MK Tolak Permohonan Perludem Soal Hak Pilih Janda/Duda Usia 17 Kebawah
JAKARTA – Gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu terkait permohonan pengujian terhadap UU Nomor 1 Tahun 2015 atau UU Pilkada terkait persyaratan pemilih yang sudah/pernah kawin meskipun belum berusia 17 tahun
Dalam putusan yang dibacakan Hakim MK, Suhartoyo, menjelaskan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Pilkada mengandung rumusan yang bersifat alternatif sepanjang memenuhi persyaratan, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Pemilu tentang pengertian pemilih.
Pada pasal itu justru menjadi batasan tegas terkait siapa saja warga negara yang bisa menggunakan hak pilih. Selain pengertian pemilih dalam a quo (pasal 1 angka 6 UU Pilkada), juga terdaftar sebagai pemilih, yang artinya memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP)
“Siapakah WNI yang bisa memiliki KTP? Pasal 63 ayat 1 UU Adminduk (Administrasi Kependudukan) menyatakan bahwa penduduk WNI, orang asing yang punya izin tinggal, dan berusia 17 tahun atau pernah/sudah kawin, wajib memiliki KTP,” tegas Suhartoyo di Jakarta, Kamis (30/1/2020).
“Merujuk pada hal itu, maka WNI yang punya KTP meski berusia di bawah 17 tahun tapi pernah atau sudah kawin punya hak untuk memilih dan dapat didaftarkan sebagai pemilih,” Suhartoyo melanjutkan.
Ia melanjutkan, batasan kedewasaan dalam hukum adat, secara universal pemahaman dewasa atau belum dewasa secara tegas tidak ditentukan usia, tapi kecakapan melakukan perbuatan hukum.
“Biasanya dianggap dewasa setelah menikah atau pernah menikah, mulai hidup mandiri, bahkan acap kali ukuran dewasa dengan menggunakan ukuran orang telah ‘kuat gawe’ yaitu orang yang sudah bekerja,” kata Suhartoyo.
“WNI di bawah 17 tahun dan sudah/pernah kawin telah mendapat predikat pendewasaan yang melekat dan tidak dapat dihindari oleh subjek hukum yang bersangkutan. Oleh karena itu sebagai konsekuensi yang bersangkutan sudah mampu melakukan perbuatan hukum dan bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan,” Suhartoyo melanjutkan.
Atas dasar pertimbangan itulah, Hakim MK sepakat tidak ada pertentangan aturan atau hukum yang dilanggar ketika menetapkan anak yang belum berusia 17 tahun tapi pernah/sudah kawin sebagai pemilih. Bahkan tak ada perlakukan diskriminatif yang dilakukan negara.
“Batasan diskriminasi sesuai UU HAM adalah pengucilan pada perbedaan atas dasar agama, suku, ras, etnik, antar-golongan, jenis kelamin, bahasa, dan pilihan politik,” kata dia.
Untuk itu, seluruh hakim MK satu suara menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.
Sementara, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan satu pasal di undang-undang pemilu terkait batasan usia pemilih dan kondisi sudah atau pernah kawin, menyulitkan kerja penyelenggara pemilu. Bahkan menilai, Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara rentan dipolitisasi sebab Daftar Pemilih Tetap (DPT) dianggap tidak valid. Apalagi jika terjadi sengketa.
“Ini akan jadi beban yang membuat penyelenggara rentan dipolitisasi, misalnya ada perselisihan hasil Pilpres, KPU banyak disorot karena ada pemilih di bawah 17 tahun dan menjadi keraguan terhadap kualitas DPT,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia menyesalkan atas putusan MK yang menolak seluruh permohonannya terhadap Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. [Fan]