CrispyVeritas

Takut Dihukum Kerja Paksa, 10 Ribu Pelajar Korut yang Nonton K-Pop Serahkan Diri

  • Sesuai UU Anti-Pemikiran Reaksioner, warga yang tertangkap tangan mendengar K-Pop akan didenda.
  • Yang berbicara dengan gaya Korea Selatan akan dipenjara.
  • Pengimpor budaya Korsel dijatuhi hukuman seumur hidup.
  • Pengimpor produk budaya AS dan Jepang bersiap menghadapi regu tembak.

JERNIH — Tidak ingin tertangkap basah dan mendapat hukuman ekstra berat, sekitar 10 ribu pelajar Korea Utara (Korut) menyerahkan diri kepada pihak berwenang dan mengaku bersalah nonton K-Drama dan mendengarkan musik K-Pop.

Today, portal Singapura, melaporkan sekitar 5.000 pemutar DVD juga diserahkan ke aparat berwenang, dengan imbalan hukuman ringan.

‘Penyerahan diri’ ini terjadi empat bulan setelah rezim Stalinis Pyongyang memberlakukan UU Pemikiran Reaksioner, yang melarang rakyatnya mendengarkan K-Pop, nonton K-Drama, dan mengkonsumsi film-film buatan Korea Selatan (Korsel).

UU itu memberlakukan denda tinggi dan hukuman penjara bagi siapa pun yang tertangkap tangan menikmati produk budaya Korsel, atau meniru gaya bicara orang-orang di Seoul.

Arsitek UU itu adalah Kim Jong-un, pemimpin tertinggi Korut. Tujuan UU adalah meningkatkan standar media yang tumbuh di dalam negeri, atau yang dikendalikan negara, dan menajdi bagian perang melawan pengaruh luar.

Kim Jong-un dikabarkan tidak suka penggunaan istilah ‘oppa’ dan ‘dong saeng’ — kata dalam Bahasa Korsel yang berarti kakak laki-laki dan adik perempuan atau laki-laki — untuk merujuk pada non-kerabat.

Dua kata ini dipopulerkan K-Drama dan media-media Korut, dan menjadi kata sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Seoul.

Hukuman paling berat bagi mereka yang tertangkap nonton K-Pop dan K-Drama adalah 15 tahun kerja paksa. Tidak hanya itu, orang tua yang anaknya tertangkap juga dikenakan denda.

Siapa pun yang tertangkap mengimpor bahan terlarang dari Korsel terancam hukuman seumur hidup. Yang mengimpor barang dari AS dan Jepang dijamin mengakhiri hidup di depan regu tembak.

Back to top button