Salah satu hal teraneh dari unjuk rasa itu, adalah hampir tidak adanya hal yang perlu diprotes: kebanyakan pembatasan atau lockdown di Jerman tidak pernah seketat seperti di beberapa negara Eropa lainnya. Itu pun telah dicabut.
Oleh : Anna Sauerbrey
JERNIH– Mereka kembali turun ke jalan. Pada Sabtu (30/8) waktu setempat, sekitar 38 ribu orang berbaris di jalanan Berlin. Mereka menuntut diakhirinya pembatasan pandemi.
Yang ada di jalanan saat itu adalah sebuah adonan yang aneh: keluarga beserta anggotanya, para warga senior yang telah memasuki usia 60-an, bergabung dengan ekstremis sayap kanan, beberapa di antaranya bertato swastika. Para pengunjuk rasa mengacungkan tanda bertuliskan “Lepaskan Masker yang Memperbudak!”, sementara yang lain mengibarkan bendera perdamaian. Banyak yang berteriak “Kami adalah rakyat” dan yang lainnya meminta Presiden Trump dan Presiden Vladimir Putin dari Rusia untuk “membebaskan” Jerman.
Dalam sebuah adegan yang pasti akan terukir dalam sejarah negara itu, sebuah kelompok yang membawa “Reichsflagge,” bendera hitam, putih dan merah dari Kekaisaran Jerman yang menjadi dasar pataka yang digunakan rezim Nazi, menerobos penghalang polisi dan mencoba memasuki Reichstag, alias Gedung Parlemen.
Itu adalah perkembangan mengerikan dalam serangkaian protes terhadap respons negara terhadap pandemi, yang dimulai April lalu di kota barat daya, Stuttgart. Sejak saat itu, mereka telah menyebar ke seluruh negeri, dengan berbagai keberhasilan mengumpulkan massa. Terkadang bisa terkumpul 250 orang, terkadang 5.000 orang. Pada awal bulan Agustus, mereka melewati ambang batas: lebih dari 30.000 pengunjuk rasa berkumpul di Berlin pada 1 Agustus. Pada 30 Agustus mereka bahkan lebih sukses lagi: 38 ribu orang terkumpul.
Demonstrasi ini suatu misteri. Salah satu hal teraneh tentang mereka adalah hampir tidak ada yang perlu diprotes: kebanyakan pembatasan atau lockdown di Jerman tidak pernah seketat seperti di beberapa negara Eropa lainnya. Itu pun telah dicabut.
Jadi siapa pengunjuk rasa itu? Apa yang membuat mereka turun ke jalan? Dan apakah mereka ke sini untuk tinggal?
Tokoh sentral kelompok itu Michael Ballweg, seorang pengusaha asal Stuttgart yang menjalankan perusahaan perangkat lunak. Ballweg, yang tidak merespons permintaan wawancara kami, adalah pendiri Querdenken 711. “Querdenken” berarti “pemikiran lateral” dan 0711 adalah kode area Stuttgart. Itulah organisasi yang telah mendaftarkan sebagian besar demonstrasi yang terjadi, termasuk yang berlangsung Sabtu lalu. Di Jerman, meskipun orang dapat berkumpul dan memprotes tanpa meminta izin pihak berwenang, semua protes di ruang publik harus didaftarkan ke pihak Kepolisian lebih dulu. )
“Saya di sini hari ini,” kata Ballweg dalam pidato pembukaannya untuk protes yang digelar di Berlin, 1 Agustus lalu. “Karena saya tidak suka dunia yang diberikan pemerintah federal kepada saya.” Dunia yang digambarkannya sebagai penuh kontrol, pembatasan dan diwarnai ketakutan. Meskipun dia tidak langsung mempertanyakan keberadaan virus itu, dia mengklaim bahwa virus itu jauh tak berbahaya daripada yang dikatakan pemerintah, dan karena itu pembatasannya berlebihan. “Tidak ada pandemi,” katanya, “Tidak ada!”
Dia tampak sangat percaya pada teori konspirasi. Selama pidato pembukaan itu, Ballweg tampak merujuk kelompok sejenis di AS, QAnon, terbukti dengan berkali-kali merapalkan frase-frase yang banyak digunakan kelompok itu di media social mereka.
“Ke mana salah satu kita pergi, kita pergi semua!” Dia juga merujuk pada Trump, yang banyak diharapkan akan “menyelamatkan mereka semua.” Ballweg menyatakan kecewa karena Trump pun kini mempromosikan penggunaan masker.
