Mengenang Hari-hari di Surabaya Sebelum 10 Nopember
- PRI dan BKR sampai pada kesimpulan solusi mengatasi ketiadaan senjata adalah menyerbu depot senjata Jepang.
- Warga dari kampung-kampung sekujur Surabaya dikerahkan untuk menyerbu gudang senjata.
- Dari gudang senjata ini, arek-arek Surabaya ribuan senapan, dan ratusan senapan mesin.
JERNIH — Kita cenderung terpaku pada Pertempuran 10 Nopember, ketika rakyat Surabaya angkat senjata melawan sekutu — lebih tepatnya Recovery of Allied Prisoners of War and Internees atau (RAPWI) — dan tak pernah bertanya mengapa rakyat kota itu mampu melawan, atau memberi perlawanan dengan sangat baik.
Jika pertanyaan itu diajukan, kita harus melihat ke hari-hari sebelum Pertempuan 10 Nopember. Gilles Bertus, dalam Soerabaja in de Vroege Revolutie: De Gewelddadigheden Tegen Nederlanders en Indo-European in Soerabaja Halverwege Oktober 1945, menarasikan satu episode menarik tentang suasana ini.
Bertus memulainya dengan kedatangan unit RAPWI di Surabaya dan mundurnya tentara Jepang yang mengubah suasana. Pada 19 September, beberapa hari setelah kedatangan RAPWI, di Distrik Tundjoeng — dekat Hotel Yamamoto (eks Hotel Oranje) — seorang anak laki-laki Belanda mengibarkan bendera merah-putih-biru yang besar.
Detasemen kecil Kampeitai mengamankan situasi, tapi sekelompok besar pemuda Indonesia datang dari segala penjuru. Kampeitai menolak ikut campur, dan mundur. Kerumunan menyerbu Hotel Yamamoto dan merobek warna biru pada bendera Belanda.
WF Frederick, dalam In Memoriam: Sutomo, menyalahkan sikap provokatif orang Eropa. Menurutnya, sikap provokatif itu tidak hanya pada pengibaran bendera tapi juga mempersenjatai diri dengan senapan rakitan untuk memberi pelajaran kepada orang Indonesia.
Penduduk Belanda, yang mengalami euforia bebas dari tahanan Jepang, meremehkan pemuda Indonesia. Akibatnya, kekerasan dalam skala kecil dan besar pecah di sekujur kota, dan menewaskan Kapten Ploegaman.
Setelah 19 Septembr, situasi jalan-jalan Surabaya berubah drastis. Kelompok Pemuda Indonesia membawa senjata muncul di mana-mana. Belanda menyebut mereka ekstremis, yang menggunakan insiden bendara di Hotel Yamamoto untuk menghasut massa melawan kulit putih.
Pemuda Surabaya rajin mencari cara mematahkan kendali asing terhadap kota mereka. Pada 21 September sejumlah pemimpin pemuda dari berbagai kelompok berkumpul membahas situasi. Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID), kepanjangan tangan pemerintah Indonesia di daerah, terlibat di dalamnya.
Aktivitas pasca insiden bendera tidak bisa dibiarkan tanpa konsekuensi. KNID melihat perlunya tetap tenang. Pemuda Surabaya memutuskan mengambil jalan efektif utnuk menentang kontrol Jepang atas kota. Pada pertemuan ini Pemuda Surabaya membentuk Pemoeda Republik Indonesia (PRI) sebagai organisasi yang memayungi semua organisasi di Surabaya.
Semula, Ruslan Abdulgani — intelektual kharismatik yang didengar semua kelompok — diharapkan memimpin PRI. Namun Abdulgani menolak untuk memberi jalan agar Soemarsono yang berpengalaman mengisi posisi itu.
Anggota PRI adalah kaum intelektual muda dan kelas menengah kampung. PRI bemaksud mendukung KNID dan kaum priyayi atau pejabat pemerintah adat.
Barisan Keamanan Rakyat (BKR) Surabaya juga mulai terbentuk pada awal September. Dr Moestopo diangkat sebagai komandan BKR Surabaya. Awal Oktober 1945, ia mendapat promosi menjadi Panglima BKR Jawa Timur.
