Kisah Cinta Semalam Penuh PHP, Duterte Kini Muak Menjilat Cina
Berbagai insiden yang menunjukkan ketidakpedulian Cina akan segala upaya penjilatan yang dilakukan Duterte membuat upaya rujuk dengan Washington menjadi lebih menarik.
JERNIH—Pada 2016, saat Rodrigo Duterte terpilih sebagai presiden Filipina, dia berjanji untuk mengalihkan kebijakan luar negeri negaranya dari Amerika Serikat (sekutu perjanjian lama Filipina) ke ‘perjanjian baru’, mendukung Cina dan Rusia.
Pada perjalanan pertamanya ke Beijing tahun itu, Duterte mencoba membuat tuan rumah senang, dengan menyatakan bahwa ini adalah “Waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Washington”.
“Tindakan dan berbagai maneuver lainnya bersusulan, dimaksudkan untuk menjilat Cina dan melonggarkan hubungan dengan Amerika Serikat,” tulis Derek Grossman, analis pertahanan senior Rand Corp., dalam analisisnya di Foreign Policy.
Tetapi konsistensi dan prinsip tidak pernah menjadi kekuatan Duterte. Maka, manakala dulu ia mudah berbalik, semudah telapak tangan pula ia kini kembali berubah arah: kebijakan ramah Cina-nya berakhir, dan dia melakukan yang terbaik untuk menyelaraskan kembali hubungan Filipina dengan Amerika Serikat.
Dalam beberapa bulan terakhir, Manila telah bergerak untuk memulihkan sepenuhnya hubungan keamanan dan membangun kembali kepercayaan dengan Washington, dalam upaya keras untuk menghalangi Beijing.
Langkah-langkahnya mencakup serangkaian kunjungan tingkat tinggi; pemulihan perjanjian pertahanan yang luas; dukungan penuh Manila atas pakta keamanan AUKUS antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat; pembentukan kembali dialog Strategis Bilateral Filipina-Amerika Serikat; dan memperluas latihan militer bersama tahun depan.
Apa yang menyebabkan perubahan itu? “Mungkin Duterte merasa kurang diperhatikan,”tulis Derek Grossman.
Pelukan hangatnya terhadap Cina tidak pernah membuahkan hasil yang dia harapkan. Dia berharap, misalnya, akan dapat mencapai kesepakatan tentang eksplorasi bersama di wilayah yang disengketakan di Laut Cina Selatan (dikenal di Manila sebagai Laut Filipina Barat), dan memanfaatkan infrastruktur besar dan rencana investasi Beijing, Inisiatif Sabuk dan Jalan (OBOR), untuk mendukung rencana infrastrukturnya yang disebut “Build! Build! Build!”
Namun, sekarang Duterte memiliki waktu kurang dari satu tahun menjabat (masa jabatan enam tahun tunggalnya berakhir pada Juni 2022, seperti yang disyaratkan Konstitusi Filipina) dan tidak satu pun dari impian itu yang terwujud.
Lebih buruk lagi, dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah meningkatkan ketegasannya di Laut Cina Selatan, lanjut Grossman.
Pada 2019 dan awal 2020, Cina mengepung Pulau Thitu, Filipina (juga dikenal sebagai Pag-asa) dengan ratusan kapal milisi. Tampaknya untuk mencegah pihak berwenang Filipina meningkatkan landasan pacu pulau itu dan melakukan perbaikan infrastruktur lainnya.
Belum lagi pada Januari tahun ini, Cina mengizinkan penjaga pantainya untuk menembaki kapal asing sesuai kebutuhan, dan pada Maret lalu menambatkan lebih dari 200 kapal penangkap ikan (banyak di antaranya kemungkinan merupakan kapal milisi maritim) di Karang Whitsun yang disengketakan.
Insiden-insiden ini sangat memperumit pendekatan ramah Cina khas Duterte, dan membuat upaya rujuk dengan Washington lebih menarik.
Secara keseluruhan, tampaknya kebijakan ramah China Duterte sudah mati. Meskipun dia mungkin terus memuji Beijing hingga dia meninggalkan jabatannya pada Juni mendatang, tindakannya kemungkinan besar akan memprioritaskan Washington, menurut kesimpulan Derek Grossman. [Foreign Policy]