Revisi Aturan Pemberian Kompensasi Korban Peristiwa Terorisme Belum Disahkan
JAKARTA – Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban guna memenuhi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hingga kini belum juga disahkan.
“Kita punya harapan yang sama PP ini segera disahkan,” ujar Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK), Edwin Partogi, di Jakarta, Rabu (1/7/2020).
LPSK bersama sejumlah kementerian dan lembaga terkait seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung, dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) telah membahas draf revisi PP tersebut. Dimana pembahasan terakhir dilakukan pada akhir tahun 2019 silam.
Pada pembahasan itu, lanjut Edwin, salah satu isu yang menjadi perdebatan terkait mekanisme pemberian kompensasi bagi korban peristiwa terorisme yang terjadi setelah UU Nomor 5 Tahun 2018 disahkan.
“Jadi ada pandangan dari Kejagung yang meminta agar pelaksanaan eksekusi kompensasi dilaksanakan setelah putusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Namun pemberian kompensasi di UU Terorisme, hanya mensyaratkan putusan pengadilan tanpa frase berkekuatan hukum tetap.
Karena itu, setelah Desember 2019, pihaknya belum mendapatkan perkembangan mengenai pembahasan PP tersebut. Bahkan pada Maret 2020 lalu, sempat meminta kepada Wapres Ma’ruf Amin serta Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko agar PP segera disahkan.
Menurutnya, PP tersebut dianggap penting karena mengatur syarat serta pelaksanaan pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme yang terjadi sebelum UU Nomor 5 Tahun 2018 disahkan.
Dimana pada Pasal 43L ayat (4) menyebutkan korban masa lalu dapat mengajukan permohonan kompensasi, bantuan medis atau psikologis maksimal tiga tahun sejak UU berlaku.
“Artinya, waktu yang tersisa hanya sekitar satu tahun hingga Juni 2021 bagi korban masa lalu untuk mengajukan kompensasi,” ujar dia. [Fan]