Perampasan Tanah Pemukim Kristen Palestina dan Upaya Israel Mengucilkan Betlehem
- Ini bukan tentang perampasan sekeping tanah, tapi proyek besar mengepung Betlehem dengan pemukiman Yahudi.
- Keluarga Kristen akan berjuang memperoleh tanahnya lewat pengadilan.
JERNIH — Selama 12 tahun Keluarga Kisiya, pemukim desa Kristen bersejarah al-Makhtour di dekat Betlehem, mati-matian mempertahankan tanah leluhurnya. Pekan lalu, mereka terusir setelah pemukim Yahudi — dibantu tentara Israel — merebut tanah itu.
Tentara Yahudi tidak hanya merebut tanah Keluarga Kisiya, tapi juga menghancurkan perkemahan protes yang didirikan dengan dukungan solidaritas internasional dan aktivis perdamaian Israel. Perkemahan itu tak jauh dari lahan 1.000 meter tanah milik Keluarga Kisiya.
“Kami memiliki dokumen Palestina dan Israel, untuk membuktikan kepemilikan kami atas tanah ini,” ujar Alice Kisiya, putri pemilik tanah dan aktivis terkemuka yang menentang permukiman ilegal Yahudi kepada The New Arab.
Perampasan ini adalah bagian kampanye Menteri Keuangan Israel Bazalel Smotrich yang menyetujui pemukiman ilegal baru di Situs Warisan Dunia UNESCO di dekat Betlehem, di Tepi Barat, yang diduduki Israel.
Menurut Smotrich, pemukiman baru bernama Nahal Heletz akan menjadi bagian Gush Etzion — blok permukiman ilegal yang sudah ada di selatan Yerusalem.
Permukiman Yahudi di Tepi Barat, wilayah yang diduduki sejak 1967, ini berisi 700 ribu warga Israel. Permukiman itu dianggap ilegal oleh hukum internasional, terlepas apakah memiliki izin pemerintah Israel atau tidak.
Permukiman Berbahaya
Peace Now, gerakan sayap kiri Israel, mengatakan pemerintah Israel sedang membangun permukiman baru dan berbahaya di jantung kesinambungan geografis Palestina di Betlehem, di tanah yang dinyatakan sebagai Warisan Dunia. Sebagian besar tanah itu milik warga Palestina.
Aktivis Peace Now memperingatkan permukiman permukiman itu akan menyebabkan lebih banyak gesekan dan tantangan keamanan. Dalam pernyataan di X, Peace Now mengatakan Smotrich terus mempromosikan aneksasi de facto Tepi Barat.
Dalam opini 19 Juli, Mahkamah Internasional menyatakan pendudukan Israel atas tanah Palestina selama 76 tahun melanggar hukum, dan menuntut evakuasi semua permukiman yang ada di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Secuil Surga
Bagi Alice Kasiya, tanah leluhur yang dirampas pemukim Israel adalah secuil surga. “Ayah membangun restoran pedesaan menghadap ke lembah yang ditumbuhi pohon zaitun dan kebun anggur, dengan pegunungan Yerusalem di latar belakang,” kata Alice. “Ini adalah surga bagi wisatawan.”
Namun, masih menurut Alice, Israel tidak menyukai semua itu. Mereka menghancurkannya lima kali. Pertama tahun 2012. Kedua tahun 2013. Berikutnnya, tahun 2015 dan 2016.
“Terakhir, atau yang kelima, penghacuran terjadi tahun 2019,” kata Alice. “Tidak hanya restoran yang dihancurkan, tapi juga rumah kami.”
Setelah 2019, tentara Israel melakukan 20 operasi pembongkaran bangunan di atas tanah Keluarga Kisiya. Alice melawan pembongkaran di pengadilan dan di lokasi selama 12 tahun.
“Saya tinggal di sini sejak kecil, dengan kenangan indah dan pahit,” kata Alice. “Tiba-tiba, hidup kami berubah. Sekarang kami tidak dapat menginjakan kaki di tanah kami sendiri karena para pemukim telah merampasnya.”
Israel, menurut Kisiya, mendeklarasikan tanah itu sebagai zona militer tertutup berdasarkan keputusan pengadilan di Yerusalem. Ini menegaskan hak para pemukim atas tanah itu. Menurut Kisiya, klaim itu salah dan dipalsukan.
“Saat ini gubernur militer Israel dan pemerintah sayap kanan yang ekstrem membuat keputusan untuk memperluas permukiman, dan menggusur penduduk yang sah,” kata Alice.
Alice yakin ini bukan tentang tanahnya yang 1.000 meter, tapi Israel berusaha menguasai gunung dan tanah sekitarnya untuk tujuan permukiman.
Pengucilan Betlehem
Senada dengan Alice, Jamil Qassas — aktivis antipermukiman Palestina — mengatakan Israel menggunakan para pemukim dan keputusan militer untuk melaksanakan proyek permukiman. Ia juga setuju dengan cara damai Alice untuk memperoleh haknya.
“Sepetak tanah pertanian itu dimiliki secara pribadi dan satu-satunya ruang bernafas bagi Beit Jala, tapi Israel mencaplok karena lokasinya,” kata Qassas. “Tujuan Israel sebenarnya adalah mengisolasi Betlehem dari Yerusalem.”
Hasan Biereja, kepala kantor Komisi Perlawanan Tembok dan Permukiman Israel di Betlehem, setuju.
“Merampas tanah ini berarti menerapkan sabuk permukiman yang mengisolasi pedesaan barat Betlehem dari kota dan menghubungkan permukiman Betlehem dengan Yerusalem barat,” jelasnya.
Situs itu berada di dalam Area C, yang menurut Perjanjian Oslo 1995, berada di bawah kendali keamanan dan administratif Israel dan membentuk 60 persen wilayah Tepi Barat.
Pembagian itu dimaksudkan untuk lima tahun, tapi Israel melanjutkan dan mencengkeram wilayah itu dengan tindakan militer di Tepi Barat.
“Area C dihuni dan ditanami pohon zaitun, anggur, dan tanaman lain, yang membuatnya menjadi daya tarik wisatawan,” kata Biereja, yang juga mencatat keputusan militer Israel bertentangan dengan hukum humaniter internasional bahwa penjajah bertanggung jawab menjaga properti dan tidak merampasnya.
Betlehem dan sekitarnya, masih menurut Biereja, adalah tanah air orang Kristen. “Tapi saat ini umat Kristen di Betlehem hanya tiga persen akibat pemindahan paksa oleh Israel,” kata Biereja.
Seperti Muslim di Palestina, orang Kristen di Betlehem menderita. Keluarga Kisiya adalah contoh paling nyata. Alice Kisiya bertekad merebut kembali tanah ayahnya, membangun rumah dan restorannya.