Jonosewojo mengambil alih posisi Dr Moestopo di Surabaya. Namun, BKR tidak punya banyak sumber daya perang paling penting, yaitu senjata. Bagi pimpinan BKR, gudang senjata Jepang adalah solusi menarik untuk memecahkan masalah ini.
Banjir Manusia
Tidak mudah mengambil alih kontrol atas kota Surabaya dari tangan Jepang. Namun, itu harus diperjuangkan.
PRI dan BKR sampai pada pemikiran yang sama, bahwa mereka membutuhkan penduduk kampung untuk mengambil alih kekuasaan atas kota. Penduduk kampung di sekitar Surabaya juga semakin dipengauhi propaganda kaum nasionalis.
Pada akhir September 1945, slogan-slogan muncul dalam berbagai bahasa. Ada yang menggunakan Bahasa Inggris yang buruk. Spanduk besar bertuliskan Sekali Merdeka, Selamanya Merdeka, muncul di mana-mana.
Spanduk lain bertuliskan ‘Setiap usaha untuk mendominasi kita akan berluur darh, juga muncul di jalan-jalan. Elite intelektual kota Surabaya memanfaatkan perasaan nasionalis untuk menguasai kota.
Pada 1 Oktober, kekerasan pecah di Surabaya. Massa warga kampung dan pemuda menyerbu Gedung Don Bosco, tempat penyimpanan senjata Jepang.
Di seluruh kota, sebagian besar orang Jepang menyerahkan senjata tanpa perlawanan. Namun di markas Kampeitai, sekitar 30 orang Jepang melakukan perlawanan selama berjam-jam.
Mereka menembak kerumunan massa yang bergerak menyerbu. Tubuh-tubuh pemuda Surabaya berjatuhan. Korban jiwa yang berjatuhan di kalangan orang Indonesia hanya membuat serbuan semakin ganas.
Sesuatu yang alami. Sebab, rakyat Surabaya saat itu mungkin tidak kenal apa yang disebut taktik banjir manusia, seperti dijalankan Nikita Kruschev saat menahan Nazi Jerman di St Petersburg atau Stalingrad.
Rakyat Surabaya tahu yang bisa mereka lakukan adalah bergerak maju untuk memaksa prajurit Jepang lelah menekan pelatuk dan menyerah. Pada 2 Oktober pertempuran berakhir setelah Pasukan Polisi Istimewa (PPI) pimpinan Muhammad Jasin memutuskan berpihak ke Indonesia dan mulai membalas tembakan Kampeitai.
PPI teroganisir dengan baik dan dilatih dan dipersenjatai oleh Jepang. Pada jam-jam pertama penyerbuan mereka tidak berpihak. Bahkan menjauhi konflik dengan Jepang. Namun pada hari kedua penyerbuan PPI mengambil sikap dan membantu rakyat Surabaya.
Willy Meelhuijsen, dalam Revolutie in Soerabaya: 17 augustus – 1 december 1945, memperkirakan jumlah senjata Jepang yang dijarah penduduk Surabya berjumlah 19 ribu senapan, 1.000 senapan mesin, artileri ringan, tank, mobil lapis baja, dan hampir 2.000 truk.
BKR, PRI, dan KNID memutusan tidak menyimpan senjata di depot, tapi mendistribusikannya di antara kelompok perlawanan di dalam kota. Kabar keberhasilan merebut senjata Jepang di Surabaya menyebar ke kota-kota di Jawa Timur, bahkan sekujur Pulau Jawa.
Tidak aneh jika peristiwa serupa terjadi di Malang, Semarang, dan Yogyakarta, serta kota-kota lainnya. Bagi BKR dan PRI, sumber senjata untuk melakukan perlawanan terhadap sekutu, adalah gudang senjata Jepang.
Berbekal senjata dari gudang Jepang, rakyat Surabaya sepenuhnya mengontrol kota. Mereka bertekad tidak boleh ada lagi yang mendominasi mereka, dan menguasai kota.
Ketika sekutu mencoba menguasai Surabaya, pertempuran 10 Nopember tak terhindarkan. Berbekal senjata dari gudang Jepang, BKR, PRI, dan kelompok-kelompok pejuang, melakukan perlawanan berhari-hari sampai sekutu tersudut di parimeter kecil Pelabuhan Tanjung Perak.