Siapa Sih Yang Bermain di Minyak Goreng?
Ketika ritel modern membatasi pembelian maksimal satu orang satu liter misalnya, seorang ibu rumah tangga, datang ke mini market bersama suami dan dua orang anaknya. Di sana, mereka tampak seperti bukan sebuah keluarga dan tiba-tiba saja seolah saling tidak mengenal.
JERNIH-Pemerintah boleh saja koar-koar bakal mengintervensi pasar agar harga minyak goreng stabil dan bisa dijangkau masyarakat luas, termasuk para pedagang kecil macam kaki lima yang menjadikan komoditi tersebut sebagai salah satu bahan baku utamanya. Tapi pada kenyataannya, setelah berbangga hati telah menjalin kongsi dengan ritel modern guna menjajakan minyak goreng satu harga, mereka masih dikerjai. Entah oleh pengusaha atau pelaku penimbun.
Soalnya, minyak goreng yang harga dipatok Rp 14 ribu perliter di ritel-ritel modern seperti Indomaret, Alfamart, serta Griya, sering langka. Rak pun kosong melompong.
Beberapa waktu lalu, setelah dengan bangganya pemerintah mengumumkan harga eceran tertinggi tersebut sudah dieksekusi kemudian terjadi kelangkaan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menuding ada tangan kartel atau mafia yang bermain di baliknya.
Kabar terkini dari Kementerian Perdagangan, Muhammad Lutfi selaku sang Menteri, masih ngotot dengan keyakinannya bahwa harga minyak goreng bakal turun sesuai rencana. Dengan catatan yang terbilang sangat penting, jika semua pihak mau berkomitmen pada aturan.
“Kalau mereka semua commit dan pasti commit, tinggal masalah waktu. kalau mereka komit, itu harganya turun, flat. Jadi artinya tanpa disubsidi oleh siapa pun, harga akan turun,” kata dia dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI, pada Senin 31 Januari lalu.
Lutfi masih dalam keyakinannya bahwa minyak goreng curah harganya bakal turun ke angka Rp 11.500 per liter. Sementara dalam bentuk kemasan sederhana Rp 13.500 dan kemasan premium Rp 14 ribu, pada 1 Februari 2022.
Memang betul, keyakinan Lutfi tersebut terbukti. Sebab di Sumedang, Jawa Barat, harga sudah seperti yang dia katakan persis di hari dan tanggal yang sudah dipatok. Tapi, itu hanya di kawasan seperti Gedung Negara yang merupakan rumah dinas Bupati setempat saja. Penjualan seharga Rp 14 ribu perliter, digelar (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah) Forkopimda yang menjalin kerja sama dengan BGS sebuah toko grosir di daerah itu.
Jika harga dan keberadaan minyak goreng merupakan sebuah permainan, masyarakat terutama pedagang kaki lima yang mengandalkan komoditas ini sebagai bahan baku utamanya, akhirnya turut serta dalam permainan tersebut.
Ketika ritel modern membatasi pembelian maksimal satu orang satu liter misalnya, seorang ibu rumah tangga, datang ke mini market bersama suami dan dua orang anaknya. Di sana, mereka tampak seperti bukan sebuah keluarga dan tiba-tiba saja seolah saling tidak mengenal.
Si ibu beli satu liter, si bapak satu liter, anak pertama satu liter, anak kedua satu liter. Hasilnya, keluarga tersebut yang sebaiknya tak disebutkan namanya, membawa pulang empat liter atau lebih minyak goreng kemasan sederhana. Dan, roda ekonomi yang diputar dengan berdagang kaki lima pun bisa berputar kembali.[]