Crispy

PRT Hong Kong Asal Padang dapat Kompensasi Rp1,67 Miliar

  • Dia dibakar dengan besi dan dipukuli dengan rantai sepeda, meninggalkan luka fisik dan trauma mental.
  • Penganiayaannya baru terungkap setelah dia mencari perlindungan konsuler, dan akhirnya kembali ke Indonesia pada 2014 tanpa menerima gaji.

JERNIH – Seorang perempuan Indonesia yang dipukuli dan dibakar oleh mantan majikannya di Hong Kong dan mengalami penderitaan kronis, mendapat ganti rugi lebih dari US$110.000 atau sekitar Rp1,67 miliar, Jumat (10/2/2023).

Pelecehan yang menimpa pembantu rumah tangga (PRT) bernama Kartika Puspitasari, 40 itu pernah menjadi berita utama satu dekade lalu dan memicu protes atas perlakuan terhadap pekerja rumah tangga di Hong Kong. Majikannya dihukum dan dipenjara pada tahun 2013, lewat sidang pengadilan yang viral ketika itu mengingat kampanye kekerasan dan penghinaan selama dua tahun terhadapnya.

Dia dibakar dengan besi dan dipukuli dengan rantai sepeda, meninggalkan luka fisik dan trauma mental. Penganiayaannya baru terungkap setelah dia mencari perlindungan konsuler, dan akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 2014 tanpa menerima gaji.

Pada hari Jumat, seorang hakim memutuskan bahwa Puspitasari telah “diperlakukan secara tidak manusiawi” dan memberinya HK$868.607 (US$110.650). Di rumahnya di kota Padang di pulau Sumatera Indonesia, Puspitasari menangis saat menerima berita melalui panggilan video. “Saya kehilangan kata-kata untuk semua kebaikan Anda,” katanya, berterima kasih kepada pengacara dan teman-temannya.

Eni Lestari, juru bicara Badan Koordinasi Migran Asia di Hong Kong, menyebut kasus Puspitasari ekstrim, tetapi “tidak terisolasi”. Sekitar 340.000 pekerja rumah tangga migran , terutama perempuan dari Indonesia dan Filipina, bekerja di Hong Kong.

Kelompok HAM telah lama berargumen bahwa sistem kota membuat pekerja rumah tangga rentan terhadap eksploitasi. Banyak dari mereka tidak dapat melarikan diri dari tempat kerja yang tidak bersahabat karena persyaratan harus tinggal bersama majikan mereka. Sebagian besar korban tidak mampu mencari ganti rugi di Hong Kong, terutama setelah visa mereka berakhir pada akhir kontrak, kata para aktivis.

Di pengadilan, Puspitasari bersaksi bahwa pelecehan itu meninggalkan bekas luka hitam yang menonjol di punggung, perut, dan lengan kirinya. Pengacara mengatakan parahnya cedera membatasi pilihan pekerjaannya di masa depan dan dia tidak pernah mampu membayar operasi serta perawatan medis yang dia butuhkan.

Pada 2017, pengadilan Hong Kong pernah menghadiahkan US$103.400 (Rp1,57 miliar) kepada Erwiana Sulistyaningsih, yang disekap, kelaparan, dan dipukuli hingga kehilangan kendali atas fungsi tubuhnya. [AFP]

Back to top button