Crispy

Menjadi Tionghoa-Myanmar di Tengah Sentimen anti-Cina

  • Populasi Tionghoa di Myanmar 1,6 juta, tapi berpengaruh.
  • Menguasai perdagangan, bisnis, dan pelayanan publik.
  • Jenderal Ne Win etnis Tionghoa-Myanmar. Ia mengawali kekuasaan militer lewat kudeta 1962.
  • Kini, remaja Tionghoa-Myanmar menjadi martir gerakan pro-demokrasi.

JERNIH — “Tolong jangan membenci orang Tionghoa di Myanmar,” ujar seorang ibu yang meratap di sisi jenazah putra kesayangannya, yang menjadi korban keganasan tentara dan polisi.

Khant Nyar Hein, remaja Tionghoa usia 18 tahun, ditembak tentara saat melintas di jalanan Kotapraja Tamwe, Minggu lalu. Seperti remaja Myanmar lainnya, Nyar Hein yang punya nama Tionghoa Lin Yaozong juga terlibat aksi protes.

Situs The Irrawaddy menulis Nyar Hein adalah satu dari 200 warga sipil korban kebrutalan tentara dan polisi. Ia adalah martir bagi demokrasi, dan kematiannya ditangisi banyak orang.

Sang ibu rela melepas jenasah ke pemakaman, tapi pernyataannya kepada pelayat yang hadir mencerminkan kekhawatiran dirinya akan sesuatu yang lebih besar, yaitu sentimen anti-Cina.

Sentimen muncul sejak hari-hari pertama pasca kudeta militer Myanmar, ketika pers memberitakan Beijing dan Rusia memveto usulan PBB mengutuk pengambi-alihan pemerintahan sipil.

Setiap hari pengunjuk rasa menyemut di depan Kedubes Cina di Yangon. Beijing bersikukuh pada sikap-nya, yang membuat publik Myanmar jengkel dan menuduh Cina berada di balik kudeta militer.

Sentimen anti-Cina mempelihatkan bentuk terburuknya tiga hari lalu. Empat pabrik garmen dan pupuk di Distrik Hlaing Tharyar, Yangon — seluruhnya dibangun dengan investasi Cina — dibakar massa.

Kemarahan terhadap Cina kian tinggi ketika Beijing mendesak militer mengambil tindakan keras terhadap pengunjuk rasa. Rejim militer Myanmar merespon permintaan dengan menerapkan darurat militer di Yangon.

Etnis Cina di Myanmar

Myanmar terdiri dari banyak etnis. Setiap etnis punya sebutan berbeda untuk orang Tionghoa. Orang Bamar, atau Burma, menggunakan kata Tayoke untuk menyebut Tionghoa.

Dalam bahasa etnis Mon, orang Tionghoa disebut Krawk. Orang Shan memanggil Tionghoa dengan Khe. Orang Wa, tinggal di perbatasan Cina-Myamar, mamanggil Tionghoa dengan Hox.

Etnis lain; Karen, Chin, Kachin, Taang, dan suku-suku kecil lainnya, juga memiliki sebutan untuk Tionghoa.

Sensus Myanmar 2012 menunjukan terdapat 1,6 juta Tionghoa di Myanmar. Mereka tersebar di perkotaan, dan mendominasi perdagangan, sejumlah sektor bisnis, dan pelayanan publik.

Meski relatif kecil dibanding 53,1 juta penduduk Myanmar, di masa lalu etnis Tionghoa memainkan peran besar dalam politik Myanmar. Jenderal Ne Win adalah etnis Tionghoa-Myanmar yang mengawali kekuasaan militer dengan melancarkan kudeta tahun 1962, menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan U Nu.

Dua lainnya adalah Jenderal Khin Nyunt, Kepala Badan Intelejen dan PM Myanmar ke-9 yang menjabat 25 Agustus 2003 sampai 18 Oktober 2004, serta San Yu — presiden ke-5 Myanmar yang menjabat November 1981-Juli 1988.

Melihat karier ketiganyanya yang menonjol, tak berlebihan jika masyarakat Myanmar melihat Tionghoa dekat ke militer. Tuduhan lebih kasar, Tionghoa-Myanmar mendukung militer.

Kyal Sin Sang Malaikat Tionghoa

Sang ibu, yang bernama Ah Xin, berusaha menjelaskan posisi orang Tionghoa dalam konflik politik saat ini. Kepada beberapa orang yang hadir di pemakaman putranya, sang ibu mengatakan; “Kami lahir di Myanmar. Tidak sama dengan mereka yang lahir di Tiongkok.”

Sang ibu, dengan suara lirih dan air mata menuruni lereng pipi, melanjutkan; “Kami hidup dengan semangat Myanmar. Kini putra saya menjadi korban rakus kekuasaan para pemimpin kudeta. Saya akan menyimpan dendam ini sampai kiamat.”

Khant Nyar Hein bukan satu-satunya Tionghoa-Myanmar korban kebrutalan militer. Orang pasti masih ingat dengan Kyal Sin, populer dengan sebutan malaikat, yang tewas akibat luka tembak di kepala.

Kyal Sin punya nama Tionghoa, yaitu Deng Jia Xi. Ia instruktur Taekwondo berusia 19 tahun, yang membuatnya juga dihormati publik Korea Selatan.

Sebelum berunjuk rasa, Kyal Sin menulis di laman Facebook-nya; “Jika sesuatu terjadi pada saya, sumbangkan organ tubuh saya untuk yang lain.”

Saat unjuk rasa di North Dragon, Yangon, Kyaw Win Ko ditembak mati tentara Myanmar dari jarak dekat. Seperti Kyal Sin, Kyaw Win Ko adalah Tionghoa-Myanmar.

Kyaw Win Ko, yang punya nama Tionghoa Tai Tai, dimakamkan tepat pada hari ulang tahun ke-28. Rekan-rekan Win Ko dari berbagai etnis mengenangnya sebagai pribadi rendah hati dan selalu berbagi.

Sejak militer melancarkan kudeta, Tionghoa-Myanmar bergabung dengan pengunjuk rasa. Mereka menutup toko, sebagai bagian gerakan pembangkangan sipil.

Situs Myanmar Now mencatat banyak dari mereka berunjuk rasa di depan Kedubes Cina, memprotes kebijakan Beijing yang pro-kudeta. Teriakan disampaikan dalam Bahasa Mandarin, sebuah pesan terbuka yang kuat kepada Beijing.

Mereka juga bernyanyi dalam Bahasa Mandarin selama aksi unjuk rasa. Mereka menuntut pembebasan Daw Aung San Suu Kyi demi demokrasi di tanah air mereka, Myanmar.

Di Mandalay, pemuda etnis Tionghoa-Myanmar tergabung dalam Asosiasi Pemuda Burma-Tionghoa. Mereka bergerak setiap kali digebah turun ke jalan.

“Kini, media sosial dipenuhi komentar anti-Cina. Kami sedih,” kata seorang remaja dari Asosiasi Pemuda Burma-Tionghoa. “Saya berharap masyarakat Myanmar tahu betapa kami bagian dari perjuangan mereka.”

Sejauh ini belum ada serangan langsung orang-orang Myanmar terhadap komunitas dan properti Tionghoa. Di Mandalay, yang memiliki banyak penduduk Tionghoa-Myanmar, kehidupan antaretnis masih normal-normal saja.

Namun, kekhwatiran Ah Xin dan orang-orang Tionghoa akan serangan terhadap mereka bukan sesuatu yang berlebihan. Myanmar adalah negara dengan sejarah kekerasan antar-etnis paling berdarah dan panjang.

Back to top button