Depth

Bisakah Target Indonesia Memajaki ‘Crazy Rich Asia’ Berhasil?

Wealth Report 2021, yang dirilis oleh konsultan Knight Frank yang berbasis di London pada Maret lalu, memproyeksikan jumlah individu dengan kekayaan sangat tinggi, atau mereka yang memiliki kekayaan bersih lebih dari 30 juta dolar AS, di Indonesia akan meningkat 67 persen per tahun dari 2021 hingga 2025.

JERNIH–Dalam upaya untuk meningkatkan kas pemerintah yang luluh lantak akibat pandemi virus corona, pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan perombakan besar-besaran pajak yang akan menambah PPN pada bahan makanan, pendidikan dan perawatan kesehatan, menaikkan tarif untuk individu berpenghasilan tinggi dan menempatkan penghasil emisi karbon utama di garis tembak.

Presiden Joko Widodo baru-baru ini meminta DPR RI membahas proposal untuk mengubah undang-undang tahun 1983 tentang ketentuan dan prosedur umum perpajakan. Draf proposal eksekutif yang bocor menunjukkan pemerintah mencari tarif pajak baru untuk penerima penghasilan tertinggi; pajak karbon baru; dan memperluas cakupan PPN untuk juga memajaki makanan pokok, pendidikan, layanan kesehatan dan sosial, transportasi umum, tenaga kerja, wesel pos dan bahkan telepon umum yang dioperasikan dengan koin.

Kebutuhan Indonesia untuk mengumpulkan lebih banyak pendapatan datang setelah defisit anggaran mencapai 6,09 persen dari PDB tahun lalu. Jakarta telah membiarkan defisit tumbuh sebagai tanggapan terhadap pandemi tetapi mengatakan akan mengembalikan defisit ke dalam batas hukum tiga  persen dari PDB pada tahun 2023. Pemerintah berharap jika reformasi pajak berjalan seperti yang direncanakan, tahun depan tidak perlu lagi mencari utang luar negeri yang sudah mencapai 418 miliar do;ar AS per April lalu.

Kunci dari rencananya adalah menaikkan tarif pajak penghasilan bagi mereka yang berpenghasilan tinggi, yang didefinisikan sebagai mereka yang berpenghasilan tahunan setidaknya lima miliar rupiah (347.540 dolar AS). Pembayar pajak Indonesia saat ini dikelompokkan ke dalam empat kelompok pajak, mulai dari tarif 5 persen hingga 30 persen.

Sebagai perbandingan, Singapura juga menerapkan tarif pajak penghasilan progresif, mulai dari 0 persen hingga 22 persen, sementara tarif Malaysia antara 0 persen dan 30 persen, dan Hong Kong berkisar antara 2 persen hingga 17 persen.

Di bawah amandemen yang diusulkan pemerintah, penerima tertinggi akan dikenakan pajak sebesar 35 persen, lima persen lebih tinggi dari saat ini.

Pada saat yang sama, Indonesia berencana untuk meluncurkan kembali program amnesti pajak yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2016 untuk memungkinkan orang kaya mengungkapkan aset mereka yang tidak dideklarasikan dan melunasi pajak mereka tanpa hukuman. Ketika program ini pertama kali diperkenalkan, sejumlah Rp 4,813 triliun (334,5 juta dolar AS) dalam aset yang tidak diumumkan terungkap.

Bhima Yudhistira, direktur eksekutif di Pusat Studi Ekonomi dan Hukum Celios yang berbasis di Jakarta, mengatakan tingkat baru untuk penerima tertinggi harus lebih tinggi lagi. “Pemerintah harus mengenakan tarif pajak antara 40 persen hingga 45 persen. Kalau hanya naik lima persen saja tidak cukup,” kata Bima. “Ini adalah langkah yang bagus, tetapi pemantauannya akan sedikit rumit.”

Bhima mengatakan masih banyak trik yang bisa digunakan orang kaya untuk menghindari pajak, seperti transaksi lintas batas,  dan mencatat bahwa praktik semacam itu tidak berhenti setelah amnesti 2016. Ia mengatakan banyak orang kaya yang tidak memiliki NPWP bahkan ada yang mengubah kewarganegaraannya untuk menghindari pajak.

Mendesak agar orang kaya membayar pajak lebih besar dapat menjadi jalan yang menguntungkan bagi ekonomi terbesar di Asia Tenggara itu, yang menurut beberapa perkiraan akan memiliki lonjakan terbesar pada individu-individu dengan kekayaan bersih tinggi di dunia, bahkan lebih dari Cina.

Wealth Report 2021, yang dirilis oleh konsultan Knight Frank yang berbasis di London pada bulan Maret, memproyeksikan jumlah individu dengan kekayaan sangat tinggi, atau mereka yang memiliki kekayaan bersih lebih dari 30 juta dolar AS, di Indonesia akan meningkat 67 persen per tahun dari 2021 hingga 2025.

Sebuah studi oleh MGM Research pada 2019 memperkirakan ada 756 orang Indonesia dengan kekayaan bersih lebih dari 30 juta dolar AS, dan 401 di antaranya tinggal di Jakarta. Menurut Lembaga Penjamin Simpanan, menambahkan total kekayaan semua orang Indonesia yang memiliki setidaknya lima miliar rupiah di bank akan mencapai Rp 432,96 triliun pada April –– meningkat hampir 15 persen dari tahun sebelumnya dan peningkatan terbesar dari setiap tingkat setoran.

