Jangan Lupakan Malala, Remaja yang Jadi Korban Kekejaman Taliban
Malala terus berjuang membela kebebasan dan hak-hak perempuan, sementara Taliban kembali berkuasa di Afghanistan.
JERNIH-Keberhasilan Taliban menguasai Kabul dan menduduki istana presiden cukup mengejutkan banyak orang. Selama berkuasa di Afganistan, Taliban dikenal sebagai kelompok yang memberlakukan kebijakan-kebijakan kontroversi termasuk soal wanita.
Dunia pasti mengingat perlakuan kejam Taliban terhadap Malala Yousafzai, pelajar cilik, yang ditembak pasukan Taliban Pakistan pada Oktober 2012.
Malala menjadi target Taliban setelah membuat blog yang berisi bagaimana berjuang hidup di bawah kekuasaan Taliban di layanan BBC Urdu. Tulisannya dianggap mengkritik kebijakan Taliban
Akibatnya, pada 9 Oktober 2012, ia ditembak saat pulang dari sekolah. Tembakan itu melukai lehernya dan hampir mengenai otaknya.
Peristiwa tersebut mengundang perhatian dunia internasional. Enam hari setelah ditembak, Malala dievakuasi keluar negeri untuk mendapat pengobatan di RS Queen Elizabeth di Birmingham, Inggris. Selama tiga bulan ia menjalani beberapa kali operasi.
Meski demikian Malala terus melakukan kampanye hak pendidikan bagi perempuan di negaranya. Ia bahkan menulis blog anonim untuk BBC dan tampil di dokumenter New York Times.
Dia juga mendirikan Malala Fund, organisasi non-profit untuk mendukung pendidikan perempuan di seluruh dunia.
Kegigihannya melakukan kampanye dan aktif sebagai pejuang kebebasan bagi perempuan membuat geram pihak Taliban. Bahkan secara terbuka awal Oktober 2013, Taliban Pakistan menyatakan akan membunuh Malala Yousafzai, jika ada kesempatan. Adapun alasannya karena Malala dianggap menyerang Islam.
“Kami menarget Malala Yousafzai karena dia menyerang dan melecehkan Islam. Jika kami menemukan dia lagi, [maka dia] akan kami bunuh dan kami akan merasa bangga atas kematiannya,” kata Juru bicara Taliban Pakistan Shahidullah Shahid kepada ABC News saat itu.
“Dia bukan gadis yang pemberani dan tidak memiliki keberanian. Kami akan menarget dia lagi dan menyerang kapan pun punya kesempatan,” kata Shahidullah Shaid yang dikutip dari Aljazirah pada 8 Oktober 2013.
Ancaman terhadap keselamatannya juga datang dari Mulla Fazullah, tokoh spiritual Taliban di Distrik Swat Pakistan. Sang Mulla bahkan mengeluarkan fatwa agar nyawa Malala segera dihabisi. Mulla menganggap pena lebih dahsyat dari pedang.
Namun dunia berpihak kepadanya. Pada tahun 2013 media Jerman, Deutsche Welle, menobatkan Malala sebagai “anak usia belasan tahun yang paling masyhur di dunia”.
Pada Juli tahun yang sama, Malala diundang untuk memberi pidato di kampus Universitas Harvard. Wajahnya kemudian menghiasi berbagai media terkemuka di dunia.
Pada tahun 2013 juga, saat merayakan ulang tahun ke-16, Malala memberikan pidato di PBB dan menjadi orang termuda yang dinominasikan penghargaan Nobel Perdamaian. Malala meraih Nobel Perdamaian pada 2014.
Sebetulnya bukan hanya Malala yang menjadi target Taliban. Ayahnya, Zianuddin Yousafzai yang menjalankan sebuah sekolah perempuan di lembah Swat juga menjadi target Taliban.
“Saya tidak takut, tapi saya telah mulai memastikan gerbang terkunci pada malam dan bertanya ke Tuhan apa yang terjadi ketika mati,” tulis Malala di autobiografi berjudul I am Malala. (tvl)