CrispyVeritas

Prabowonomics: Jalan Baru Menuju Keadilan Sosial dan Ekonomi Islam

Dr. Tito Sulistio dari OJK mengapresiasi keberanian pemerintah mengalokasikan Rp1.000 triliun APBN untuk program rakyat. Ia menyoroti Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai investasi jangka panjang bagi kualitas manusia Indonesia. “Itu investasi pada otak rakyat. Dengan gizi yang baik, kita siapkan generasi unggul,” ujarnya. Namun Tito juga mengkritik lemahnya komunikasi pemerintah dalam menyosialisasikan kebijakan visioner ini.

JERNIH– Ketika dunia makin terpolarisasi oleh perang tarif yang dipicu kebijakan proteksionisme Presiden AS, Donald Trump, Indonesia dihadapkan pada pilihan sulit: mengikuti arus kekuatan besar atau merumuskan jalan sendiri yang lebih mandiri dan berkeadilan. Di tengah tekanan dari Amerika dan Tiongkok, Presiden Prabowo Subianto tampil dengan Prabowonomics, sebuah pendekatan ekonomi alternatif yang menegaskan kedaulatan, keadilan sosial, dan keberpihakan kepada rakyat kecil.

Dalam Focus Group Discussion bertema “Prabowonomics di Era Tariff War” yang diselenggarakan GREAT Institute di Jakarta, Kamis (24/4/2025), berbagai ekonom, pelaku usaha, akademisi, dan pejabat negara mengulas kekuatan dan tantangan model ekonomi baru ini di tengah gejolak global.

Diskusi ini dimoderatori langsung Dr. Syahganda Nainggolan, direktur eksekutif GREAT Institute. Saat membuka diskusi, Syahganda menekankan bahwa arah ekonomi global hari ini bukan lagi sekadar persoalan perdagangan bebas, tetapi sudah menjelma menjadi perang ekonomi (economic war) dalam skala penuh, yang tak bisa dihadapi dengan pendekatan bisnis seperti biasa.

“Perang tarif ini bukan hanya soal bea masuk. Ini adalah babak baru dari geopolitik global, di mana negara-negara besar menggunakan ekonomi sebagai senjata dominasi. Indonesia tidak boleh naif,” kata Syahganda.

Menurutnya, Prabowonomics adalah langkah strategis untuk memosisikan Indonesia secara independen dan berdaulat dalam arena konflik ekonomi dunia yang semakin tajam. “Kita harus keluar dari bayang-bayang kekuatan besar dan mulai berpikir dalam kerangka perang ekonomi—dengan strategi, keberanian, dan kemandirian produksi,” ujarnya.

Syahganda juga mengkritik tekanan bilateral dari AS dan Tiongkok terhadap Indonesia. “Keduanya menekan kita secara sepihak. Tapi Prabowo menunjukkan sikap independen yang tepat. Kita bukan pion, kita bangsa merdeka,” katanya.

Menggeser Arah Ekonomi, Menata Ulang Struktur Sosial

Wakil Menteri Koperasi, Dr. Ferry Joko Juliantono, menegaskan bahwa kebijakan ekonomi Prabowo telah menyimpang secara sadar dari jalur neoliberalisme yang mendominasi selama dua dekade terakhir. “Prabowo tidak hanya menawarkan program, tetapi juga paradigma baru. Ini bukan kosmetik, ini reformasi struktural,” ujarnya.

Menurut Ferry, Prabowonomics berakar dari pengalaman panjang rakyat desa yang terpinggirkan. “Warga desa itu sudah lama rindu negara hadir. Selama ini yang hadir justru tengkulak, makelar, dan lintah darat. Prabowo ingin menghentikan itu,” kata Ferry.

Program unggulan seperti Koperasi Merah Putih, Apotek dan Klinik Desa, serta Toko Sembako dan Gudang Desa akan memperkuat rantai logistik sekaligus layanan dasar warga.

Dr. Tito Sulistio dari OJK mengapresiasi keberanian pemerintah mengalokasikan Rp1.000 triliun APBN untuk program rakyat. Ia menyoroti Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai investasi jangka panjang bagi kualitas manusia Indonesia. “Itu investasi pada otak rakyat. Dengan gizi yang baik, kita siapkan generasi unggul,” ujarnya.

Namun Tito juga mengkritik lemahnya komunikasi pemerintah dalam menyosialisasikan kebijakan visioner ini. “Sayangnya, tidak dikemas dengan narasi yang menyentuh akar persoalan,” katanya.

Pandangan Tito diamini oleh I Made Dana Tangkas, mantan eksekutif di industri otomotif Jepang. Ia menekankan pentingnya industrialisasi berbasis desa dan UMKM. “Toyota itu dulunya UMKM. Kalau desa hanya jadi pasar, kita tak akan pernah maju. Desa harus jadi produsen,” tegasnya.

Dr. Anthony Budiawan menekankan strategi hilirisasi dan import substitution industrialization (ISI). “Kita perlu dorong hilirisasi produk lokal dan bangun industri komponennya. Meski usang, ISI itu tetap relevan,” ujarnya.

Prof. Perdana Wahyu Santosa dari Universitas Yarsi menyebut tariff war sebagai blessing in disguise, membuka peluang ekspor ke Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Tapi ia juga mengkritik posisi tawar Indonesia yang lemah. “Kita terlihat pasif. Jangan sampai kita didikte dan diketok-ketok kepalanya oleh kekuatan asing,” katanya.

Spirit Islam dalam Prabowonomics

Prof. Dian Masyita, PhD, menyebut Prabowonomics sejalan dengan nilai-nilai Islam. Ia mengutip Surat Al-Hasyr ayat 7: “Supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja dari kalangan kamu.” Menurutnya, Pasal 33 UUD 1945 menjadi dasar konstitusional dari kebijakan ekonomi kerakyatan ini.

Dr. Poempida Hidayatulloh bahkan menyebut pendekatan ini sebagai “ekonomi Robin Hood.” “Prabowo menghadirkan keadilan ekonomi dalam bentuk nyata, bukan sekadar jargon,” ujarnya.

Di tengah perang dagang dan tekanan global, para peserta FGD sepakat bahwa Prabowonomics adalah jalan keluar yang konkret dan ideologis. Ia menawarkan sebuah arah baru: bukan hanya sebagai reaksi, tetapi sebagai strategi ekonomi dalam dunia yang sedang berperang.

Dr. Ferry menutup diskusi dengan seruan, “Mari kita bantu Presiden Prabowo mewujudkan mimpi besar ini—dari koperasi desa hingga swasembada pangan dan energi. Ini bukan mimpi elitis, ini mimpi rakyat.”

Sementara itu, Dr. Syahganda mengingatkan kembali pentingnya membangun kesadaran economic war sebagai dasar dari segala perumusan kebijakan. “Jika kita tidak siap secara mental dan strategi, maka bangsa ini hanya akan menjadi pasar. Padahal kita punya semua potensi untuk menjadi pemain utama,” katanya.

Prabowonomics adalah janji dan sekaligus tantangan. Ia hendak membuktikan bahwa di tengah dunia yang makin liberal dan oportunistik, Indonesia bisa memilih jalan sendiri: jalan yang adil, mandiri, dan manusiawi. []

Back to top button