Pajak makanan pokok

Jakarta juga mengusulkan untuk menambahkan PPN untuk makanan pokok seperti beras, jagung, kedelai, garam, daging, dan telur menggunakan sistem multi-tarif mulai dari 5 persen hingga 25 persen dan untuk meningkatkan tarif standar PPN saat ini sebesar 10 persen. menjadi 12 persen, menurut draft yang bocor.

Selain itu, tarif baru 12 persen akan dikenakan pada barang-barang yang saat ini tidak dikenakan PPN, seperti biaya sekolah dan layanan perawatan kesehatan.

Para ekonom umumnya setuju bahwa Indonesia perlu mereformasi kebijakannya untuk meningkatkan basis pajak dan meningkatkan kepatuhan. Pendapatan pajak hanya menyumbang 8,94 persen dari PDB Indonesia tahun lalu, turun dari 10,73 persen pada 2019, mengikuti tren beberapa tahun terakhir. Menurut Bank Dunia, rasio pajak Indonesia lebih rendah dari rata-rata negara berkembang sebesar 27,8 persen.

Namun, usulan pelebaran PPN untuk memasukkan makanan pokok, pendidikan, dan perawatan kesehatan kontroversial. Enny Sri Hartati, direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang berbasis di Jakarta, mengatakan hal itu menggarisbawahi ketidakpekaan pemerintah terhadap penurunan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh pandemi.

Indonesia pada Kamis pekan lalu mencatat 12.624 kasus virus corona baru, terbesar sejak Februari, menunjukkan bahwa negara ini memasuki gelombang kedua infeksi. Sejak awal pandemi, Indonesia telah mencatat lebih dari 53.000 kematian.

“Kebijakan pajak baru ini bisa mempengaruhi daya beli masyarakat, makanya sekarang resistensinya cukup tinggi,” ujarnya.

Memang, publik telah menyuarakan ketidakpuasan mereka dengan lantang dan jelas. Pengguna Twitter, Hilmi Firdausi, menuntut pemerintah mempertimbangkan kembali rencana itu.  “Orang-orang dalam kesulitan karena pandemi, tolong jangan ditambah dengan menaikkan harga makanan. Itu akan membuat segalanya lebih sulit bagi kelas bawah. Tolong dengarkan kami,” cuit Hilmi.

Menanggapi kontroversi tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengunggah video pada 14 Juni saat dia mengunjungi pasar tradisional di Jakarta Selatan, di mana dia mengobrol dengan seorang pedagang kelontong bernama Rahayu. Penjual kelontong bertanya apakah benar dia harus mengenakan PPN atas barang belanjaannya di masa depan.

“Saya menjelaskan kepadanya bahwa pemerintah tidak akan mengenakan pajak pada makanan yang dijual di pasar tradisional, yang merupakan kebutuhan masyarakat umum,” tulisnya dalam keterangan foto.

Pajak akan dikenakan pada makanan “premium” seperti beras basmati dan shirataki, serta daging sapi Wagyu, “yang harganya bisa mencapai 10 hingga 15 kali lipat dari daging sapi biasa,” katanya, tanpa merinci apa yang merupakan produk “premium” .

Namun Enny dari Indef memperingatkan bahwa jika pajak dikenakan pada makanan premium, produk tersebut akan “digantikan dengan makanan impor, yang dapat dibebaskan dari bea masuk berdasarkan perjanjian perdagangan bebas yang berlaku”.

Indonesia memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Australia, Selandia Baru, Jepang dan Cina, antara lain.

Bahkan mengenakan PPN 1 persen pada makanan seperti beras bisa membuktikan inflasi, katanya. “Empat puluh persen masyarakat berada di kelas ekonomi bawah dan akan dirugikan oleh kenaikan harga bahan makanan pokok. 40 persen lainnya, kelas menengah, juga akan terpengaruh karena pengeluaran harian kelas menengah Indonesia hanya 5 hingga 6 dolar AS,  dibandingkan di luar negeri yang lebih dari 10 dolar AS,” tambah Enny.

Pajak karbon

Rencana pajak karbon sejauh ini terbukti kurang kontroversial. Pajak tersebut ditujukan untuk membantu Indonesia mengurangi emisi dengan target 29 persen pada tahun 2030, atau 41 persen dengan bantuan internasional.

Pemerintah mengusulkan pajak atas emisi karbon dioksida, nitrous oxide, dan metana antara US$5 hingga US$10 per ton CO2e (setara karbon dioksida). Industri pertama yang dibidik adalah pulp dan kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia.

“Pajak karbon adalah hal yang baik untuk dimiliki, tetapi saya berharap itu tidak akan diterapkan pada produk akhir untuk pelanggan, seperti bahan bakar,” kata Bhima dari Celios. “Harus diterapkan pada industri hulu, khususnya industri ekstraktif seperti batu bara.”

Pemerintah harus mengalokasikan pendapatan dari pajak karbon untuk tujuan ramah lingkungan, seperti mengembangkan industri kendaraan listrik dalam negeri, kata Bhima. [Resty Woro Yuniar/ South China Morning Post]

Back to top button