Crispy

YANG DISUCIKAN: BUKAN TUBUH, TAPI WAKTU DALAM DIRI

Oleh: Emi Suy

Ada yang pulang, tapi tak pernah benar-benar kembali. Ada yang berangkat untuk memenuhi rukun, tapi tak sempat menyentuh makna terdalam dari kepergian itu. Ada yang menyentuh Ka’bah, mencium Hajar Aswad, melafalkan jutaan ayat dan doa, namun jiwanya tertinggal di tanah yang tak sempat ia sujudkan sepenuh hati.

Menjalankan ibadah haji selalu ditandai oleh keberangkatan yang besar, menjadi puncak dari segala cita-cita dan rukun keberislaman. Namun, jika seluruhnya hanya menjadi perayaan simbolik, jika hanya tubuh yang bergerak, sedangkan waktu dalam diri tetap beku dan tak mengalami apa-apa—maka apalah arti perjalanan itu? Menjadi haji mabrurkah?

Aku pernah bertanya pada seseorang yang pulang dari haji, “Apa yang paling membuatmu tersentuh di sana?” Ia menjawab, “Saat tak ada yang bisa kuandalkan selain Allah.” Jawaban itu tak panjang, tapi cukup mengguncangkan. Dalam dunia yang sibuk dengan tampilan, dalam ibadah yang kadang menjadi panggung, ada seseorang yang akhirnya berjumpa dengan sunyi yang mengikis segala atribut. Di tempat itu, waktu tak diukur dengan jam, melainkan dengan kedalaman batin yang terbuka pada kehadiran Tuhan.

Waktu yang Terlupakan, Waktu yang Dihidupkan

Kita hidup dalam sistem yang terus mendorong manusia untuk bergerak, cepat, produktif, dan sibuk. Tapi di tengah semua itu, waktu dalam diri—yang seharusnya menjadi tempat kita bercermin dan bertafakur—justru paling sering diabaikan. Ibadah haji memaksa kita untuk berhenti. Untuk tak membawa apa-apa selain tubuh, niat, dan kepasrahan. Ia memberi ruang untuk membongkar ulang konsep waktu yang selama ini kita definisikan secara mekanis dan profan.

Di Arafah, manusia berdiri dalam wukuf: diam yang bukan berarti pasif, tapi diam yang mengandung lompatan spiritual. Di sana, semua kesibukan ditanggalkan. Yang tersisa hanyalah waktu yang disucikan oleh kesadaran. Waktu yang bukan untuk dihitung, melainkan untuk diresapi. Dalam kesunyian itu, banyak orang menangis. Bukan karena dosa semata, tapi karena selama ini mereka hidup dalam kepalsuan waktu. Dikejar rutinitas, diseret target-target duniawi, dan kehilangan inti dari keberadaan: bahwa waktu bukan untuk dihabiskan, tapi untuk diselami.

Maka, yang disucikan dalam haji bukan sekadar tubuh. Bukan kaki yang lelah thawaf, bukan mulut yang tak henti melafazkan doa. Tapi waktu dalam diri. Waktu yang kembali diberi makna. Waktu yang kembali menjadi rumah kesadaran. Sebab tubuh akan kembali menua, tapi waktu yang telah dibersihkan akan tinggal sebagai cahaya dalam batin.


Mabrur: Antara Status dan Sujud Sejati

Kita sering terburu-buru mengklaim haji mabrur. Padahal Rasulullah hanya menyebutkan cirinya dengan dua hal: “…tidak berkata kotor dan tidak berbuat fasik.” (HR. Bukhari-Muslim). Begitu sederhana dan begitu berat. Tidak ada keterangan soal oleh-oleh, gelar “Pak Haji”, atau foto-foto yang dipamerkan. Mabrur bukan soal tampilan luar, tapi soal bagaimana seseorang berubah ketika tidak ada yang menonton.

