CrispyVeritas

Siapkah Negara-negara ASEAN Mempercayai Vaksin Cina?

“Jika uji klinis (di Bandung) memberikan hasil yang layak, Cina secara medis dapat bekerja sama dengan negara Asia atau Afrika lainnya dan menyediakan vaksin untuk lebih banyak negara. Tapi jika uji coba gagal, soft power Cina di Indonesia akan turun,”kata Teuku Rezasyah

JERNIH– Fadli Barjadi Kusuma membatu ketika ia tiba di sebuah gedung fakultas kedokteran universitas yang megah dan rindang di kota kelahirannya di Bandung, pertengahan Agustus lalu. Pengemudi ojek itu berada di sana untuk mengambil bagian dalam uji klinis tahap akhir dari vaksin Covid-19 yang dibuat oleh Sinovac Biotech yang berbasis di Beijing.

“Saya sangat takut, karena hidup saya terancam. Tapi saya sudah memutuskan untuk menjadi relawan, saya tahu risikonya, jadi saya akhirnya siap. Insya Allah saya akan baik-baik saja,”kata Fadli, 32 tahun.

Fadli yang mengetahui adanya uji coba tersebut dari seorang kerabat, ingin menjadi sukarelawan karena pekerjaannya meniscayakan kontak fisik dengan orang lain. “Saya ingin melindungi diri saya sendiri dan membantu pemerintah. Saya sangat terpengaruh oleh pandemi ini. Saya tidak bisa mendirikan bisnis sendiri karena saya tidak punya uang, pekerjaan langka, jadi sulit sekali pun hanya untuk makan,”kata ayah tiga anak yang berpenghasilan sekitar Rp 2 juta (140 dolar AS) sebulan itu.

Fadli telah menerima dua dosis dalam uji coba vaksin. Tiga bulan setelah dosis keduanya, Fadli mengatakan dia merasa luar biasa dan cukup percaya diri untuk mengemudikan kendaraan roda dua di jalanan kota Bandung.

Dia telah membujuk orang yang dicintainya untuk mendaftar ikut uji coba –istri, ipar perempuan dan tiga kerabatnya telah menerima dua suntikan–meskipun ibu dan kakak perempuannya tidak diizinkan untuk ikut serta karena tekanan darah tinggi.

Indonesia, yang telah mencatat lebih dari 450.000 infeksi virus corona dan lebih dari 15.000 kematian, telah menjadi kunci utama dalam upaya Beijing untuk meyakinkan tetangga Asia Tenggara bahwa Cina—dibanding negara-negara Barat atau Rusia— harus menjadi pilihan pertama mereka untuk memasok vaksi yang efektif dan dapat dipercaya. Memenangkan Indonesia–negara terbesar di Asia Tenggara dengan populasi 270 juta orang–akan menempatkan Cina di jalan menuju kemenangan citra kehumasan di wilayah yang sudah menjadi pusat persengketaan antara Washington dan Beijing untuk mendapatkan pengaruh atas Laut Cina Selatan dan wilayah Mekong itu.

Bagi Beijing, tanda-tanda awalnya cukup menggembirakan. Bulan lalu, setelah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi, Menteri Luhut Pandjaitan–yang menjadi pengawas investasi Cina di Indonesia dan merupakan asisten tepercaya Presiden Joko Widodo—mengatakan bahwa Beijing mendukung Jakarta dalam upayanya untuk menjadi hub regional untuk produksi vaksin.

Cina saat ini menyumbang empat dari 11 kandidat vaksin dalam tahap akhir uji klinis di seluruh dunia. Negara itu juga mengumumkan akan bergabung dengan Covax, upaya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memastikan distribusi vaksin yang adil di seluruh dunia, terutama ke negara-negara miskin.

