Imam Abu Hanifah: Memilih Penjara Daripada Jadi Pejabat Rezim Jahat [2]
Hakam, putra Hisyam, Khalifah Umayyah, pada suatu kata berkata: “Pemerintah kita menawarkan dua pilihan kepada Imam Abu Hanifa, apakah menerima kunci-kunci perbendaharaan kita, atau mendapat cambukan pada punggungnya, tetapi ia memilih yang terakhir.”
JERNIH– Pada suatu kali, ia mengirim beberapa potong bahan kain kepada seseorang bernama Hafs bin Abdur Rahman. Ia berpesan bahwa beberapa dari potongan itu ada yang rusak, dan langganan harus diberi tahu tentang hal ini. Hafs lupa melakukan itu, dan menjual semua potongan tersebut. Hal ini sangat menggusarkan hati sang Imam. Untuk memperbaiki kesilapan itu, ia memberikan sejumlah uang sebesar 30.000 dirham sebagai sumbangan perikemanusiaan.
Pada suatu ketika, seorang wanita mengantarkan kepadanya sepotong Haz (tenunan yang mahal) untuk dijual. Wanita itu menghargai barang tersebut 100 dirham. Dan perempuan itu menjadi sangat terkejut dan terkesan atas kejujurannya, ketika Imam membayarkan kepadanya 500 dirham sebagai harga penjualan kain itu.
Harga barang dagangan di kedainya merupakan harga pasti. Pada suatu ketika, beberapa orang muridnya dengan tidak disadari menjual barang tertentu dengan harga yang agak mahal kepada langganan dari Madinah. Waktu ia mendengarkan hal ini, ia sangat marah. Ia mengatakan bahwa mereka telah menipu langganan itu. Sementara itu, langganan yang penduduk Madinah tadi, telah meninggalkan Kufa. Menurut cerita, Imam sendiri mengadakan perjalanan ke Madinah untuk membayarkan kembali kelebihan uang kepada langganan tersebut.
Bertentangan dengan kebiasaan yang lazim pada golongan orang kaya, Imam Abu Hanifa sangat baik hati. Ini diungkapkan dalam kesaksian Syafiq Balkhi, orang suci dan sufi terkenal. Pada suatu kali, ia menemani Imam Abu Hanifa, ketika mereka melihat seseorang yang tiba tersebut menyimpang ke jalan lain. Imam berseru, mengapa orang tersebut menyimpang ke arah lain. Orang tadi berhenti, ia tampaknya bingung. Ketika ditanya, ia menerangkan bahwa ia tidak dapat menghadapi muka Imam, karena berutang pada beliau 10.000 dirham. Ia belum dapat membayar utang tersebut. Karena sangat terharu, Imam berkata pada si berutang, tak usahlah bersusah hati memikirkan soal itu. Tak cukup sampai di situ, ia malah minta maaf, karena telah menyebabkan orang itu bersusah hati. Begitulah perikemanusiaan Imam kita, yang sulit kita dapatkan dalam sejarah dunia.
Imam ini sangat dikenal di antara khalayak yang mencintai dan menghargai dirinya. Hal ini sangat menimbulkan perasaan jengkel dan amarah para kaki tangan pemerintahan Umayyah. Mereka lalu tidak segan-segan mengupah jagoan untuk mengganggu dan mencelakakannya.
Pada suatu kali, seorang upahan menerobos ke dalam sebuah pertemuan yang dihadiri Imam, dan mulai mencaci serta menghina dia. Murid-muridnya ingin mengusir orang tersebut dengan kekerasan, tetapi Imam mencegahnya. Waktu ia akan pulang, bangsat itu mengikutinya dan terus menerus menghinanya sampai ke tangga pintu rumahnya. Imam berhenti di depan gerbang, dan berkata: “Saudara, saya akan masuk ke rumah saya. Engkau tidak ikut masuk ke dalam. Karena itu, silakan hinalah saya sepuas hatimu, sebelum saya melangkah masuk.”
Pada peristiwa lain, Imam sangat muak pada seorang tetangganya yang pemabuk. Orang ini sering berteriak-teriak sepanjang malam dalam ma buknya. Jiran-jirannya sudah bosan dengan kelakuan pemabuk itu, dan mereka sangat merasa terganggu. Pada suatu hari, polisi menangkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara.
Di malam hari ketika Imam pulang, ia bertanya menyelidiki, mengapa suara si pemabuk tidak terdengar. Ketika dikabarkan bahwa orang tersebut sudah dipenjarakan, Imam segera menjumpai Gubernur. Beliau ini sangat heran atas kunjungan Imam yang tak diduga-duga itu. Imam menceritakan kepada beliau seluruh soal, dan meminta pembebasan pemabuk itu dengan jaminannya.
