Satu Dekade Perjuangan Muslim di Daegu Menghadirkan Masjid
- Warga menentang pembangunan masjid, kelompok agama lain menggeloarkan Islamofobia.
- Pengadilan Tinggi mendukung pembangunan masjid, tapi warga banding ke Mahkamah Agung.
JERNIH — Daehyeon-dong, permukiman yang terletak di Distrik Buk, Daegu — kota terbesar ketiga di Korea Selatan — tidak jauh beda dengan pemukiman lain.
Orang-orang yang lahir dan besar di kawasan itu saling kenal. Mereka ngobrol santi di gang. Restoran dan kafe melayani mahasiswa Universitas Nasional Kyungpook, tak jauh dari permukiman.
Namun keadaan tak lagi damai di sebuah gang sempit yang mengarah ke lokasi pembangunan masjid, tempat ibadah umat Islam. Pembangunan itu gagal setelah penduduk menggelar protes hampir setiap hari.
Kini kerangka logam yang akan menjadi masjid hampir terlantar. Sebuah tenda kuning kecil terpasang di sebelah properti, tempat penduduk pernah menggelar protes rutin.
Kohabitasi tak nyaman berlangsung lebih setahun sejak seorang mahasiswa Muslim Universitas Nasional Kyungpook memutuskan membangun masjid berlantai dua, setelah menghancurkan bangunan kecil yang mereka gunakan sebagai tempat ibadah sejak 2014.
Pembangunan masjid disetujui Kantor Distrik Buk pada September 2020. Bangunan di atas lokasi dibongkar Desember 2020. Bulan berikut terjadi gesekan luar biasa antar umat Islam dan warga Korea.
Warga mengeluhkan kebisingan, debu, suara jamaah, dan bau makanan asing. Februari 2021, otoritas distrik mengeluarkan perintah penghentian pembangunan.
Sejak saat itu pembangunan ditunda tanpa batas waktu, dan konflik semakin dalam.
Saat ini umat Islam bekumpul untuk shalat lima waktu di sebua rumah kecil di sebelah lokasi pembangunan. “Tempat ini terlalu kecil untuk menampung semua jamaah,” kata Muaz Razaq, mahasiswa PhD ilmu komputer berusia 25 tahun, kepada Korea Times.
“Kami sangat membutuhkan ruang besar, bukan ruang untuk 20 sampai 25 orang. Setelah masjid baru jadi, rencananya rumah ini untuk menampung Muslimah,” lanjutnya.
Di sini, shalat dilakukan dengan tergesa-gesa. Muslim seolah ketakutan. Mereka takut dianggap mengganggu ketentraman, dan meninggalkan tempat secepatnya setelah shalat berjamaah usai.
Jauh dari Sempurna
Park Jeong-sook, yang tinggal tepat di sebelah lokasi pembangunan masjid, mengatakan tidak mungkin bisa tinggal di rumahnya jika masjid selesai dibangun.
“Ini bukan masalah agama,” katanya. “Saya juga akan menentang pembangunan tempat ibadah lain.”
Menurutnya, tidak ada orang waras sudi bertetangga dengan bangunan serba-guna, tempat orang-orang dalam jumlah besar lalu-lalang setiap hari.
Menurutnya, selama tujuh tahun terakhir keluarganya harus menahan suara keras setiap kali jamaan mengadakan pertemuan besar, terutama selama Ramadhan.
“Saya bahkan tidak tahu apa itu Ramadhan sebelum saya pindah ke sini,” katanya. “Sepertinya setiap Muslim di Daegu berkumpul di sini setiap matahari terbenam dan makan bersama.”
Selain suara keras, Park juga mengeluhkan bau eksotis makanan umat Islam. “Itu juga membuat saya tidak bisa tidur sama sekali,” keluhnya.
Menariknya, Park tidak melaporkan keluhannya ke kantor distrik. Ia tidak ingin mempersulit mahasiswa asing, yang datang jauh dari negeri asal merka.
Hubungan Park dengan tetangga Muslim di sekitarnya tidak terlalu buruk sampai muncul keputusan pembangunan masjid.
“Kami tidak menyangkal kebebasan beragama mereka, dan mengatakan mereka harus meninggalkan lingkungan,” kata Kim Jeong-ae, wanita berusia 40 tahun yang memimpin gerakan antimasjid. “Yang kami inginkan adalah mereka menemukan situs yang tepat dan tidak menimbulkan masalah.”
Rencananya, masjid yang akan dibangun berlantai dua, dengan menara menjulang setinggi 20 meter. Park dan Kim juga khawatir Muslim mencoba membeli rumah di sekitar lokasi sebagai cara memperluas bangunan.
“Agen properti datang ke pemilik rumah dan bertanya apakah akan menjual rumah mereka,” kata Kim. “Ini tidak masuk akal.”
Islamophobia
Muslim di lokasi pembangunan masjid mengatakan proses pembangunan mereka sah, karena disetujui dan kebebasan beragama harus dijamin.
“Kebutuhan spiritual Muslim harus diperhatikan,” kata Muaz Razaq. “Di sini ada lapangan sepak bola untuk memenuhi kebutuhan akan kesehatan fisil. Maka di sini juga perlu ada fasilitas untuk memenuhi kebutuhan spiritual.”
Menurut Razaq, panitia pembangunan masjid kaget ketika terjadi protes. Sebab, sejak 2014 tempat itu digunakan sebagai tempat ibadah, dan penduduk tahu.
Mahasiswa mengatasi keluhan tetangga akan kebisingan dengan memasang dinding kedap suara dan cerobong asap. Namun, penduduk setempat menolak bernegosiasi.
Kebuntuan menjadi intens yang membuat kedua pihak memasang kamera pengintai di sekitar gang untuk saling mengawasi. Penduduk memasang kamera karena takut diserang Muslim yang marah akibat aksi protes warga.
Muslim memasang kamera di lokasi konstruksi menyusul tuduhan beberapa warga membuang sampah di tempat itu.
Kelompok agama lain bertindak terlalu jauh dengan memasang spanduk berisi ujaran kebencian dan komentar Islamofobia. Seperti; Muslim yang membunuh secara brutal keluar dari tempat ini. Lainnya; Teroris. Islam agama jahat yang membunuh orang.
“Jika penduduk setempat menyerang rencana pembangunan masjid, kelompok Protestan menyerang agama kami,” kata Razaq. “Itulah yang membuat kami malu dan secara psikologis terganggu.”
Kasus ini dibawa ke pengadilan setelah umat Islam mengajukan gugatan terhadap kantor distrik agar penangguhan dibatalkan. Penagdilan distrik memutuskan mendukung mereka pada Desember 2021, dengan mengatakan perintah administratif dikeluarkan berdasarkan keluhan tetangga bukan alasan hukum.
Pada 22 April, pengadilan banding memutuskan mendukung Muslim, menolak banding tetangga. Mereka berencana membawa kasus ini ke Mahkamah Agung.
Siapa pun yang memenangkan pertarungan hukum tidak akan membuat permukiman itu kembali seperti dulu. Friksi akan terus terjadi.
“Dulu kami hidup damai dengan mahasiswa asing, sekarang kami tidak punya pilihan selain bertarung,” kata Kim. “Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk melindungi hak kami mengejar kebahagiaan.”
Razaq mengatakan; “Kami siap berbicara dengan warga, tapi jika kami diusir itu tidak akan menyelesaikan masalah.”