Beijing saat ini sedang merundingkan peluncuran uji coba vaksin tahap akhir di Filipina, sambil menjanjikan akses ke Malaysia dan negara-negara Mekong di Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, dan Myanmar. “Dalam beberapa bulan mendatang, Cina akan terus mendukung negara-negara ASEAN untuk menyediakan vaksin bagi warga mereka. (Kita semua) berpikir vaksin akan menjadi solusi akhir untuk Covid-19, “kata Deng Xijun, duta besar Cina untuk ASEAN, bulan lalu dalam webinar yang digelar sebuah LSM, Foreign Policy Community of Indonesia.

“Vaksin Cina terbukti aman dan efektif tanpa reaksi merugikan yang serius. Dan Cina telah berjanji pada beberapa kesempatan untuk menyediakan negara-negara ASEAN vaksin berdasarkan prioritas, ketika pengembangan mereka selesai dan tersedia untuk digunakan,” Deng menambahkan.

Namun, meski peluang bagi ekonomi terbesar kedua di dunia itu untuk meningkatkan kekuatan lunaknya di kawasan ini tinggi, begitu pula taruhannya. Kecurigaan Indonesia terhadap Beijing telah meningkat dengan kehadiran kapal penangkap ikan Cina di dekat Kepulauan Natuna, perairan yang dipandang Beijing sebagai bagian dari daerah penangkapan ikan tradisionalnya, namun dipandang Jakarta sebagai bagian zona ekonomi eksklusifnya.

“Keterlibatan Indonesia dengan vaksin Cina akan memberikan kemenangan hubungan masyarakat yang besar bagi Beijing jika berhasil,” kata Teuku Rezasyah, dosen Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, Bandung. “Jika uji klinis (di Bandung) memberikan hasil yang layak, Cina secara medis dapat bekerja sama dengan negara Asia atau Afrika lainnya dan menyediakan vaksin untuk lebih banyak negara. Tapi jika uji coba gagal, soft power Cina di Indonesia akan turun,”kata Teuku.

“Diplomasi vaksin juga dapat membantu membentuk pandangan di Filipina,” kata Aaron Jed Rabena, seorang peneliti di wadah pemikir Asia-Pacific Pathways to Progress.

Kapal penangkap ikan Filipina juga mengalami perselisihan dengan nelayan Cina mereka, sementara kedua negara memiliki perselisihan teritorial yang telah berlangsung lama di Laut Cina Selatan. Keberhasilan dengan vaksin mungkin juga dapat melawan anggapan bahwa Cina–entah bagaimana–harus disalahkan atas virus tersebut karena kota Wuhan di Cina adalah tempat kasus pertama yang dikonfirmasi.

“Saya pikir Cina sangat ingin memperbaiki citra negatif yang didapatnya di seluruh dunia karena Covid-19,” kata Rabena.

Uji coba di Bandung sejauh ini berjalan lancar, terus berlanjut bahkan setelah Brasil menghentikan sementara uji cobanya pekan ini setelah kematian seorang sukarelawan. Belakangan diketahui bahwa kematian–bunuh diri– itu tidak terkait dengan uji coba, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa penundaan itu mungkin bermotif politik. Presiden sayap kanan Brasil, Jair Bolsonaro, yang mengkritik vaksin “dari negara lain itu” dan mempertanyakan keamanannya, sebelumnya mengklaim bahwa orang Brasil telah digunakan sebagai kelinci percobaan.

Di Indonesia, Sinovac telah melisensikan vaksinnya ke perusahaan farmasi milik negara, Bio Farma. Bersama-sama, perusahaan itu berharap dapat memberikan tiga juta dosis pada akhir tahun ini dan 260 juta pada tahun depan. Karena setiap orang harus menerima dua tembakan vaksin, dan akan mencakup sekitar setengah dari populasi Indonesia.

Indonesia juga akan menjadi pusat produksi Sinovac, memberikan perusahaan batu loncatan untuk memasarkan produknya ke seluruh wilayah.

