Depth

Bunga Rampai Upaya Jawa Barat Jadi Lumbung Pangan

Bisa jadi, jika anggaran yang dikucurkan pemerintah guna menjadikan Jawa Barat sebagai lumbung pangan salah satunya digunakan untuk memproduksi alat yang disodorkan Ari, kemudian dibagi-bagikan atau dijual dengan harga murah ke para petani, harapan itu bisa segera tercapai. Dan kawula muda, mau ikut serta mengayunkan cangkul di sawah-ladang hingga predikat sebagai negara agraris bisa kembali digenggam.

JERNIH- Hingga akhir tahun 1980, Karawang, Jawa Barat dikenal sebagai lumbung padi. Namun predikat itu sirna ketika pemerintah berubah pikiran dan menjadikannya kawasan industri. Disusul, perumahan pun bermunculan guna menyokong aktifitas pabrik-pabrik.

Profesor Aiko Kurosawa yang pernah menggelar studi di kawasan tersebut bersama Antropolog Makoto Iko dan Sosiologo Tagayasu Naito mengatakan, sebagian kawasan pertanian terutama di Teluk Jambe, pada masa kolonial, statusnya tanah partikelir yang disebut sebagai Tegal Waru Landen.

Daerah ini, dikuasai tuan tanah yang selain berkuasa secara ekonomi, juga mengendalikan urusan administratif. Selain mewajibkan petani menyerahkan 20 persen hasil pertanian sebagai pajak, mereka juga menentukan siapa saja yang boleh berbisnis di sana.

Status Karawang sebagai lumbung padi, terus berlanjut hingga era Orde Baru. Waktu itu, pemerintah berpandangan kalau areal tanam terbilang sangat luas makanya predikat itu layak betul disematkan.

Tanah-tanah partikelir dibagikan pemerintah kepada petani penggarap, termasuk hak kepemilikannya. Sementara tanah kongsi yang tak digarap rakyat, diambil alih dan dimasukkan ke dalam kekuasaan Kementerian Perhutanan.

Orde Baru saat itu, memang mencurahkan perhatian kepada Karawang dengan mengerahkan bibit unggul, penggunaan pestisida plus pembangunan saluran irigasi secara besar-besaran. Hasilnya, di tahun 1984, produksi melimpah hingga 25 juta ton lebih.

Indonesia pun meraih ambisinya dalam hal swasembada beras. Tapi sayang, hal ini tak bertahan lama lantaran Soeharto berubah pikiran. Akhirn 1980-an, kawasan ini disulap menjadi kawasan industri. Sebanyak 538 tanah darat yang merupakan areal tanam padi dibebaskan.

Calo tanah pun berperan aktif dalam pembebasan lahan tersebut. Tanah yang statusnya secara resmi milik 87 orang petani, dijual dengan harga murah. Sementara Keputusan Presiden nomor 53 tahun 1989 tentang pengembangan kawasan industri Karawang, baru diterbitkan kemudian.

Sementara itu, untuk pertama kalinya pembangunan perumnas di pedesaan dilakukan dikawasan Teluk Jambe, Krawang di atas lahan seluas 186 hektar meliputi tiga desa yakni, Wadas, Sukalyu dan Sukaharja.

Pemerintah pun merespon upaya ini sebagai penunjang kawasan industri. Sepanjang 1994 hingga 1995, sebanyak 174 hektar lahan sawah secara resmi dialih fungsikan sebagai perumahan. Beda sedikit dengan rencana awal yakni 186 hektar.

Saat krisis monter menerpa, pengembang perumnas mengganti strategi dengan menyodorkan tawaran kepada pegawai pemerintah juga buruh. Hal ini, dilakukan dengan menggandeng BTN sebagai mitra kerjanya. Alhasil, tawaran penghapusan bunga kredit selama lima tahun pun disodorkan.

Dinas Pertanian Kabupaten Karawang mencatat, sepanjang tahun 1989 hingga 2007, alih fungsi lahan dilakukan sebanyak 135,6 hektar setiap tahunnya. Akibatnya, jika tahun 1989 luas areal persawahan mencapai 12.114 hektar, ludes menyusut jadi 2.497 hektar saja di tahun 2007.

Perubahan sosial dan kesenjangan ekonomi pun mulai terlihat antara penduduk kampung dengan penghuni perumahan. Masyarakat asli yang tadinya teguh memegang profesi sebagai petani sejak turun temurun, turut pula beralih profesi sebagai tukang ojek, kuli panggul atau bangunan, bahkan buruh serabutan. Sementara penghuni perumahan, masih setia dengan profesinya sebagai karyawan pabrik atau pegawai pemerintah.

