Maroko vs Prancis: Ketika Sepak Bola Punya Agama
- Tiba-tiba agama dilekatkan dengan sepak bola, dengan menyebut Maroko sebagai tim Muslim.
- Ingat….! Di timnas Prancis ada tiga Muslim. Jadi, kembalikan sepak bola di sudut netral.
JERNIH — Apa yang menarik dari sukses Maroko mencapai semifinal Piala Dunia 2022?
Sebagian orang, yang mungkin melihatnya dari segi sepak bola sebagai olahraga, menyebutnya sukses luar biasa sebuah negara Afrika Utara. Lainnya, masih dengan kaca mata sama, menyebutnya betapa kekuatan sepak bola lebih merata.
Namun, sebagian orang lainnya melihat dari sisi agama. Satu dari sebagian orang yang mengaitkan agama dengan sukses Maroko mengalahkan Portugal adalah Mesut Ozil — mantan pemain timnas Jerman, Real Madrid, dan Arsenal.
Kemenangan Maroko atas Portugal, kata Ozil, adalah kemenangan bagi dunia Muslim. Khaled Beydoun, yang terkenal menyebarkan berita bohong soal India, mencoba menikmati kejayaan dengan mengklaim bahwa sukses Maroko adalah kemenangan bagi semua Muslim di dunia.
Beydoun mengatakan Presiden Prancis Emmanuel Macron mungkin akan jilbab jika Maroko mengalahkan Les Bleus di semifinal.
Sukses Maroko seolah melekatkan kembali sepak bola dengan agama, dan menjadi wacana. Itu terjadi di seluruh dunia. Di Indonesia, beredar video berjudul; Maroko, Timnas Muslim Calon Juara Dunia.
Di luar media sosial, wacana dalam bentuk paling brutal terjadi sejak Maroko mengalahkan Belgia. Di Brussels, kerusuhan merebak usai pertandingan kedua tim.
Di Spanyol, ulama dan imam masjid turun tangan menenangkan umat Islam jelang laga Maroko-Spanyol. Usai laga, tidak ada kabar terjadi kerusuhan di kota-kota di Spanyol yang menyimpan umat Islam.
Di Paris, kerusuhan terjadi di depan Champ Elysee. Pendukung Maroko yang berpawai bentrok dengan polisi. Suasana itu berlanjut setelah Maroko mengalahkan Portugal.
Gilbert Collard, politisi Prancis yang bertugas di Parlemen Eropa, mengecam cara orang Maroko merayakan sukses negara asalnya. “Bendera Maroko berkibar di balai kota Amiens,” kata Collard. “Simbol penguasaan negara kita ini tak tertahankan.”
Prancis adalah negara yang menampung diaspora Maroko tebresar. Sampai 2022, Prancis mengeluarkan izin tinggal 35 ribu orang Maroko. Orang Maroko di Prancis akan keluar rumah jika timnya menang dan merayakannya di jalan-jalan.
Sedangkan orang Prancis menyambut kemenangan timnya di Piala Dunia 2022 dengan biasa saja. Prancis seolah menjadi milik Maroko, dan itulah yang dikeluhkan Gilbert Collard.
Prancis vs Maroko
Kini, Maroko dan Prancis bersiap saling mengalahkan di semifinal Piala Dunia. Apakah Mesut Ozil masih akan mengatakan laga ini adalah pertemuan Muslim dan non-Muslim?
Jika ya, Ozil melupakan satu hal. Les Bleus saat ini memiliki tiga pemain Muslim yang menjadi starter; Ibrahima Konate, Youssouf Fofana, dan Ousmane Dembele. Jika saja Paul Pogba dan N’Golo Kante tak cedera, keduanya pasti dibawa ke Qatar.
Di kubu Maroko, 90 persen pemain mereka berasal dari klub-klub Eropa. Bahkan beberapa pemain lahir di Eropa. Hakim Ziyech lahir di Belanda. Achraf Hakimi lahir di Madrid dan besar di Spanyol, dan hanya sedikit dari mereka yang lahir di Maroko.
Pemain Maroko sadar betapa mereka ditempa oleh tradisi sepak bola Eropa. Mereka berasal dari keluarga Muslim, tapi hidup di lingkungan non-Muslim.
Mereka tidak mengedapankan identitas agama dalam sepak bola. Mereka, seperti pemain dari agama lain, hanya memperlihatkan bahwa diri mereka Muslim saat masuk lapangan dan menyambu kemenangan.
Ketika Eropa memuji kemajuan mengesankan Maroko di Piala Dunia 2022, mengapa dunia lain harus melekatkan label agama ke tim asal Afrika Utara itu.
Apakah jika Maroko mengalahkan Prancis kita akan mengatakan tim Muslim mengalahkan non-Muslim? Jika itu diucapkan, Anda menghapus saudara Muslim ada di timnas Prancis.