Film The Social Dilemma, Narasi Khilaf Para Inisiator Social Media
WWW.JERNIH.CO – Dunia kini berada dalam kenyataan tatanan masyarakat baru bernama masyarakat digital. Sebuah tatanan yang ternyata tidak pernah terpikirkan oleh para penggagas teknologi akan menjadi seperti sekarang ini. Teknologi yang dibawa oleh Google, Facebook, YouTube di luar dugaan. Seperti ungkapan para pendahulu, teknologi ibarat dua sisi pisau tajam.
Ada sisi baik dan sisi buruk. Ketika film The Social Network dirilis pada 10 tahun silam menceritakan bagaimana Facebook didirikan. Film tersebut merupakan kisah nyata yang kemudian diangkat ke layar lebar. Film ini lebih menekankan pada sisik melik tokoh Mark Zuckerberg sebagai pendiri. Anda mungkin mendapatkan inspirasi kisah biografi.
Sementara di film The Social Dilemma justru sebaliknya. Film ini dikemas dengan cara memadukan antara opini dan fiksi. Pada sisi opini hadir para mantan pelaku industri teknologi media sosial dari Facebook, Google, Pinterest, YouTube dari mulai penggagas fitur hingga investor awal, juga para pemerhati dari kalangan akademisi. Sedangkan pada sisi fiksi menampilkan cerita sebuah keluarga yang anak-anaknya keranjingan ponsel dan media sosial.
Paduan ini saling menyambung dan berkesinambungan mengikuti plot yang dirancang oleh trio penulis skenario Davis Combe, Vickie Curtis dan Jeff Orlowski. Kendati masuk kategori dokumenter namun alur cerita yang dikreasikan sungguh sangat apik.
Sesuai judul, film yang dirilis lewat jaringan Netflix, September ini melihat dari sudut pandang buruknya teknologi yang sesungguhnya tidak pernah diperkirakan. Di Amerika, terjadi polarisasi antara pendukung Partai Republik dan Partai Demokrat pada pemilihan presiden 2016 silam yang memenangkan Donald Trump. Pemilu yang sarat akan isu, hoax, hingga dugaan keterlibatan Rusia memainkan layanan Facebook guna memenangkan Trump.
Buruknya media sosial di negeri pencipta medsos itu juga terjadi pada isu ras, hingga munculnya kasus bunuh diri yang merebak pada anak-anak usia remaja. Begitu pula di belahan dunia lain. Sementara media sosial menciptakan ketergantungan di kalangan remaja. Soal ini oleh sang sutradara Jeff Orlowski dirupakan fiksi.
Kisahnya Ben yang generasi Facebook ditantang satu minggu tanpa membawa ponsel oleh sang ibu. Hanya kegelisahan yang terjadi di awal, tak sampai seminggu ia gagal mengatasi tantangan itu. Kecerdikan Orlowski juga tampak pada ilustrasi tentang sistem di balik layar Facebook (atau media sosial pada umumnya, termasuk mesin pencari) di mana super komputer beserta data-data yang diperoleh dari perilaku pemakaian sosmed dikendalikan di sana.
Tristan Harris, mantan desain etik Google yang jebolan Stanford University adalah pemeran utama. Ia kini mendirikan Center of Humane Technology. Institusi yang sangat pduli dengan perubahan tatanan masyarakat akibat sisi negatif digital. Facebook, menurut para nara sumber di film ini, memiliki produk bernama manusia. Manusia yang jumlahnya miliaran dan para pemilik akun. Sebagai produk mereka adalah sasaran empuk bagi para pengiklan. Dan, iklan inilah salah satu sumber besar pendapatan Facebook.
Lebih dari 10 nara sumber berbicara dengan perspektif dampak negatif media sosial. Algoritma yang kemudian muncul adalah buah dari lonjakan pemakaian dan kemudian diarahkan oleh para pemiliknya. Para owner bebas meminta anak buahnya untuk mencek apa yang sedang terjadi di Korea atau di belahan dunia lain. Shoushana Zuboff, profesor Harvard yang ahli psiko sosial menyebut bahwa dari keseluruhan sistem di balik itu semua hanya ada satu kata kunci yang dicari. “Data!” katanya.
Ya, data dan cara menghimpun miliaran data dari pengguna itu menjadi sumber dari perjalanan teknologi berikutnya. Sampai pada satu era yang disebut dengan kecerdasan buatan (AI). Di tahap ini, rupanya juga muncul ketidaksependapatan para nara sumber, jika menggunakan konteks kemanusiaan.
Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas dampak dari teknologi yang membuat di Amerika sangat mungkin bakal terjadi perang saudara itu?
Harris dan para nara sumber sepakat, para pemilik teknologi dan platform lah pihak yang paling bertanggungjawab. Bukan teknologinya yang salah, ujar salah satu narsum. “Melainkan pemimpinnya yang tidak benar,” lanjutnya.
Ben si tokoh fiktif termakan hoax dan bergabung dengan demonstran. Apa daya, ia justru kena tangkap kepolisian akibat demo yang berujung rusuh.
The Social Dilemma bertutur apik dengan narasi manis kekhilafan para inisiator berupa perspektif baru. Perspektif setelah melihat kenyataan yang memilukan tatanan masyarakat dunia. Film ini mudah dicerna, sekaligus menjadi penghayatan, oleh IMDB diberi poin 8 (dari 1-10), senada dengan peniliaian versi Rotten Tomatoes yang memberi 88% (dari 100 %). (*)