Mantan Bos Mossad: Israel Terapkan Apartheid di Tepi Barat, Eksistensi Negara Yahudi Terancam
- Israel menerapkan politik apartheid di Tepi Barat sejak pencaplokan wilayah itu tahun 1954.
- Perluasan permukiman berarti pengusiran penduduk Palestina, dan partai ultranasionalis mendukung.
JERNIH — Tamir Pardo, mantan kepala intelejen Mossad, mengatakan Israel sedang memaksakan sistem apartheid di Tepi Barat, yang membuat eksistensi negara Yahudi terancam.
“Ada negara apartheid di sini,” kata Pardo dalam satu wawancara. “Di sini dua orang diadili berdasarkan dua sistem hukum. Itu adalah negara apartheid.”
Aparheid adalah sistem pemisahan ras. Sistem ini kali terakhir diterapkan di Afrika Selatan (Afsel) dan berakhir tahun 1994. Dalam sistem apartheid, dua rasa hidup terpisah. Ras berkuasa mendapat fasilitas jauh leibh baik dibanding ras dikuasai.
Pardo bukan mantan pejabat senior Israel pertama yang mengemukakan hal ini. Sebelumnya, sejumlah pejabat juga menyuarakan hal serupa.
Kelompok hak asasi manusia di Israel dan luar negeri, serta Palestina, juga menuduh negeri Yahudi itu menerapkan apartheid sejak menduduki Tepi Barat 56 tahun lalu.
Di Tepi Barat, warga Yahudi adalah kelas satu. Orang Palestina berstatus kelas dua, atau mungkin kelas kesekian, karena masih terdapat Yahudi Ethiopia yang berkulit hitam dan sedikit etnis penutur Bahasa Aramaik.
Sistem apartheid dipilih Israel untuk mempertahankan hegemoni Yahudi dari tepi Sungai Yordan smapai ke Laut Mediteranea.
Komentar Pardo, dengan latar belakang sebagai mantan bos Mossad, memiliki pengaruh khusus di Israel, yang terobsesi dengan keamanan.
Pardo menjabat sebagai bos Mossad tahun 2011-2016. Saat memimpin Mossad, Pardo tidak mengatakan apa pun soal perilaku pemerintahnya.
Meski demikian dia yakin masalah paling mendesak bagi negaranya adalah Palestina. Lainnya adalah program nuklir Iran, yang dipandang PM Benjamin Netanyahu sebagai ancaman nyata.
Pardo mengatakan dia berulang kali mengingatkan PM Netanyahu untuk memutuskan perbatasan Israel, atau mengambil risiko kehanduran negara bagi orang Yahudi.
Tahun lalu, Pardo menjadi kritikus paling vokal terhadap PM Netanyahu dan upaya pemerintahnya membentuk kembali sistem peradilan. Ia mengecam tindakan bos lama, yang menurutnya akan membawa Israel menjadi negara diktator.
Pernyataan Pardo, dan perombakan sistem peradilan, muncul ketika pemerintahan sayap kanan Israel — yang didukung partai-partai ultranasionalis yang menginginkan aneksasi Tepi Barat — berupaya memperkuat kendali Isarel atas wilayah Palestina.
Beberapa menteri berjanji menggandakan jumlah permukiman, yang saat ini berjumlah setengah juta jiwa. Penambahan permukiman adalah pengusiran penduduk Palestina dari Tepi Barat.
“Orang Yahudi bisa pergi ke mana pun di Israel, dan melintasi 60 persen wilayah Tepi Barat yang dikuasai,” kata Pardo. “Orang Palestina harus meminta izin untuk pergi dari permukimannya.”
Masyarakat internasional menganggap permukiman Yahudi di Tepi Barat adalah ilegal, tapi tak ada yang bisa dilakukan selain mengecam.
Israel menolak disebut negara apartheid, karena warga Arab punya hak yang sama. Israel memberian otonomi terbatas kepada Palestina di Tepi Barat pada puncak proses perdamaian 1990-an dan menarik tentara dari Gaza tahun 2005.
Pardo mengatakan jika Israel tidak menetapkan perbatasan dengan Palesteina, eksistensi negara Palestina akan terancam.