Aku, David Lurie dan Seks. Ya Seks
Aku pikir karena itu dia bisa meniduri perempuan mana pun. Dia tampan dan punya segala yang bisa diinginkan perempuan. Dia rela memberi hadiah berharga pada pelacur favoritnya.
Oleh : Anwar Holid
JERNIH– Aku mengenal lelaki itu karena bisnis. Waktu itu aku di kantor. Tak pernah terbayangkan ternyata lelaki blak-blakan itu seorang profesor sastra Inggris. Dia terlampau mengejutkan untuk pertemuan pertama. Lelaki itu langsung berani bicara soal seks. Rasanya itu terlalu awal untuk sebuah perkenalan.
“Untuk lelaki seumur saya, cerai saya pikir saya bisa menyelesaikan masalah seks cukup baik, “ katanya. Apa maksudnya dia menyelesaikan masalah seks dengan pelacur? Jujur ceritanya membuat selera seksku juga langsung naik. Sebagai lelaki, kadang-kadang aku punya masalah seks — tapi pelacur bukan jawabannya.
Ternyata benar. Dia punya simpanan, berkulit cokelat. Dia mengaku sebenarnya jatuh cinta pada simpanannya, tapi dia tahu diri tak bisa menjadi kekasih. Dia cuma seorang pelanggan.
Untuk orang seperti dia, jadi profesor, berpenghasilan cukup, punya jabatan, dapat beasiswa, hidup sendiri, tak banyak keinginan, sederhana, dia bisa membelanjakan uang untuk membayar perempuan yang disukainya, siapa saja. Hidupnya sangat nyaman sebagai kasanova.
Profesor berkulit putih itu namanya David Lurie, dosen kajian puisi. Dia dua kali menikah, dua kali cerai, punya anak satu, dengan banyak skandal seks dalam hidupnya. Dia tak menyangkal memang hanya ingin bersenang-senang, melakukan sesuatu yang semata-mata disukainya.
Setelah perkenalan singkat itu aku pikir dia akan mengenalkan salah satu teman kencannya, tapi ternyata aku kecele. Dia bilang dia tidak disukai kolega perempuannya, apalagi yang punya kecenderungan ‘feminis’. Di jurusannya ada satu-dua dosen perempuan yang terang-terangan ingin menyingkirkan dia, tapi sejauh ini gagal. Tentu sulit menyingkirkan dosen senior begitu saja.
Pertemanan kami sebenarnya biasa saja. Menurutku, dia pendiam dan penyendiri. Dia simpatik. Aku pikir karena itu dia bisa meniduri perempuan mana pun. Dia tampan dan punya segala yang bisa diinginkan perempuan. Dia rela memberi hadiah berharga pada pelacur favoritnya. Mana ada lelaki mata ke ranjang bisa begitu pemurah? Menurutnya, perempuan dan seks itu fungsinya untuk melepaskan energi dan protein yang menggumpal dan berlebihan. Aku tak bisa komentar apa-apa tentang itu.
Waktu terakhir kali kami bertemu, dia bilang jatuh cinta pada seorang mahasiswi berkulit hitam. Dari nadanya dia berkata sungguh-sungguh. Tapi, mana bisa kita percaya pada bajingan?
Setelah lama tak jumpa, tiba-tiba terdengar berita David Lurie disidang dengan tuduhan pelecehan seksual dan pemerkosaan pada mahasiswi itu. Tentu saja heboh. Berita itu masuk koran. Ternyata mahasiswi itu punya pacar. Dia murka kekasihnya kencan dengan dosen dan menuntutnya. Saudara dan keluarga mahasiswi itu juga marah. Karena tertekan, mahasiswi itu akhirnya ke luar kuliah.
Sidang itu jadi skandal universitas dan kota. David Lurie kalah. Dia akhirnya mengaku salah melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan, tapi menolak minta maaf pada universitas, apalagi terhadap peristiwa itu. “Buat apa?” katanya ngotot. “Bukankah kalian minta pernyataan aku salah melakukan itu? Aku mengakuinya. Tanpa syarat. Tapi buat apa minta maaf? Kami jatuh cinta. Tak ada yang salah dengan itu.”
Begitulah dia dipecat dan jadi cemoohan. Reputasinya di kampus hancur. Tapi dia tetap dapat pensiun. Pensiun seorang guru besar. Di satu sisi dia lega. Sekarang dia bisa menghabiskan waktu sesuka hati.
Sesak karena sidang dan tatapan orang, dia pindah ke rumah putrinya, di desa pinggir kota. Tapi kecelakaan menimpa mereka. Tiga orang penjahat kulit hitam merampok mereka, menghancurkan isinya, memperkosa putrinya, menghajar dia dan membakar tubuhnya, kemudian melarikan mobilnya. Dia meradang keras sekali. Dia terpukul dan hancur: bagaimana mungkin seorang sarjana berkulit putih seperti dia bisa diperlakukan begitu hina, dan anaknya hamil oleh orang kulit hitam dari golongan penjahat dan bromocorah? Tapi dalam kondisi terpuruk pun dia sempat bilang: risiko kepemilikan adalah kehilangan.
Meski kena musibah, aku sulit berempati pada David Lurie. Aku yakin orang lain pun akan begitu kalau mendengar kisahnya. Dalam kondisi runyam memang jarang orang bisa bersikap jernih dan tegas. Aku setengah tak percaya memperhatikan penuturannya, pening memandang dia. Aku sebal atas perilakunya, tapi kagum dengan integritas, kejantanan, pandangan optimistik dan iktikad baiknya terhadap dunia. Dia tidak cengeng atau merasa berhak menuntut keadilan atas kesulitan hidupnya. Kegetiran adalah bagian dari dunia, mirip kebusukan, kejahatan, korupsi, juga kasih sayang. Semua peristiwa bisa terjadi.
Sekadar mengumumkan, yang mengenalkan aku pada David Lurie adalah J.M. Coetzee, penulis Afrika Selatan penulis “Disgrace”. Bisnisku ialah menyunting naskah. [ ]