Solilokui

Percikan Agama Cinta: Teladan Agung Sang Penegak Agama Cinta

Padahal, kata Annemarie Schimmel, seorang ahli Islam asal Jerman, hanya sekitar 10 persen saja dari misi kenabian itu waktunya digunakan untuk berperang. Itu pun sifatnya defensif. Selebihnya kurun Sang Nabi Agung itu digunakan demi memuliakan sesama manusia tanpa batas.

JERNIH—Saudaraku,

Tiba-tiba aku teringat pengajian warga “Republik 006.” Sebuah komunitas pengajian di lingkungan komplek tempat aku tinggal.  Malam itu suasana di sekitar lokasi pengajian tampak ramai. Warga satu-demi-satu mulai berdatangan, dari ibu-ibu hingga bapak-bapak. Memasuki ruangan asri beraura klasik dengan hamparan permadani bernuansa merah. Dipercantik dres-code ibu-ibu putih-orange. Membuat tenggat terasa semakin syahdu: jamaah seakan sudah siap menyimak pesan-pesan bergizi sang kiai dengan lahap.

Tak pelak, antusiasme warga terlihat begitu menyala. Pengajian rutin bulanan kali ini memang terasa istimewa. Ya, karena berbarengan dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Deden Ridwan

Benar, riuh-rendah tradisi Maulid Nabi di negeri mayoritas Muslim ini acap kali dirayakan dengan pelbagai model. Mencerminkan kekuatan tradisi Islam yang demikian menyatu dengan masyarakat. Merayakan keragaman budaya dengan cita-rasa lokal yang kental. Melukiskan kecintaan warga kepada sang manusia mulia, penebar kasih-sayang demi semesta.

Ketahuilah. Pengajian bulanan warga “Republik 006” malam itu aura maulid-nya begitu kental. Wejangan diawali dengan pembacaan sholawat, persembahan ibu-ibu. Tak hanya itu, seusai pembacaan Surah Yasin, sebelum siraman ruhani dimulai, kembali lantunan sholawat dikumandangkan.

Kali ini ibu-ibu srikandi Warga Republik 006 menembangkan sholawat Barjanzi dengan khusyu: berisi puja-puji penuh makna tentang keteladanan agung Sang Kekasih Allah, Rasulullah SAW. Merisak lubuk hati terdalam para jamaah.

Simaklah. Keasyikan maulid pun terasa semakin dahsyat karena dilengkapi dengan siraman ruhani yang begitu mendalam sekaligus menyentuh. Penceramah malam itu, Dr. K.H. Sugiarto Badruzzaman, M.A. membuat hadirin semakin sadar bahwa  Islam adalah agama cinta.

“Risalah agama cinta dari Muhammad Saw, Sang Nabi Cinta”, tegas kiai yang juga peraih doktor ilmu tafsir dari PTIQ Jakarta itu. Menurut kiai yang juga pimpinan Pesantren Annajah, Sawangan, Depok, pesan-pesan Islam itu sangat universal, rahmatan lil aalamiin. Pesan hakiki tersebut tecermin dari sosok akhlak agung Nabi Muhammad SAW yang–memakai istilah Ibn ‘Arabi–berbasiskan hermeneutika kasih-sayang.

“Dialah manusia mulia penebar kasih-sayang kepada sesama manusia dan makhluk. Hatinya begitu lembut, namun tegas dalam menyikapi kebatilan”, ujarnya penuh semangat.

Sepakat. Menyimak wacana itu, sungguh salah besar jika Islam disebarluaskan dengan kekerasan atau pedang. Persepsi semacam itu jelas salah kaprah. Muhammad SAW adalah sosok mulia, yang penuh keagungan budi pekerti. Sehingga berkat kemuliaan akhlaknya inilah, Islam bisa menyebar ke seantero dunia.

Ingatlah. Islam bisa  berkembang pesat, bukan karena pedang. Pun kebengisan. Namun sayangnya, cerita hidup Nabi Muhammad SAW dalam sirah nabawi cenderung dipenuhi dan didominasi kisah-kisah peperangan semata; seolah pekerjaan beliau itu berperang melulu: memaklumkan kekerasan. Menyesatkan.

Padahal, kata Annemarie Schimmel, seorang ahli Islam asal Jerman, hanya sekitar 10 persen saja dari misi kenabian itu waktunya digunakan untuk berperang. Itu pun sifatnya defensif. Selebihnya kurun Sang Nabi Agung itu digunakan demi memuliakan sesama manusia tanpa batas. Pandangan semacam inilah yang mesti kita tegaskan; bahkan sekarang pun!

Saudaraku, kajian warga malam itu ditutup dengan sebuah doa. Dilanjutkan ramah-tamah sambil menyantap aneka hidangan lezat dan bergizi. Warga Republik 006 tampak semakin guyub dan tercerahkan: menikmati makanan ruhani sekaligus jasmani.   Pun kita berharap bisa meneladani keagungan akhlak Rasulullah Saw. [ ]

Back to top button