Solilokui

Sidang Pengadilan Jumhur dan Syahganda: Korban Anti Kritik

Saksi ahli Dr.Andika dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, sebagai ahli linguistik forensic, menyampaikan bahwa tweet Syahganda di medsos dapat membuat keonaran. Pendapat ini merupakan asumsi, bukan bukti materil yang dapat digunakan saat menangkap Syahganda.

Oleh  : Gde Siriana*

JERNIH– Jika dilihat dari perjalanan sidang pertama hingga sidang hari ini kita bisa melihat bahwa pengadilan atas Jumhur Hidayat (JH) dan Syahganda Nainggolan (SN) sangat dipaksakan.

Gde Siriana

Selain pasal yang dijeratkan tidak kuat dan relevan, juga terdakwa tidak pernah dihadirkan langsung dalam ruangan sidang bersama hakim, jaksa dan penasihat hukum. Padahal kehadiran terdakwa amat penting agar dapat dielaborasi oleh Jaksa dan Penasihat hukum, sehingga terungkap fakta sesungguhnya di dalam sidang.

Sebagai contoh, di PN Jaksel. Saat bersamaan dengan sidang JH, juga ada sidang artis Vicky Prasetyo yang bisa hadir offline.

Mengapa Vicky bisa hadir dan mengapa Jumhur tidak bisa? Hanya hakim yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika ada anggapan akan mengganggu sidang dengan keramaian, itu kan masih asumsi. Jika mau ramai dengan banyak aktivis datang, ya tanpa kehadiran JH pun sidang bisa ramai.

Kejanggalan lain adalah keterangan saksi ahli hanya menyampaikan asumsi-asumsi. Contohnya dalam sidang SN, saksi ahli Dr.Andika dari UPI Bandung (Univ Pendidikan Indonesia) sebagai ahli linguistik forensic, menyampaikan bahwa tweet Syahganda di medsos dapat membuat keonaran. Pendapat ini merupakan asumsi, bukan bukti materil yang dapat digunakan saat menangkap Syahganda.

Keyakinan masyarakat, JH dan SN ini adalah korban (sikap) anti kritik (KAK). Mereka harus dibebaskan demi keadilan. Apalagi Jokowi sudah minta masyarakat aktif memberi kritik pemerintah. Bahkan berencana merevisi UU ITE. Terkait revisi, saya kira berapa pun banyaknya suatu UU direvisi, tetap ada celah yang dapat diselewengkan oleh kekuasan.

Intinya adalah moral dan etika paratur penyelenggara negara. Tapi jika Jokowi tetap ingin merevisi UU ITE, sebagai bukti niat baiknya, maka bebaskan dulu mereka yang jadi korban anti kritik, baik yang sudah ditahan maupun yang masih dalam proses persidangan. [  ]

*Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS)

Back to top button