CrispyVeritas

Pondok Pinang: Kampung Tua di Batavia yang Dilupakan

Meski kini DKI Jakarta memiliki jargon “Jakarta Kota Global dan Berbudaya”, namun acara ini tidak melibatkan Pemprov DKI Jakarta dan tokoh Betawi dalam hal pendanaan. Konsepnya pertama kali dipresentasikan CGR pada Rabu, 22 Mei 2024 di ruang kerja Rizqi Januar, Lurah Pondok Pinang kala itu. Namun selama presentasi, Rizqi dan staf tampak tidak antusias pada gagasan yang dijabarkan. Bahkan Rizqi tetap melihat layar handphone tanpa bangun dari sofa saat CGR pamit pulang. Perlakuan ini tidak pernah diterima CGR di Kedutaan Besar Belanda dan bertemu kalangan akademisi di kampus-kampus.

JERNIH– Bertempat di Aula Masjid Jami Ni’mattul Ittihad, sisi Jalan Raya Pondok Pinang (dahulu Jalan Ciputat Raya), Kebayuran Lama, Jakarta Selatan, pada Sabtu (28/6/2025), satu tonggak sejarah ditabalkan sastrawan-budayawan Betawi, Chairil Gibran Ramadhan, penggagas acara “Ngobrol Saptu: Pondok Pinang Kampung Lama di Batavia yang Dilupakan”, sebagai talkshow sejarah dan budaya pertama di Pondok Pinang.

Dalam acara yang digelar untuk memperingati HUT ke-498 DKI Jakarta dan Tahun Baru 1447 Hijriyah itu, penulis yang buku-bukunya dikoleksi Universitas Leiden tersebut, bersama Aba Mardjani dan Prof. Dr. H. Edi Sukardi, rekannya di komunitas Masyarakat Peduli Pondok Pinang, mendapat dukungan penuh dari Pusat Studi Betawi UHAMKA (Pasar Rebo), Forum Jurnalis Betawi (Rawa Belong), Ponpes Al Khadijah (Pasar Jumat), Sahabat Budaya Indonesia, Yayasan MJNI, dan LMK RW 04.

Pelaksanaannya sempat diawali rintangan terkait Pondok Pinang yang kental dengan nuansa ormas. Beberapa pihak menyangka acara ini mendapat dana besar dari Pemprov DKI Jakarta dan tokoh-tokoh Betawi. Bahkan beredar kabar bahwa CGR meminta uang sebesar Rp 50 juta kepada MJNI. Padahal acara swadaya ini berjalan atas dedikasi para penggeraknya.

Pondok Pinang, seperti kampung-kampung lain di DKI Jakarta, akrab dengan kegiatan panggung hiburan yang semuanya berpola sama. Namun tidak seperti Condet dan Tenabang yang masyarakatnya sangat peduli dan percaya diri sehingga simpul-simpul masyarakat kerap menggelar talkshow sejarah-budaya, Pondok Pinang sangat jauh tertinggal.

Menurut CGR, hal itu terjadi bukan karena rendahnya tingkat pendidikan warga Pondok Pinang. “Penyebabnya karena sikap masa bodoh warga dan tokoh Pondok Pinang, tidak ada penggerak yang memotivasi, serta tidak ada kepedulian dari lurah dan jajarannya untuk memajukan Pondok Pinang dan memperkenalkan Pondok Pinang ke tingkat nasional. Para politikus yang tinggal di Pondok Pinang dan Perumahan Pondok Indah pun tidak ada yang memiliki pemikiran ke arah sana. Warga hanya tambang mendulang suara, bukan ladang untuk menanam pohon.”

Meski kini DKI Jakarta memiliki jargon “Jakarta Kota Global dan Berbudaya”, namun acara ini tidak melibatkan Pemprov DKI Jakarta dan tokoh Betawi dalam hal pendanaan. Konsepnya pertama kali dipresentasikan CGR pada Rabu, 22 Mei 2024 di ruang kerja Rizqi Januar, Lurah Pondok Pinang kala itu. Namun selama presentasi, Rizqi dan staf tampak tidak antusias pada gagasan yang dijabarkan. Bahkan Rizqi tetap melihat layar handphone tanpa bangun dari sofa saat CGR pamit pulang. Perlakuan ini tidak pernah diterima CGR di Kedutaan Besar Belanda dan bertemu kalangan akademisi di kampus-kampus.

Namun CGR tidak melakukan presentasi pada pengganti Rizqi Januar karena dalam komunikasi via telepon, Wawan Hermawan tidak merespon permintaan pemberian souvenir kepada 60 orang tamu meski ia mengetahui ada tiga lembaga penyumbang souvenir yang justru berasal dari luar Pondok Pinang: Pusat Studi Betawi UHAMKA, Forum Jurnalis Betawi, Ponpes Al Khadijah. Nama Wawan pun tidak dicantumkan sebagai pemberi sambutan bahkan tidak ada di dalam daftar undangan meski kantor kelurahan di sebelah MJNI.

Kehadiran Lurah yang tidak memiliki kontribusi pada talkshow sejarah-budaya pertama di kampung yang dipimpinnya, dikhawatirkan diakui sebagai acara yang diselenggarakan pihak kelurahan. Anggota legislatif yang tinggal di Pondok Pinang, Dr. Kurniasih Mufida dari PKS, Ahmad Dani, Once Mekel, dan Mulan Jameela (ketiganya warga Perumahan PI), juga tidak diundang karena tembok komunikasi yang sulit didobrak.