Haji mabrur bukan piala, melainkan arah. Ia bukan tanda sudah selesai beragama, tapi justru permulaan dari laku kesalehan yang lebih jujur. Ia mengajarkan bahwa yang suci bukan tampilan, tapi waktu yang digunakan dengan kesadaran penuh, dengan cinta yang tulus, dan dengan rendah hati.

Setelah kembali ke tanah air, banyak orang membawa pulang oleh-oleh, air zamzam, tasbih, dan kurma. Tapi hadiah paling berharga seharusnya adalah perubahan. Mampukah ia lebih sabar saat tertindas? Lebih jujur saat tak diawasi? Lebih ringan memberi maaf, tanpa perlu syarat?

Kalau tidak, maka yang pulang hanyalah tubuh. Sedangkan waktu dalam dirinya tetap kotor, tetap ditunggangi ego, tetap digunakan untuk memuja citra. Padahal di sana, ia pernah bersujud, pernah menangis, pernah merasa tak ada apa-apanya di hadapan Tuhan.

Epilog: Sujud yang Tak Usai

Haji adalah perjalanan memeluk sunyi, lalu menghidupkannya dalam keramaian. Ia bukan sekadar ritual masa lalu, tapi napas panjang yang harus tetap dijaga ritmenya. Kita tak pernah benar-benar selesai berhaji. Sebab sujud sejati tidak berhenti di Masjidil Haram. Ia terus berlangsung—di kamar sempit, di jalanan macet, di ruang kerja, dan di sela-sela diam saat tak ada yang menyapa.

Yang disucikan bukan tubuh. Tapi waktu yang akhirnya kita isi dengan kasih, dengan pengakuan atas keterbatasan, dengan kejujuran kepada diri sendiri, dengan kesetiaan pada suara hati. Dan selama waktu itu masih hidup dalam diri, selama kesadaran itu masih bernapas, maka kita belum sepenuhnya pulang. Kita sedang dalam perjalanan pulang yang sejati—pulang ke Tuhan. *

***

BIODATA :

Emi Suy, lahir di Magetan, Jawa Timur, Februari 1979. Namanya tercatat dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2018). Ia telah menerbitkan sejumlah buku puisi, antara lain Tirakat Padam Api, trilogi Sunyi (Alarm Sunyi, Ayat Sunyi, Api Sunyi), dan Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami, serta satu buku esai berjudul Interval. Puisinya telah dimuat di berbagai media nasional dan mengantarkannya meraih sejumlah penghargaan. Ia juga merupakan pendiri komunitas Jejak Langkah, dan kini memilih menempuh jalan kepenulisan secara independen.

***

CATATAN KURATORIAL

Esai “Yang Disucikan: Bukan Tubuh, Tapi Waktu dalam Diri” karya Emi Suy hadir sebagai refleksi yang intim namun jernih, membongkar ulang makna ibadah haji dengan kelembutan bahasa yang tak kehilangan daya gugatnya. Dengan pendekatan naratif yang tenang namun menghunjam, tulisan ini menggeser fokus dari gerak tubuh ke kedalaman batin, dari ritual simbolik ke perjumpaan sunyi yang esensial. Emi menawarkan perspektif yang tak hanya kontemplatif tetapi juga sangat relevan bagi manusia modern yang kerap terperangkap dalam produktivitas semu dan estetika keagamaan yang dangkal. Ia merayakan ibadah bukan sebagai pencapaian luar, melainkan sebagai proses mendewasakan relasi dengan waktu, diri, dan Tuhan. Di balik tutur yang hangat dan empatik, esai ini mengandung kritik halus terhadap kecenderungan menjadikan haji sebagai panggung sosial, sembari menghadirkan alternatif spiritual yang lebih hening, lebih jujur, dan lebih menyentuh. Sebuah bacaan yang membuka ruang tafakur, dan mengingatkan kita bahwa pulang yang sejati bukan tentang tubuh yang sampai, melainkan tentang waktu dalam diri yang kembali hidup.

Back to top button