Kepercayaan Publik Polandia Kepada Gereja Surut Akibat Politisasi Agama
Skandal pencabulan dan kedekatan politik dengan kelompok ultra-nasionalis, membuat Gereja Katolik Polandia yang dulu dominan perlahan terasingkan dari umat. Sebuah situs internet yang menawarkan layanan murtad dari Gereja Katolik, licznikapostazji.pl, mengaku sudah menerima 1.000 permintaan dalam hanya dua pekan.
JERNIH–Selama lima tahun kekuasaan Partai Hukum dan Keadilan (PiS) di Polandia, batas antara politik dan agama semakin “mengabur,” tulis harian Inggris, The Guardian, di laman editorialnya awal Desember lalu.
Pemicunya adalah manuver politik Uskup Agung Marek Jędraszewski yang mengobarkan perang terhadap paket dana pemulihan Covid-19 dari Uni Eropa. Dia beralasan bantuan itu merupakan “Kuda Troya” yang menyaratkan legalisasi aborsi, penerapan “ideologi gender” di sekolah dan membumikan nilai-nilai liberal.
“Ketika para pemuka agama beroperasi dalam simbiosis autoritarianisme, Polandia kembali tampil sebagai sebuah teokrasi di jantung Uni Eropa,” tulis harian tersebut.
Persepsi negatif media, dan kritik terbuka dari Vatikan, turut mencederai reputasi Gereja Katolik di Polandia. Warga mulai mempertanyakan warisan mendiang Paus Yohanes Paulus II—lahir sebagai Karol Józef Wojtyła di Polandia–dan mencurigai kedekatan gereja dan negara.
Sebuah jajak pendapat yang dipublikasikan belum lama ini mencatat hanya 41 persen penduduk yang mendukung gereja. Sementara sebanyak 47 persen cenderung melihat peran para uskup secara negatif.
Tingkat kepercayaan publik yang terjun bebas sebanyak 16 persen sejak Maret itu “tergolong besar untuk rentang waktu yang pendek,”ujar Katarzyna Zalewska, seorang sosiolog di Universitas Jagiellonian di Krakow, kepada AFP. Menurutnya, tren meningkatnya sekularisme di kalangan masyarakat “jelas berakselerasi,” dalam beberapa tahun terakhir.
Deklinasi pengaruh gereja
Putusan Mahkamah Konstitusi Oktober lalu, yang mengabulkan larangan aborsi, termasuk paling menohok. Legislasi yang didukung sepenuhnya gereja itu memicu kecaman publik dan aksi demonstrasi massal di seluruh negeri.
Derasnya kritik terhadap hirarki gereja dan reaksi yang dramatis di jalan-jalan ibu kota memaksa pemerintah menunda implementasi putusan MK membatasi hak reproduksi.
Kedekatan antara Gereja Katolik di Polandia dengan kelompok ultra-nasionalis dalam berbagai isu politik dinilai mencederai reputasi gereja.
Melebarnya jurang antara umat dan pemuka gereja juga dicatat dalam statistik resmi, di mana warga tercatat berbondong-bondong mengeluarkan anaknya dari kelas agama di sekolah. Dua pertiga penduduk ingin agar pendidikan agama dikembalikan kepada paroki, bukan lagi sekolah, demikian menurut survey teranyar.
Jika pada 2010 masih ada 90 persen murid mendaftar kelas agama, kini jumlahnya 70 persen, lapor lembaga penelitian Polandia, CBOS.
Menurunnya minat terhadap pendidikan agama diiringi semakin banyak warga yang mengaku ingin keluar dari gereja, dan secara resmi mencabut status diri sebagai seorang penganut Katolik.
Sebuah situs internet yang menawarkan layanan murtad dari Gereja Katolik, licznikapostazji.pl, mengaku sudah menerima 1.000 permintaan dalam hanya dua pekan. Situs lain, apostazja.eu, mengklaim, formulir permohonan keluar dari gereja yang mereka sediakan sudah diunduh 30.000 pengguna dan siap dikirimkan.
“Jumlahnya meledak,” sejak Mahkamah Konstitusi membatasi hak aborsi, kata pendiri situs, Krzysztof Gwizdala.
Jumlah tersebut tidak berbanding dengan 33 juta penganut Katolik Polandia. Namun begitu, meningkatnya angka apostasi memaksa gereja kembali membuat catatan resmi setelah berhenti selama 10 tahun. Pada 2010 lalu, jumlah warga yang keluar dari gereja hanya tercatat 459 kasus.
Elitisme pemuka agama
Marcin Kaczmarek, sosiolog di Universitas Poznan, mengatakan menyusutnya pengaruh gereja di Polandia bukan diakibatkan skandal pelecehan seksual, tapi “lebih kepada reaksi gereja terhadap masalah tersebut. Gereja terbelah antara kepentingan korporasi, dan dedikasi pada ajaran sendiri.”
Zalewska menilai pemuka gereja gagal “mendengar sinyal” perubahan dan bertingkah “seakan mereka beroperasi di sebuah sistem yang berbeda,” di mana para uskup tidak merasa perlu meralat posisinya.
Salah satu kasus yang paling mencolok adalah Kardinal Stanislav Dziwisz yang dituduh menutup-nutupi kasus pelecehan seksual. Dziwisz yang pernah bekerja sebagai sekretaris pribadi Paus Yohanes Paulus II merupakan legenda gereja di Polandia.
Sikap gamang gereja dalam kasus pelecehan seksual semakin kentara dalam sebuah film dokumenter terbaru. Di dalamnya Dziwisz berulangkali membatalkan wawancara, bahkan mengancam jurnalis agar tidak memublikasikan laporannya.
Menurut Zalewska, skandal pencabulan turut mempercepat gelombang sekularisasi umat Katolik di Polandia. Fenomena serupa pernah dicatat di Irlandia pada dekade 1990-an. Menurutnya, derita pandemi corona bisa membantu memulihkan kepercayaan warga kepada Gereja Katolik. [the Guardian/AFP/REUTERS/Tagesschau/Deutsche Welle]