Setelah orang tersebut bebas, Imam berkata kepadanya: “Saudara, kami tak ingin kehilangan engkau, dengan cara apa pun.” Si pemabuk merasa sangat terpukul, karena sifat Imam yang seperti malaikat itu, sehingga ia menjauhkan diri dari arak untuk selamanya. Ia kemudian menjadi salah seorang di antara murid Imam yang terkenal.
Para pejabat pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah yang penuh kekuasaan mencoba mengambil hatinya, tetapi ia selalu menjauhi mereka. Ia menghindari dengan waspada hubungan dengan pemerintahan yang korup dan bersimaharajalela itu.
Mansur, Khalif Abbasiyah, pada suatu kali menganugerahi dia sejumlah besar uang sebagai hadiah. Ia menolaknya, sambil berkata bahwa adalah bertentangan dengan batinnya untuk ikut menerima uang hak Baitul Mal yang merupakan milik umum. Uang itu, katanya, harus diberikan kepada yang memerlukannya.
Mansur kemudian menawari dia kedudukan tinggi sebagai Qadi Agung kerajaan yang luas itu. Ia menjawab serta merta: “Seandainya suatu pengaduan diajukan terhadap Tuanku di pengadilanku, dan Tuanku mengharapkan aku memenangkan Anda, atau aku akan dilemparkan ke dalam Sungai, aku pasti memilih dibenamkan ke dalam sungai daripada disuap dalam peradilan.” Jawaban Imam yang singkat ini membuat Khalifah terdiam seterusnya.
Imam Abu Hanifa memiliki mutu yang luar biasa pada otak dan perasaan. Ia tidak dapat disuap atau ditundukkan oleh kekuatan yang memerintah. Ibn Hubaira, Gubernur Umayyah di Kufa, pada suatu kali meminta dia supaya berkunjung sesekali. Untuk itu, ia akan sangat menghargainya. Karena ia membenci penguasa yang korup dan curang itu, ia menjawab tegas: “Mengapa saya harus menjumpai Tuan? Seandainya Tuan menyukai saya, saya akan bersekutu dengan kejahatan Tuan. Seandainya Tuan menindas saya, Tuan akan menambahkan penghinaan terhadap saya. Saya tidak menginginkan suatu kedudukan atau kekayaan. Saya merasa puas dengan yang telah dikaruniakan Allah pada saya.”
Ada suatu perselisihan antara Khalifah Abbasiyah, Mansur dengan istrinya, Hurra Khatun. Kaum Khatun ingin membawa persoalan ini ke hadapan Imam Abu Hanifa. Imam dipanggil ke hadapan Khalifah, dan istrinya juga duduk di belakang tirai. Khalifah bertanya pada Imam, “Berapa orang istri diizinkan dalam satu waktu oleh agama Islam. Imam menjawab: “Empat.”
Mansur berseru kepada istrinya, “Kau dengar apa yang dikatakan Imam?” Imam segera berkata: “Tetapi, hal itu tunduk pada suatu syarat keadaan. Seorang laki-laki diberi kuasa untuk menikahi lebih dari seorang-istri, jika ia sanggup memberikan keadilan yang sama bagi semua istrinya.” Bagian terakhir ucapan Imam ini bertentangan dengan keinginan Khalifah.
Waktu Imam sampai di rumah malam harinya, ia menemukan seseorang yang menanti dia dengan satu kantung uang dan sepucuk surat terima kasih dari istri Khalifah. Imam mengembalikan uang itu dengan pesan, bahwa soal tadi siang itu adalah kewajibannya, yaitu berbicara sebenarnya tanpa ketakutan atau kesenangan.
Imam kehilangan ayahnya semasa ia kanak-kanak. Ibunya terus hidup sampai hari tuanya. Ia menghormati dan mengabdikan diri dengan penuh kesetiaan.
Yazid bin Umar bin Hubaira, Gubernur Kufa di masa Khalifah Marwan II, membujuk Imam untuk menerima suatu jabatan yang mulia dalam pemerintahan, dan Imam menolak. Gubernur bersumpah bahwa ia harus melakukan tawarannya, tetapi Imam tetap pada pendiriannya. Karena itu ia dipenjarakan, dan tiap hari dicambuk atas perintah Gubernur. Sesudah beberapa hari, ia dibebaskan dan meninggalkan Kufa, pegi ke Hejaz. Di sini ia menetap dua setengah tahun, sampai Khalifah Bani Umayyah digantikan oleh Bani Abbas.
Hakam, putra Hisyam, Khalifah Umayyah, pada suatu kata berkata: “Pemerintah kita menawarkan dua pilihan kepada Imam Abu Hanifa, apakah menerima kunci-kunci perbendaharaan kita, atau mendapat cambukan pada punggungnya, tetapi ia memilih yang terakhir.” [bersambung]
Dari : “Hundred Great Muslims” oleh Jamil Ahmad, Ferozsons Ltd, Lahore, Pakistan 1984