Upaya Tolak Krisis Pangan

Bukan tak mungkin, jika alih fungsi lahan pertanian terus-terusan terjadi akibat lonjakan pertumbuhan jumlah penduduk yang kemudian memicu naiknya kebutuhan hunian, Indonesia malah mengalami krisis pangan di masa mendatang.

Tahun 2019, pemerintah pusat pun mengeluarkan instruksi yang memerintahkan pemerintah kabupaten/kota segera mengendalikan alih fungsi lahan pertanian pangan. Pemerintah Kabupaten Bandung, segera saja menetapkan lahan seluas 31 ribu hektar sebagai lahan abadi pertanian sebagai antisipasi ancaman krisis pangan, dengan menerbitkan Perda nomor 1 tahun 2019 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Pemkab Bandung, menggandeng Balai Penelitian Tanaman Pangan yang kemudian diketahui ada 35 ribu hektar lahan potensial. Namun sayang, masih berkaitan persoalan kebutuhan hunian, setiap tahunnya, sebelum Perda tersebut disahkan, penyusutan lahan persawahan juga terjadi di Kabupaten Bandung dengan memakan angka 11 hingga 15 hektar tiap tahunnya.

Dorongan pun makin kuat, agar Jawa Barat kembali memegang statusnya sebagai lumbung pangan. Sebab meski ancaman alih fungsi lahan masih terus menghantui, kawasan di sebelah barat Pulau Jawa ini dianggap masih punya potensi besar di bidang pertanian. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini.

Lalu, di mana lahan di Jawa Barat yang masih dianggap strategis guna mempertahankan bahkan meraih kembali status lumbung pangan itu guna membangun ketahanan pangan nasional?

Para ahli, pemangku kebijakan dan paguyuban pun melirikkan matanya ke daerah Sumedang di Jawa Barat, yang dianggap mampu menjadi salah satu motor pembangunan kemandirian pangan nasional.

Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) menyatakannya begitu. Guntur Subagja Mahardika selaku Ketua Intani sekaligus asisten staf khusus Wakil Presiden bilang, Sumedang punya dukungan kuat terkait kualitas pertaniannya. Soalnya, kata dia, di Kecamatan Sumedang Utara saja, hasil panen menunjukkan ada peningkatan produksi bahkan hingga dua kali lipat.

Ini, menurut Ketua Komite Pemulihan Ekonomi Daerah (KPED) Ipong Witono, lantaran diterapkannya teknologi suplemen penyubur tanah dan tanaman yang dilaksanakan Sumedang.

Sumedang pun, akhirnya didaulat menjadi kawasan percontohan penanaman padi menggunakan Bio Gro. Maka, hasilnya meningkat dari 4 sampai 5 ton per hektar menjadi 9 ton perhektar tiap kali musim panen.

“Dengan peningkatan produksi, kekurangan pangan Jabar dapat diatasi,” kata Ipong.

Melimpahnya produksi padi di Kabupaten Sumedang pun, menurut Dony Ahmad Munir, Bupati setempat, bakal menjadikan kawasan ini sebagai pemasok utama bagi daerah lain termasuk DKI Jakarta.

Memang Betul, beberapa waktu lalu, Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, sudah menyambangi Sumedang untuk menandatangani MoU agar mau menjadikan Jakarta sebagai daerah pemasaran produk pertaniannya. Jalinan kerjasama secara teknis pun dilakukan antara BUMD Kampung Makmur dan BUMD PT Tjipinang Raya dan Food Station.

Banyak Ahli Tani di Jawa Barat

Begitu pun hal yang disampaikan Rizal Ramli. Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Presiden Gus Dur ini mengatakan, berkaca dari luasnya lahan pertanian dan banyaknya ahli di provinsi ini, Jawa Barat, harus betul-betul meraih predikat sebagai lumbung pangan.

Di matanya, sumber daya alam di Jawa Barat, memang menungkinkan jika daerah ini dijadikan sebagai lumbung pangan. Apalagi dengan keberadaan Institut Pertanian Bogor (IPB). Seharusnya, kawasan ini unggul dari segi pertanian.

Dengan kata lain, pemerintah pusat dan provinsi tak boleh pelit memberikan dukungan termasuk anggaran agar para peneliti di sektor pertanian bisa membuat kawasan ini kaya akan pangan. Terlebih, di masa pandemi banyak negara lain justru melakukan lock down, sementara sektor pertanian di Indonesia, bisa dibilang tak terlalu terpengaruh penyebaran Corona.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sepakat dengan pandangan Rizal. Kang Emil bilang, sektor pangan dan pertanian memang paling sedikit kena imbas pandemi dengan presentasi penurunan pertumbuhan ekonomi di kedua bidang ini cuma 0,9 dan 4,1 persen saja. Makanya tak salah kalau bidang ini diindikasikan sebagai zona ekonomi paling tangguh terhadap godaan Covid 19.