Ada 1.620 relawan di Bandung, separuh di antaranya dipilih secara acak untuk menerima vaksin, sedangkan sisanya mendapat plasebo. Sejak dimulainya uji coba pada bulan Agustus, sukarelawan diminta untuk kembali ke fasilitas medis sebulan sekali untuk diperiksa efek sampingnya.

Penyelenggara uji klinis diharapkan menyampaikan laporan pendahuluannya pada bulan Januari. “Ini akan menganalisis apakah imunogenisitas–kemampuan vaksin untuk memicu respons imun–telah ditunjukkan pada subset dari 540 relawan yang divaksinasi,” kata Rodman Tarigan, juru bicara tim uji klinis di Universitas Padjadjaran, yang bekerja sama dengan Bio Farma.

Laporan lengkap, yang akan menganalisis kemanjuran vaksin di antara semua peserta, diharapkan diterbitkan pada Mei 2021, kata Rodman.

“Saya dengar tidak ada kasus efek samping yang besar dalam uji klinis Sinovac di Bandung. Jadi saya rasa kita hanya perlu menunggu laporan analisis efikasi,” kata Septian Hario Seto, pejabat di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

CanSino, yang berbasis di Tianjin, telah berjanji untuk memasok 15 juta hingga 20 juta dosis tahun depan, sementara Sinopharm telah menjanjikan 15 juta tahun ini dan 50 juta tahun depan.

Namun Jakarta memilih untuk tidak memasukkan semua telurnya ke dalam satu keranjang dan juga telah menandatangani letter of intent untuk 100 juta dosis vaksin yang dibuat oleh perusahaan Inggris AstraZeneca, dan 30 juta dosis yang diproduksi oleh perusahaan AS Novavax.

Pada Jumat lalu, Widodo mengatakan kepada Reuters bahwa diperkirakan akan proses vaksinasi darurat massal akan dimulai pada akhir tahun, setelah BPOM memberikan persetujuan untuk vaksin tersebut. Vaksin Sinovac dan Sinopharm diharapkan digunakan pada tahap awal kampanye, dan petugas kesehatan, polisi, serta personel militer akan menjadi yang pertama mendapatkannya.

Di Filipina, yang telah mencatat hampir 400.000 infeksi dan lebih dari 7.600 kematian, Presiden Rodrigo Duterte mengatakan September lalu, dia lebih suka membeli vaksin dari Cina dan Rusia karena negara-negara Barat “meminta pembayaran di muka”.

Filipina sedang meninjau aplikasi Sinovac untuk mengadakan uji coba di negara tersebut. Menteri Sains dan Teknologi Filipina, Fortunato dela Peña, mengatakan semua bisa dimulai akhir November.

Filipina juga berharap dapat meluncurkan uji klinis untuk vaksin Sputnik V Rusia. Pengembang vaksin Rusia mengatakan pada 11 November lalu, tingkat efisiensinya adalah 92 persen— klaim yang muncul tak lama setelah pembuat obat Amerika, Pfizer,  mengklaim tingkat 90 persen efisiensi untuk vaksin yang dikembangkannya dengan BioNTech, Jerman.

Meskipun ada tanda-tanda menggembirakan, analis mengatakan uji coba vaksin Cina mungkin akan berupaya menarik sukarelawan di negara-negara yang memiliki hubungan rumit dengan Cina. Ini terutama terjadi di Filipina, mengingat sengketa wilayahnya dengan Beijing atas Laut Cina Selatan. Pada tahun 2016, pengadilan internasional di Den Haag mendukung Filipina dalam kasusnya terhadap Cina, yang pada dasarnya menolak klaim Beijing atas sekitar 90 persen wilayah perairan yang disengketakan. Sementara Duterte, yang menjabat tak lama setelah keputusan itu, mengecilkan perselisihan itu demi menjadi perantara hubungan ekonomi dengan Beijing, kecurigaan tentang niat Cina tetap ada di kalangan masyarakat umum.

