Oikos

Krisis Properti Siap Meledak di Cina

Jika Evergrande dan Kaisa melewatkan pembayaran mereka, para pemimpin Cina akan dihadapkan dalam posisi yang sulit, mengingat kedua raksasa tersebut berisiko mengacaukan pasar properti dan sistem keuangan jika tiba-tiba runtuh. Tetapi jika pemerintah turun tangan, hal itu mengirim pesan yang salah bahwa mereka akan datang untuk menyelamatkan perusahaan properti lain yang juga menumpuk utang.

JERNIH— Gagah, perlente dan terlihat kaya di luar tidak selalu menunjukkan kondisi sebenarnya seseorang. Demikian pula Cina saat ini. Sejumlah perusahaan properti di Cina saat ini tengah bersusah payah berupaya melunasi utang, dengan Evergrande dan Kaisa  yang tercatat harus mengumpulkan ratusan juta dolar AS untuk bisa melakukannya.

Di tengah pusaran krisis properti yang sedang terjadi, Beijing berusaha meyakinkan pasar secara keseluruhan, tetapi juga secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa rezim saat ini dapat saja membiarkan Evergrande terlunta-lunta.

Sudah sekian lama pasar properti Cina dipenuhi oleh utang menggunung sebagai bahan bakar utama operasional perusahaan, dengan keyakinan denyut nadi pasar perumahan tidak akan berhenti. Akibatnya, China Evergrande Group dan pengembang perumahan bermasalah lainnya, menghadapi tenggat waktu pembayaran jutaan dolar AS.

Peliknya kondisi pasar properti Cina saat ini, menjadi ujian bagi narasi yang disebarkan Beijing bahwa mereka dapat menangani ancaman ini terhadap ekonomi Cina.

Evergrande, yang memiliki kewajiban sekitar 300 miliar dolar AS, membutuhkan lebih dari 82 juta dolar AS untuk melakukan pembayaran bunga terhadap dua surat utang yang diterbitkan Evergrande’s Scenery Journey Ltd kepada kreditur, demi menghindari gagal bayar (default), di mana akhir masa tenggat (grace period) jatuh pada Senin (6/12) lalu.

Pengembang properti tersebut juga mengatakan akhir pekan lalu, mereka tidak dapat melakukan pembayaran lain yang terpisah senilai 260 juta dolar AS, sebuah indikasi yang diambil investor sebagai awal dari malapetaka. Alhasil, sahamnya anjlok nyaris 20 persen pada Senin lalu di Bursa Hong Kong.

Pengembang lainnya yang juga dalam tekanan berat, Kaisa Group, harus membayar pemegang obligasi 400 juta dolar AS pada hari Selasa (7/12). Ini terjadi setelah minggu lalu perusahaan menyebutkan mereka gagal mendapatkan persetujuan dari investor untuk menegosiasikan kembali ketentuan pembayaran.

Sektor properti Cina telah membuat pasar global gelisah selama berbulan-bulan, dikarenakan perusahaan pengembang properti kewalahan dalam memperoleh dana segar untuk membayar utang yang menggunung. Nasib buruk pengembang properti semakin diperparah oleh melambatnya permintaan dari pembeli rumah, jatuhnya harga properti di banyak kota di Cina dan tindakan keras Beijing terhadap pinjaman bank yang berlebihan.

Pengembang properti Cina memiliki kewajiban 1,3 miliar dolar AS dalam pembayaran obligasi dolar AS yang jatuh tempo bulan ini. Pada April, angka tersebut akan melonjak menjadi 17 miliar dolar AS, menurut perkiraan Goldman Sachs.

Jika Evergrande dan Kaisa melewatkan pembayaran mereka, para pemimpin Cina akan dihadapkan dalam posisi yang sulit, mengingat kedua raksasa tersebut berisiko mengacaukan pasar properti dan sistem keuangan jika tiba-tiba runtuh. Tetapi jika pemerintah memilih turun tangan untuk membantu, hal ini dapat mengirim pesan yang salah bahwa mereka akan datang untuk menyelamatkan perusahaan properti lain yang juga menumpuk utang.

Para pemimpin Cina sejatinya memiliki beragam cara untuk menghentikan kepanikan, termasuk cengkeraman ketat mereka pada sektor perbankan dan keuangan, dan kemampuan mereka untuk membungkam berita miring yang mengejutkan di media massa. Namun, pihak berwenang hingga saat ini masih mengambil langkah ekstra hati-hati.

Pada hari Senin, regulator perbankan Cina melonggarkan jumlah uang yang harus disimpan bank untuk memenuhi rasio cadangan minimum (required reserve rasio/RRR), memberi dorongan yang lebih besar bagi perbankan untuk menyalurkan kredit di tengah krisis properti dan tanda-tanda perlambatan pertumbuhan. Politbiro Partai Komunis pada hari Senin mengatakan, pemerintah harus “mendukung pasar perumahan komersial untuk dapat memenuhi kebutuhan perumahan yang wajar dari pembeli rumah dan mempromosikan perkembangan yang sehat dan siklus yang baik dari industri real estat.”