Ballweg adalah puncak gunung es. Pada sebuah protes di Stuttgart pada 9 Mei lalu, Ken Jebsen, mantan pembawa acara radio milik pemerintah yang dipecat karena pernyataan anti-Semit dan menjadi YouTuber terkemuka, mengklaim bahwa virus itu adalah “kuda Troya” yang dirancang untuk “membuat negara dan para pelobi serta berbagai perusahaan besar menjadi lebih kuat, sementara warga dibuat tidak berdaya.”
Pandangan serupa itu sangat banyak. Wolfgang Wodarg, seorang dokter dan mantan anggota Parlemen untuk Partai Sosial Demokrat yang sering dikutip oleh para pengunjuk rasa, telah mengklaim antara lain bahwa vaksin baru akan mengubah orang “secara genetik”. Ia juga menggambarkan liputan media tentang pandemi sebagai bagian dari upaya untuk memberi manfaat kepada “industri farmasi yang serakah”.
Skeptisisme tentang bahaya virus adalah hal biasa bagi sebagian besar pengunjuk rasa. Terkadang itu relatif tidak berbahaya: Seorang pengunjuk rasa dari Hamburg, misalnya, mengatakan bahwa dia meragukan tingkat keparahan virus karena dia tidak melihat rumah sakit penuh sesak atau “siapa pun terkapar” di jalan. Tetapi didorong oleh teori konspirasi, dan diperburuk oleh ketidakpercayaan pada media tradisional, skeptisisme semacam itu menjadi pandangan dunia (world view) yang kuat.
Tidak mengherankan jika protes tersebut menarik banyak penganut sayap kanan. Kelompok ekstremis sayap kanan mendukung demonstrasi besar 1 Agustus di Berlin—dengan mengorganisasi perjalanan bersama ke sana, misalnya–dan bahkan mendo-minasi beberapa protes yang lebih kecil sebelumnya di ibu kota. Tokoh-tokoh seperti ekstremis sayap kanan dan YouTuber anti-Semit “Der Volkslehrer” (“The People’s Teacher”) telah berbicara di beberapa acara, yang bahkan dihadiri para pejabat dari partai populis sayap kanan, Alternative for Germany.
Protes Sabtu lalu, yang ternyata merupakan parade para pemimpin sayap kanan, para pengunjung tetap, dan kaum ikut-ikutan, mengambil langkah lebih jauh. Kelompok sayap kanan keluar dalam jumlah yang lebih besar daripada empat pekan sebelumnya–dan berperilaku lebih agresif, yang berpuncak pada upaya memasuki Gedung Parlemen.
Meski begitu, para pengunjuk rasa secara keseluruhan bukanlah pengikut sejati sayap kanan. Tetapi mereka memiliki beberapa karakteristik yang sama. Mereka yang sangat terpengaruh secara ekonomi oleh lockdown–misalnya, orang-orang yang kehilangan pekerjaan di industri jasa — “tidak berbondong-bondong ikut protes,” kata Simon Teune, sosiolog di Technical University of Berlin. “Kesan saya, mereka sebenarnya kebanyakan masyarakat kelas menengah dengan pendidikan di atas rata-rata,” ujarnya.
Untuk semua pandangan dan posisi sosial ekonomi mereka, para pengunjuk rasa jauh dari bersatu: pembicaraan tentang gerakan baru anti-lockdown mungkin dilebih-lebihkan. “Saya berasumsi bahwa protes dan pemimpin mereka akan kembali hilang,” kata Teune. “Yang kurang dari mereka untuk membentuk gerakan politik jangka panjang dan lebih terorganisasi adalah tujuan bersama. Itu tak ada.”
Namun sangat keliru jika menganggap protes itu tidak penting. Di balik koalisi aneh dari warga biasa, para penganut teori konspirasi dan ekstremis sayap kanan ini terdapat keyakinan bahwa mereka telah menemukan kebenaran yang tersembunyi, yang telah diabaikan atau disembunyikan secara jahat–dorongan yang sama dengan apa yang mendorong gerakan populis di seluruh dunia. Keyakinan seperti itu, kata Teune sambil memberi beberapa contoh, dapat meluas menjadi kekerasan.
Terlebih lagi, kedalaman ketidakpercayaan pada pemerintah dan media tradisional saat ini begitu mengkhawatirkan. Teknologi memainkan peran: protes mungkin tidak akan mungkin terjadi tanpa lingkungan tertutup saluran Telegram dan grup WhatsApp –dan yang tak mereka pikirkan semacam algoritme YouTube, yang terus menunjukkan hal yang sama kepada Anda, bahkan sejak Anda menonton video pertama Wolfgang Wodarg.
Akhir pekan memberi Jerman banyak hal untuk dikunyah. Meskipun protes itu sendiri mungkin menghilang, perasaan kecurigaan yang kesal–dan semua perangkat yang memungkinnya ada– akan tetap bersama kita. [The New York Times]