Pada saat yang sama, ada juga gerakan anti-vax yang aktif, dengan misinformasi dan kampanye disinformasi terkait dengan vaksinasi untuk polio dan penyakit mematikan lainnya, yang dihubungkan dengan penurunan tingkat imunisasi anak.

Terapis fisik Mikaela Abamonga kemungkinan akan menjadi orang pertama yang mendapatkan vaksin di Filipina karena dia adalah seorang frontliner medis. Tetapi wanita berusia 25 tahun, yang bekerja di Rumah Sakit Umum Filipina di Manila,  itu mengatakan dia tetap waspada.

“Saya pikir vaksin mungkin dilakukan terlalu cepat dan akan membutuhkan penelitian yang lebih baik dan lebih mendalam sebelum orang diinokulasi. Saya tidak yakin dengan pemerintah Cina karena mereka memberikan vaksin di sana bahkan tanpa menyelesaikan semua fase uji coba, “katanya, merujuk pada bagaimana Sinovac memperoleh persetujuan penggunaan darurat dari otoritas Cina untuk memvaksinasi kelompok berisiko tinggi, seperti staf medis, Juli lalu.

Ada juga kekhawatiran di kalangan masyarakat Malaysia, meskipun Perdana Menteri Muhyiddin Yassin mengatakan negara itu berharap dapat mengakses vaksin Cina pada akhir tahun dan telah meningkatkan anggaran imunisasi pemerintah dari satu miliar ringgit (US $ 241 juta) menjadi tiga miliar ringgit. Total infeksi di Malaysia meningkat tiga kali lipat menjadi lebih dari 40.000 dalam dua bulan terakhir, dengan banyak kasus baru terkait dengan pemilihan negara bagian Sabah pada akhir September.

Selama KTT Asean-Cina hari Kamis kemarin, Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein mengatakan, Malaysia telah menyampaikan penghargaannya kepada Cina karena memprioritaskan negaranya sebagai penerima vaksin. “Kami sekarang siap menerima vaksin Covid-19 yang berhasil dikembangkan,” katanya di Twitter.

Tetapi tidak seperti Filipina dan Indonesia, Malaysia menghindari pendaftaran uji coba vaksin Cina. Dr Adriel Chen, seorang ahli kesehatan Malaysia yang berbasis di Inggris, mengatakan ini karena negara tersebut khawatir menjadi “kelinci percobaan” bagi perusahaan farmasi Cina.

“Ada kekhawatiran yang berkembang di antara negara-negara Asia dan Malaysia bahwa kami akan ‘dijual’ ke Cina. Menyetujui untuk menjadi bagian dari uji klinis untuk vaksin mungkin merupakan bagian dari lereng licin itu. Pertanyaan lainnya, apakah bila kami berjuang keras untuk Cina dan mengekspos populasi kami ke vaksin, apakah kami mendapatkan manfaatnya? Apakah kami mendapatkan akses awal ke vaksin dengan biaya efisien?”

Kamboja lebih ramah dan mengindikasikan akan menerima vaksin Cina apa pun yang disetujui oleh Organisasi Kesehatan Dunia. “Orang Kamboja sekarang tampaknya lebih percaya pada produk Cina dan percaya pada kemampuan Cina untuk menangani pandemi dengan baik. Jadi, vaksin Cina harus sebagus atau bahkan lebih baik dari vaksin Barat,”kata Sovinda Po, peneliti senior di Cambodian Institute for Cooperation and Peace.

Sementara Vietnam, yang relatif berhasil mengatasi pandemi, berharap vaksin yang ditanam di dalam negeri dapat tersedia secara komersial pada kuartal terakhir 2021. Empat perusahaan Vietnam sedang mengembangkan vaksin, termasuk Nanogen Biofarmasi Bioteknologi yang berbasis di Kota Ho Chi Minh.

Kelly Vo, 30, yang bekerja di sebuah organisasi nirlaba di Kota Ho Chi Minh, mengatakan dia akan mendaftar untuk vaksin Cina selama dia yakin itu memenuhi standar ilmiah yang diakui secara internasional.