Akhir pekan ini, pejabat di provinsi selatan Guangdong, tempat Evergrande bermarkas, mengirim tim ahli ke perusahaan untuk membantu memperbaiki keuangannya. Pihak berwenang tidak mengklarifikasi apakah mereka siap untuk campur tangan agar Evergrande tetap bertahan.

Langkah itu dilakukan setelah Evergrande mengejutkan pasar dan regulator dengan mengungkapkan pada Jumat (3/12) malam bahwa mereka tidak lagi dapat memenuhi kewajiban keuangannya dan akan memulai diskusi dengan krediturnya mengenai rencana untuk merestrukturisasi utangnya. Pemerintah kemudian memanggil pendiri Evergrande, Xu Jiayin, sementara regulator mengeluarkan serangkaian pernyataan untuk meyakinkan pasar bahwa krisis yang dialami perusahaan tidak akan meluas ke ekonomi yang lebih luas.

Regulator Cina menyalahkan manajemen Evergrande atas masalahnya, sambil mencoba meyakinkan publik bahwa sistem keuangan lainnya aman. Bank sentral menuding Evergrande akan kesalahan dalam “manajemen yang buruk dan ekspansi yang sembrono.”

Regulator perbankan dan asuransi mengatakan prihatin dengan perkembangan terakhir tetapi menambahkan bahwa masalah Evergrande tidak akan memiliki “dampak negatif pada operasi normal” industri keuangan. Regulator sekuritas mengatakan sektor properti secara keseluruhan tetap “sehat” dan berjanji untuk mendukung “pembiayaan yang wajar dan normal” dari pengembang.

Banyak masalah di sektor properti Cina berasal dari keputusan pemerintah untuk mengendalikan sembari mengurangi kebiasaan meminjam yang sembrono dari pengembang real estat terbesar Cina. Khawatir akan bubble perumahan, bank sentral melaksanakan kebijakan “tiga garis merah” tahun lalu: aturan yang memaksa perusahaan properti untuk menurunkan tingkat utang mereka sebelum mencari tambahan dana dari pinjaman bank.

Dibatasinya pembiayaan oleh bank, pengembang properti secara cepat mengalami hambatan lain, dengan pasar obligasi dolar juga menjadi lebih sulit untuk dimanfaatkan.

Di atas kertas, Evergrande memiliki lebih dari 300 miliar dolar AS tagihan yang belum dibayar kepada pemegang obligasi, pemasok dan lain-lain, dengan beberapa analis memperkirakan utang yang dilakukan di luar pembukuan mungkin hampir sebanyak itu juga. Menurut satu perkiraan dari Goldman Sachs, Evergrande mungkin memiliki utang tersembunyi tambahan lebih dari 156 miliar dolar AS.

Kewajiban keuangan baru juga mulai muncul, seperti pembayaran pinjaman berbunga tinggi yang harus dibayar kepada karyawan setelah perusahaan menodong mereka untuk meminjamkan uang tunai ketika berada dalam kondisi sulit awal tahun ini. Dan ketika Evergrande mengatakan minggu lalu bahwa pemegang obligasi telah menuntut pembayaran 260 juta dolar, itu adalah pertama kalinya perusahaan secara terbuka mengakui kewajiban tersebut.

Beberapa pengembang properti lainnya telah gagal membayar utang mereka, termasuk Fantasia, sebuah perusahaan real estate mewah yang mengejutkan pasar karena sebelumnya tidak pernah melewatkan pembayaran.

Tidak jelas seberapa jauh Beijing akan menghentikan risiko penularan di industri yang lebih luas. Kaisa, yang masih tertekan untuk melakukan pembayaran terakhir atas obligasinya pada hari Selasa, adalah peminjam utang luar negeri terbesar Cina setelah Evergrande.

Banyak pengembang lain juga memiliki tenggat waktu pembayaran yang semakin dekat. China Aoyuan Property Group, pengembang yang lebih kecil, mengatakan investor menuntut 651 juta dolar AS dalam pembayaran obligasi.

Untuk bertahan hidup, perusahaan properti Cina mungkin perlu mencari sumber dana baru.

Fantasia pada hari Senin menawarkan secara sekilas bagaimana langkah perusahaan untuk dapat bertahan. Di akun media sosialnya, Fantasia memublikasikan wawancara dengan Pan Jun, pimpinan perusahaan, dengan tajuk “Ancam seseorang dengan ketakutan akan kematian dan mereka akan berjuang untuk hidup.”

Pan Jun menjelaskan bagaimana perusahaan menawar tanah awal tahun ini meskipun tidak menemukan modal baru. Dia juga mengatakan bahwa perusahaan belum sepenuhnya memahami pentingnya aturan tiga garis merah Beijing.

“Pemerintah sudah mengatur dan mengulangi peraturan itu berulang-ulang,” kata Pan Pan. “Tapi kami tidak memiliki departemen untuk memberi kami peringatan risiko.”

Sekarang perusahaan telah belajar dari kesalahannya, katanya, akan secara aktif berkomunikasi dengan pemegang obligasi dan regulator setiap hari. [The New York Times/The Guardian/CNBC]

Back to top button