Doni Sang Penyintas, the Untold Story: Hari-hari Doni Monardo Sebelum Terpapar dan Setelah Sembuh dari Covid (2)
Doni menolak menjalani perawatan dan isolasi di rumah sakit. Sementara, kondisi fisiknya tidak bisa dikatakan “baik-baik saja”. Hari kedua sejak terpapar Covid, suhu badannya naik. Jangankan untuk beraktivitas, bahkan untuk memegang handphone saja tidak sanggup.
Oleh : Egy Massadiah
JERNIH–Dalam kesempatan yang sama, sebelum kembali ke Ibukota Negara, Presiden mengapresiasi BNPB serta jajaran lain yang bahu-membahu bekerja keras di fase tanggap darurat (pasca musibah). Betapa pentingnya koordinasi, menata manajemen kedaruratan dalam satu komando, melibatkan semua unsur.
Tentu apresiasi Presiden kepada BNPB di bawah komando Doni Monardo, serasa siraman air segar. Tidak saja menyiram jiwa-jiwa yang lelah, raga-raga yang letih, tetapi juga ibarat suntikan vitamin.
Rasa lelah jiwa-rata makin terobati demi menyimak kalimat Doni yang berulang dilesakkan ke benak kami, “Jangan pikirkan diri kita, pikirkan derita para korban.” Kalimat yang kurang lebih sama dalam konteks penanganan Covid-19. Doni selalu mengatakan, “Pikirkan para dokter dan tenaga medis. Pikirkan mereka yang meninggal karena Covid-19. Bayangkan beban derita keluarganya.”
Karenanya, kami hanya bisa mengelus dada, manakala ada netizen yang mengunggah video yang kurang bertanggung jawab. Sebagai contoh, sebuah video diviralkan. Isinya, “Sampai hari ini, korban gempa di sini belum menerima bantuan sama sekali.”
Betapa sulit menjangkau sejumlah daerah. Beberapa kali penerbangan helikopter bantuan, gagal mendarat karena cuaca ekstrem.
Kali lain, helikopter terpaksa mendarat di lokasi yang cukup jauh dari lokasi musibah. Perlu waktu lagi untuk bisa mengantar bantuan ke titik korban. Helikopter BNPB bagaikan menyabung nyawa untuk mendekati sejumlah titik dropping bantuan. Alam yang rawan ditambah perubahan cuaca yang tiba tiba serta angin kerap menjadi hambatan.
BNPB dan Pemda setempat memastikan, jangan ada korban tak tersentuh bantuan. Yang terjadi adalah, bantuan datang sedikit terlambat karena berbagai hambatan di lapangan, terutama cuaca.
Nah, alangkah bijak, jika para netizen teliti dalam memviralkan video yang bernada negatif bahkan provokatif. Di tengah suasana bencana, mental korban sangat labil, serta perasaannya sangat sensitif.
Di lapangan, tidak hanya ada BNPB dan BPBD. Banyak unsur lain yang berjibaku membantu korban bencana. Ada Basarnas, ada prajurit TNI/Polri, para relawan, PMI, NU, Muhammadiyah dan lain-lain. Bahkan, setiap hari sebelum kembali ke Jakarta –setelah lebih seminggu di Mamuju—Doni selalu hadir di lapangan melakukan koordinasi.
Teringat, malam pertama tiba di Mamuju, saat itu hujan amat deras. Dengan rombongan kecil Doni menerjang hujan, menuju sebuah alamat di kota Mamuju. Seseorang baru saja mengirim informasi, ada indikasi korban tertimbun runtuhan bangunan akibat gempa. Dalam kegelapan Doni berucap, kepada sejumlah anggota TNI yang menemaninya di lokasi, “Pastikan, jangan sampai ada korban yang masih tertimbun bangunan.”
Lelah dan mengantuk
Berikutnya, mari kembali ke dalam kabin pesawat ATR. Saya, Jarwansyah, dan pejabat BNPB lain merapat ke dekat tempat duduk Doni Monardo. Rapat. Usai memahami point point inti yang dibahas, saya pura-pura tidur. Hingga akhirnya terlelap.
Pesawat pun mendarat di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur setelah menempuh penerbangan langsung sekitar 3,5 jam. Harinya Jumat, tanggal 22 Januari 2021. Seperti biasa, semua kembali ke markas Graha BNPB untuk tes PCR dan tes swab antigen, sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Belum lagi menginjak kantor BNPB, Koorspri Kolonel Budi Irawan sudah ditugaskan untuk menyiapkan rapat, sore itu juga. Singkat kalimat, rapat berjalan lancar hingga malam pukul 20.00, tes PCR maupun swab antigen juga tuntas. Semua kembali ke rumah, termasuk Doni Monardo.
“Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak”, Doni pun terpapar corona. Hari Sabtu (23/1/2021) esok harinya, ia mengumumkan dirinya positif tertular virus corona. Kami semua kaget. Shock.
Kisah selanjutnya, sudah banyak yang mahfum. Doni menjalani isolasi mandiri. Setelah 20 hari, “panglima Covid-19” itu pun akhirnya dinyatakan negatif Covid-19. Doni menjalani tes PCR pada hari Jumat tanggal 12 Februari 2021 siang.
“Alhamdulillah. Saya bersyukur kepada Allah SWT atas hasil negatif covid ini. Saya mengucapkan terima kasih, pertama-tama kepada keluarga. Istri, anak-anak, menantu serta cucu, adalah motivator terbaik saya sehingga tetap bersemangat menjalani isolasi mandiri mengenyahkan virus corona dari tubuh saya,” ujar Doni, Jumat tanggal 12 Februari 2021 kepada wartawan.
Doni juga berterima kasih kepada dokter di rumah sakit, tim dokter Satgas Covid-19 dan BNPB atas segala dukungan dan perhatian yang telah diberikan. “Termasuk doa kawan-kawan, doa dari masyarakat demi kesembuhan saya,” tambah Doni.
Tak pelak, mantan Danjen Kopassus itu pun resmi menyandang predikat ‘penyintas Covid-19’, dan karenanya ia siap menyumbangkan plasma konvalesen. Tanpa diingatkan siapa pun, Doni ingat hal itu.
Hari Jumat (26/2/2021), tim dokter Palang Merah Indonesia (PMI) merapat ke Graha BNPB. Doni berkonsultasi ihwal rencana mendonorkan plasma konvalesen. Sebelumnya, petugas PMI melancarkan sejumlah pertanyaan sebagai bagian dari protokol donor. Di sinilah Doni mengungkap kisah yang belum banyak diketahui orang.
Dipaksa dirawat di RS
Kisah tentang alotnya membawa Doni Monardo ke rumah sakit. Tim dokter dari Satgas Covid-19 maupun tim dokter BNPB, meminta Doni berkenan dirawat di rumah sakit. Semua bujuk-rayu kami seperti membentur tembok.
Sementara, kondisi fisik Doni tidak bisa dikatakan “baik-baik saja”. Hari kedua sejak terpapar Covid, suhu badannya naik. Jangankan untuk beraktivitas, bahkan untuk memegang handphone saja tidak sanggup. [Bersambung]