Tetapi Dr Ha Hoang Hop, seorang visiting senior fellow di Vietnam Studies Programme pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura, berkata: “Orang-orang di Vietnam tidak merasa cukup percaya pada vaksin Cina. Mereka lebih mempercayai vaksin buatan sendiri.”

Tidak ada peluru perak

Ahli epidemiologi memperingatkan bahwa vaksin–siapa pun yang mengembangkannya–bukanlah peluru perak, terutama untuk negara-negara seperti Indonesia yang tidak memiliki sistem test-and-trace yang tepat.

Pandu Riono, seorang ahli epidemiologi di Universitas Indonesia, mempertanyakan hikmah dukungan terhadap tiga vaksin dari negara yang sama, terutama ketika semua belum terbukti. “Kenapa kita setuju membeli [vaksin] yang kemanjurannya belum jelas? Ini akan membuat kita kehilangan fokus untuk memperkuat sistem pengawasan,”kata Pandu.

Pembuatan vaksin juga akan mahal, terutama bagi Indonesia yang baru pertama kali memasuki resesi dalam lebih dari dua dekade. Pemerintah telah mengatakan bahwa Bio Farma membutuhkan lebih dari Rp 45 triliun (US $ 3 miliar) untuk memproduksi 260 juta dosis vaksin Sinovac.

Di sisi lain, suksesnya vaksin akan menjadi senjata bagi perekonomian dan pemerintah memperkirakan penundaan pengiriman selama setengah tahun akan merugikan ekonomi Indonesia sebesar 44 miliar dolar AS.

Dr Jennifer Bouey, seorang peneliti kebijakan senior dan Ketua Tang dalam China Policy Studies di RAND Corporation, mengatakan dia tidak terkejut bahwa Indonesia bekerja sama dengan Cina dalam uji coba manusia. Ini adalah salah satu dari sedikit negara penghasil vaksin di Asia, dan beroperasi di bawah sistem yang disetujui WHO di mana otoritas regulasi nasional (NRA) menjamin kualitas vaksin untuk populasinya.

Bouey, yang juga seorang ahli epidemiologi, mengatakan AS dan negara-negara besar Eropa tidak menunjukkan minat pada vaksin Covid-19 Cina mungkin karena vaksin yang diberikan kepada populasi mereka memerlukan persetujuan dari Otoritas Regulatori Ketat/ Stringent Regulatory Authority (SRA) yang diakui secara internasional, dan karena itu mereka jarang menerima layanan medis untuk  produk yang diatur di bawah sistem NRA.

“Vaksin Cina menargetkan pasar domestik dan negara berkembang. Apakah masyarakat lokal akan menerima vaksin Cina atau tidak tergantung pada politik dalam negeri,”katanya.

Bagi Fadli, sukarelawan, dan banyak orang Indonesia lainnya yang ingin kembali ke keadaan normal, vaksin Sinovac adalah harapan terbesar—setidaknya untuk saat ini. Indonesia juga memiliki rencana untuk memproduksi vaksinnya sendiri secara massal, diberi nama Merah Putih sesuai warna benderanya, meskipun ini diperkirakan baru akan tiba tahun 2022.

Jadi Fadli telah menyingkirkan semua kecurigaan yang masih ada. “Awalnya saya ragu (menjadi sukarelawan), karena virus Corona itu berasal dari Cina, dan vaksin ini dibuat oleh Cina. Tetapi setelah saya melakukan beberapa penelitian, saya menyingkirkan pikiran negatif karena vaksin ini bisa sangat efektif. Cina gesit dan penanganan Covid-19-nya tepat, “kata dia.  [South China Morning Post]

Tim penulis: Resty Woro Yuniar/Yuli Saputra [Bandung], Elyssa Lopez di Manila, Tashny Sukumaran di Kuala Lumpur, dan Sen Nguyen di Ho Chi Minh City

Back to top button