Emil, rupanya juga punya hasrat menjadikan Jawa Barat meraih swasembada kemudian menurunkan angka impor secara bertahap. Sementara perdagangan antar daerah, juga bakal dikendalikan dengan tidak menyerahkannya pada mekanisme pasar.

“Ketahanan pangan ini juga berpengaruh terhadap inflasi yang kuncinya adalah jaminan pasokan dan mata rantai diperbaiki. Jangan sampai orang Bogor beli telur di Jakarta padahal telurnya berasal dari Sukabumi,” kata Emil.

Dia juga bilang, yang tak kalah penting selain pemasaran, pengembangan di sektor pertanian dan pangan pun harus memanfaatkan digitalisasi. Emil mengklaim, Jawa Barat sudah menerapkan teknologi ini di bidang perikanan.

Smart Farming Menyongsong Predikat Lumbung Pangan

Ngomong-ngomong soal digitalisasi di sektor pertanian, beberapa waktu lalu Jernih.co pernah menayangkan artikel berjudul Ari Betot Anak Muda Jadi Petani. Di sana, diceritakan bahwa dunia pertanian tak lagi menarik bagi kawula muda sebab dianggap tak menjanjikan. Makanya, kelompok pemuda lebih memilih melangkahkan kakinya ke kota besar biar pun cuma sekedar jadi kuli bangunan.

Berdasar riset Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2020 yang kemudian disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat saja, ditemukan fakta bahwa dari seluruh petani di Tatar Sunda, sebanyak 36,30 persen ada di rentang usia 45 hingga 49 tahun. Sementara umur 30 sampai 44 tahun, cuma 24,6 persen. Sisanya, kerja di kota besar atau menjadi TKI di luar negeri.

Sementara itu, masih berdasar hasil riset Sakernas, hampir seluruhnya mengenyam pendidikan cuma sebatas Sekolah Dasar. Bayangkan, angkanya sebanyak 81,32 persen.

Pada 2019, LIPI pernah mempublikasikan hasil penelitiannya. Diumumkan, kalau menurunnya minat muda-mudi lantaran profesi petani tak menguntunggkan apalagi membanggakan. Akibatnya, dunia pertanian terancam cuma diisi generasi tua.

Soal ini, rupanya menarik perhatian Ari Darmawan, seorang petugas penyuluhan pertanian dari Dinas Pertanian Sumedang, Jawa Barat. Dia menawarkan sebuah teknologi yang memudahkan kerja petani.

Ari menyebutnya sebagai smart farming yang memang sudah dicanangkan Kementerian Pertanian. Dia bilang, pada penerapannya, petani cukup menyentuh layar Hp saja. Pekerjaan seperti menyiram dan mengusir hama burung di areal persawahan, bisa dilakukan cukup sekali sentuh.

Prototype yang dibuatnya, cuma membutuhkan modal sebesar Rp 100 ribu untuk membeli prosessor yang menjadi otak, empat buah relay dan sebuah alat sensor kondisi tanah. Sedangkan peralatan teknis seperti dinamo penggerak, pipa paralon atau selang air, dan lain sebagainya disesuaikan dengan kebutuhan beban kerja.

Dia mencontohkan, jika alat ini diperuntukkan sebagai alat penyiram dan penjaga kelembaban tanah, maka sensor mengirim sinyal ke layar hape. Cukup disentuh, tanaman pun disiram secara otomatis.

Sebenarnya, Ari melakukan “pembelotan” sedikit terhadap instruksi. Dia bilang, pada sosialisasi dan pelatihan yang pernah dia ikuti, pemerintah sebenarnya mengarahkan agar para petani menyewa alat ini pada sebuah perusahaan swasta.

“Saya ga sampai hati mengarahkan petani menyewa alat ini. Makanya saya tawarkan, bikin sendiri saja. Saya siap kok mendampingi dalam proses pembuatannya,” kata dia.

Ari bilang, jika menyewa harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 120 juta per lima tahun untuk areal tanam seluas 25×10 meter. Artinya, jika ingin mengakses teknologi tersebut, petani kudu mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp 2 juta tiap bulannya.

“Bagaimana bisa untung, kalau harus sewa semahal itu?” kata dia lagi.

Bisa jadi, jika anggaran yang dikucurkan pemerintah guna menjadikan Jawa Barat sebagai lumbung pangan salah satunya digunakan untuk memproduksi alat yang disodorkan Ari, kemudian dibagi-bagikan atau dijual dengan harga murah ke para petani, harapan itu bisa segera tercapai. Dan kawula muda, mau ikut serta mengayunkan cangkul di sawah-ladang hingga predikat sebagai negara agraris bisa kembali digenggam.[Dari berbagai sumber]

Back to top button