban merupakan seorang akademisi asal Lebanon. Belakangan ketahuan, dia adalah Abu Muhammad al-Masri, orang nomor dua di jaringan Al-Qaidah.
Kabar kematian al-Masri akhirnya teredam oleh derasnya pemberitaan ledakan di pelabuhan Lebanon yang terjadi tiga hari sebelumnya. Walau begitu beragam teori seputar pembunuhannya dengan cepat menjadi bahan gunjingan politik di Timur Tengah.
Al-Masri dibunuh pada 7 Agustus, bertepatan dengan peringatan serangan bom terhadap kedutaan besar AS di Nairobi, Kenya, dan Dar es Salaam, Tanzania. Dan al-Masri sejak awal dicurigai turut merencanakan aksi teror yang menewaskan hingga 200 orang tersebut.
Kini kantor berita Associated Press melaporkan, dua bekas pejabat tinggi AS mengakui al-Masri dibunuh dalam kolaborasi intelijen antara dinas rahasia AS dan Israel. Menurut pengakuan keduanya, CIA menyediakan informasi, sementara Mossad mengeksekusi rencana pembunuhan.
Salah seorang sumber AP pernah bekerja di lingkaran dalam komunitas intelijen AS dan memiliki pengetahuan langsung terhadap jalannya operasi. Sementara yang lain adalah bekas perwira CIA yang mendapat laporan tentang operasi tersebut.
Menurut klaimnya, al-Masri dibunuh oleh Kidon, sebuah unit di tubuh Mossad yang khusus ditugaskan mengeliminasi target bernilai tinggi. Dalam bahasa Ibrani, Kidon berarti “ujung tombak.”
Para pejabat itu membenarkan puteri al-Masri, Maryam, juga merupakan target pembunuhan. AS mencurigai dia sedang disiapkan untuk mengemban fungsi penting di jaringan al-Qaidah dan telah terlibat dalam perencanaan operasi.
Maryam adalah janda Hamzah bin Ladin, putera orang nomor satu di Alqaidah, Usamah bin Ladin. Hamzah terbunuh dalam sebuah operasi antiteror AS di kawasan perbatasan Afghanistan-Pakistan, tahun lalu.
Kematian al-Masri sendiri diyakini menjadi pukulan telak bagi Alqaidah, menyusul rumor tentang kematian pemimpin al-Qaidah saat ini, Ayman al-Zawahiri. Namun kebenaran kabar tersebut sejauh ini belum bisa dipastikan CIA, kata sumber AP.
Iran menepis tuduhan pihaknya melindungi pemimpin Alqaidah. Pemerintah di Teheran merawat sikap permusuhan terhadap kelompok teror tersebut dan mencurigai kampanye hitam AS dan Israel di balik operasi intelijen terakhir.
CIA sebenarnya sudah sejak lama mencurigai pemimpin Al-Qaidah hidup dalam persembunyian di Iran selama bertahun-tahun. Hal ini pun diketahui komunitas intelijen Israel. Al-Masri resminya mendekam “di tahanan” Iran sejak 2003, namun hidup di distrik Pasdaran di tepi Teheran setidaknya sejak 2015.
Pola pembunuhan terhadap al-Masri serupa dengan metode yang digunakan Mossad di masa lalu. Pada 1995, pendiri Islamic Jihad in Palestine, Fathi Shaqaqi, ditembak mati oleh pengendara sepeda motor di Malta. Mossad juga dilaporkan menggunakan cara serupa dalam asasinasi terhadap ilmuwan-ilmuwan nuklir Iran awal dekade lalu.
Yoel Guzansky, peneliti senior di Institute for National Security Studies dan bekas penasihat urusan Iran untuk kantor perdana menteri Israel, mengatakan pihaknya sudah tahu tentang keberadaan tokoh Al-Qaidah di Iran sejak lama.
Israel mengkhawatirkan pemerintahan baru AS di bawah Joe Biden akan kembali berkomitmen pada perjanjian nuklir. Pemerintah Israel di Yerusalem Barat mendesak agar Washington mendesakkan perubahan pada butir perjanjian nuklir untuk melucuti program peluru kendali antarbenua milik Iran.
Asumsi bahwa Iran terbukti menyembunyikan pemimpin Al- Qaidah di wilayahnya dinilai bakal menguntungkan lobi Israel.
[AP,DPA, France24, thediplomat]