CrispyVeritas

Tarik Ulur Republik: Ketika Daerah Hanya Jadi Penonton Anggaran

Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, membuka forum dengan satu nada murung: banyak kepala daerah mengeluhkan taring otonomi mereka yang tumpul. “Kewenangan perizinan, pengelolaan sumber daya, semuanya ditarik ke pusat. Bahkan untuk Galian C saja, izin harus dari pusat,” ujar Syahganda. Ia menegaskan bahwa FGD ini bukan sekadar forum diskusi, melainkan upaya serius dari GREAT untuk menghadirkan pemikiran kritis bagi arah baru pemerintahan.

JERNIH– Otonomi daerah hari ini bukanlah kebebasan, tetapi tarik-ulur kekuasaan antara pusat dan daerah. Begitulah kesimpulan samar namun menggigit dari Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan GREAT Institute, bertajuk “Mendorong Pemerataan Lewat Desain Ulang Hubungan Pusat-Daerah di Era Efisiensi Anggaran”, yang digelar di Jakarta, Senin (26/5/2025).

Selain diisi para pemikir-praktisi pemerintahan seperti Wakil Menteri Dalam Negeri, Dr Bima Arya Sugiarto, Bursah Zarnubi, mantan Walikota Payakumbuh, Riza Falepi; pengajar Politeknik STIA LAN, Ratri Isyania, PhD; CEO Neraca Ruang, Jilal Mardhani; Wakil Rektor Universitas Andalas, Dr Hefrizal Handra; Dr Endang Yuniastuti dari Kementerian Tenaga Kerja; dosen Politeknik Kementerian Hukum dan HAM, Dr M Arief Adillah; Wakil Ketua DPRD Blora, Siswanto; Ketuia IAP DKI Jakarta, Ir Adhamaski Pangeran, ST, ME; Ketua GMKI 2010-2020 Korneles Galanjinjina; hadir pula beberapa kelompok mahasiswa berbagai universitas dan perguruan tinggi, antara lain, Unversitas Bung Karno dan IPDN Jakarta.

Diskusi dibuka moderator Ir Hendry Harmen dengan paparan awal yang mencubit: enam daerah di Pulau Jawa menyumbang lebih dari 56 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, sementara sisanya tercecer dalam ketimpangan pelayanan publik dan ketergantungan fiskal terhadap pusat. “Daerah-daerah itu hidup dari dana bagi hasil,” kata Hendry.

Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr Syahganda Nainggolan, membuka forum dengan satu nada murung: banyak kepala daerah mengeluhkan taring otonomi mereka yang tumpul. “Kewenangan perizinan, pengelolaan sumber daya, semuanya ditarik ke pusat. Bahkan untuk Galian C saja, izin harus dari pusat,” ujar Syahganda. Ia menegaskan bahwa FGD ini bukan sekadar forum diskusi, melainkan upaya serius dari GREAT untuk menghadirkan pemikiran kritis bagi arah baru pemerintahan.

Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, tak menampik ketimpangan itu. Ia menyampaikan pesan Presiden Prabowo dalam sidang kabinet beberapa pekan sebelumnya, saat Presiden menampilkan foto seorang gadis kecil bernama Naila. “Wahai para menteri, mari kita buat Naila-Naila di seluruh Indonesia tersenyum,” kutip Bima. Ia menegaskan, pemerintahan Prabowo anti-liberalisme dan menegaskan diri sebagai sosial demokrat—satu haluan yang dirintis Sutan Sjahrir dan Bung Hatta.

Namun, impian itu akan kandas, kata Bursah Zarnubi, jika struktur negara tetap tersumbat. “Otonomi yang ada sekarang hanyalah otonomi semu. Ekornya masih dipegang pusat,” ujar Bupati Lahat yang juga dikenal sebagai pemikir politik sejak era 1980-an ini. Ia mengutip Gunnar Myrdal yang menyebut kemiskinan desa di Asia sebagai akibat absennya spread effect dari wilayah kota.

“Enam puluh persen program pemerintah ada di tingkat kabupaten/kota, tapi mereka hanya dapat remah. Akibatnya, banyak kepala daerah terjebak godaan korupsi karena tekanan keuangan yang terus-menerus,” katanya. Bursah juga menyebut UU Cipta Kerja sebagai regulasi yang merusak semangat desentralisasi. “Harus dicabut,” kata dia, tegas.

Pernyataan senada datang dari Ratri Istania, Ph.D., dosen STIA LAN Jakarta. Ia mengingatkan bahwa akar otonomi daerah bukan baru tumbuh 1998, melainkan jauh sebelumnya. “Zaman Belanda saja, pemerintah kolonial membuat UU Desentralisasi karena mengurus Hindia dari Den Haag itu tidak masuk akal,” katanya. Tapi otonomi itu, menurutnya, kini dilucuti. Bahkan wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD ingin kembali dihidupkan. “Itu sudah sejarah, jangan diulang.”

Ratri menambahkan, dari 2015 hingga 2019, jumlah dinasti politik meningkat hingga 300 persen. “Dan lima persen dari dinasti itu menaikkan angka kemiskinan,” katanya. Otonomi bukan hanya tentang siapa yang memilih, tetapi bagaimana kekuasaan digunakan.

Sementara itu, Dr. Arief Adillah dari Kementerian Hukum dan HAM mengungkapkan sisi kelam lain otonomi: rendahnya literasi dan lemahnya kapasitas daerah. “Bahkan daerah yang dapat penghargaan literasi nasional, kenyataannya parah,” kata Arief. Ia menyebut lima problem utama otda: kapasitas yang rendah, korupsi, kesenjangan pembangunan, koordinasi yang lemah, dan keterbatasan SDA serta SDM. Ia menyarankan agar lulusan IPDN terlebih dulu di tempatkan sebagai sekretaris desa. “Kelola keuangan dari bawah, dari situ mereka belajar integritas,” katanya.

Namun, satu pernyataan Arief mengundang antusiasme peserta: “Daripada mereka minta merdeka, lebih baik minta daerah otonomi baru (DOB)!” Katanya, saat ini ada 341 usulan DOB: 42 provinsi, 252 kabupaten/kota, dan beberapa daerah istimewa dan khusus.

Tentu saja, semua itu tak bisa dijawab hanya dengan retorika. Seperti kata Bima Arya menutup tanggapannya: “Kita butuh aglomerasi sebagai pusat-pusat pertumbuhan. Tapi ada tantangan: ada 1.065 BUMD, sebagian besar sakit.”

Tito Sulistyo ketua Badan Supervisi OJK, juga menyentil fakta bahwa 70 persen kantor BUMN masih berpusat di Jakarta. “Logikanya di mana? Pertamina harusnya di Kaltim, bukan di Jakarta Pusat. Rajawali harusnya di daerah pusat perkebunan, bukan di bilangan Kuningan.”

Forum ini seperti menyuarakan konsensus diam: bahwa otonomi bukanlah pemberian, melainkan perlawanan terhadap sentralisme yang terus membesar. Seperti ditulis Václav Havel, “The salvation of this human world lies nowhere else than in the human heart, in the human responsibility. Keselamatan dunia manusia tidak terletak di mana pun selain di dalam hati manusia, dalam tanggung jawab manusia.”

Dan barangkali, penyelamatan republik ini pun, hanya bisa dimulai dari keberanian para pemimpin daerah untuk bersuara. [ ]

Back to top button