2

Acara ini dihadiri kalangan ulama, budayawan, sastrawan, sejarawan, akademisi, peneliti, seniman, sineas, pendidik, tokoh pers dan tokoh Betawi. Mendapat dukungan tempat dari Yayasan MJN dan konsumsi dari tokoh muda Jainal Arifin. Selain kalangan luar, acara juga melibatkan “orang dalam”: KH. Syaiful Amri, S Ag., M.Sos (ketua Yayasan MJNI), KH. Hasan Murdli Alwi (ketua DKM MJNI), dan Ust. H. Sofyan Hadi, M.Ag (DKM MJNI).

Demi memberi sentuhan sastra, hadir penyair nasional: A. Rizal (Sanggar Cingkrik S3 Rawa Belong), Chavchay Saifullah (Banten), Dian Mariyana dan Giyanto Subagio (Masyarakat Kesenian Jakarta).

Adapun para pembicara adalah Chairil Gibran Ramadhan, Prof. Dr. Edi Sukardi (Rektor Universitas Muhammadiyah Bogor), Idrus F. Shahab (wartawan senior Majalah TEMPO), M. Syakur Usman (Forum Jurnalis Betawi), dan Soemardjana Sastradirdja (Mahbub Djunaidi Centre). Ahmad Rifqi (Sanggar Silat Cingkrik S3 Rawa Belong) sebagai MC.

Sebelum diskusi, hadir memberi sambutan: Arie Batubara (Betawi Institute), Helmi AJ (Forum Jurnalis Betawi), Heryus Saputro Samhudi (Tokoh Pers Nasional), Jainal Arifin (Tokoh muda Pondok Pinang), Ust. H. Sofyan Hadi, S.Ag (MJNI), dan Soemardjana Sastradirdja (Mahbub Djunaidi Center). Acara dibuka atraksi dari Kampung Budaya Beksi Petukangan, pimpinan H. Naufal Haryawan.

3

Menurut CGR, acara ini digelar untuk membuka mata “orang luar” bahwa ada kampung bernama Pondok Pinang di Jakarta Selatan sehingga tidak hanya mengenal Perumahan PI, dan untuk menggugah kesadaran Kaum Betawi di Pondok Pinang dan DKI Jakarta bahwa Pondok Pinang adalah kampung tua di Batavia yang memiliki akar sejarah-budaya kuat. Hingga awal tahun 1990-an dikenal sebagai kampung ulama, kampung Jawara, dan kampung tukang kayu. Jauh sebelum ada sentra industri kayu di Klender, Jakarta Timur, pasokan papan tulis, bangku, dan meja sekolah se-DKI Jakarta, diambil di Pondok Pinang.

Menurut CGR, dalam 10-20 tahun ke depan, sangat mungkin Pondok Pinang akan hilang secara sejarah-budaya meski wilayahnya tetap ada. Penamaan secara tanpa ilmu jalan-jalan dan tempat di Pondok Pinang Wetan (Utara) dan Pondok Pinang Kulon (Barat) oleh kalangan birokrat dan bisnis, akan menghilangkan jati diri sejarah-budaya Pondok Pinang.

“Para ‘lurah sekolahan’ sangat bertanggungjawab atas hal ini. Mereka lemah terhadap kalangan bisnis yang merusak keberadaan jejak sejarah-budaya Pondok Pinang. Mereka harus cerdas dan berwawasan luas. Jangan hanya berani bersuara saat Subuh Keliling, Maulid Nabi, meninjau banjir, pesta keriaan, dan saat rakyat menjual aset. Lihat permakaman di RT 004 RW 01 yang terus terkikis arus Kali Pesanggrahan. Lurah juga tidak punya daya terhadap Selapa Polri (dahulu Sekopol/Sekolah Polisi) untuk memberi kesempatan kepada anak-anak Pondok Pinang menjadi polisi.”

Konsep mempertahankan jati diri Pondok Pinang, sesungguhnya sudah disiapkan CGR namun tidak diungkapkan. Ia menghindari terulangnya kasus “Duit Betawi” (uang kertas RI dalam nuansa Betawi), konsep yang di perjuangkan sejak tahun 2000 di Bens Radio, catatan budaya 2008, Semiloka Kebudayaan Betawi 2010, Kongres Kebudayaan Betawi 2011, namun ketika muncul pecahan 100 ribu dan 2000 pada tahun 2016, ia dilupakan.

Menurut CGR, ia menggagas tema ini bukan semata karena Pondok Pinang adalah kampung moyangnya, namun karena Pondok Pinang memiliki akar sejarah-budaya yang kuat. “Dalam daftar Particuliere Landerijn tahun 1879 yang dimuat dalam Regering Almanak tahun 1881, nama Pondok Pinang berada di dalam wilayah kabupaten atau regentschap Meester Cornelis. Kala itu, Residen Batavia meliputi tiga regentschap: Batavia Stad en Voorsteden, Meester Cornelis, Buitenzorg.”

Direncanakan, acara serupa dengan tema-tema berbeda akan digelar di tempat yang sama dalam tiap empat bulan. [Betis]

Back to top button