Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang Terjerat OTT KPK

Daftar kepala deerah yang terjerat KKN semakin bertambah. Kamis malam (18/12) Kabupaten Bekasi tercoreng oleh ulah bupatinya. Nilainya pun “cuma” Rp 900 juta.
WWW.JERNIH.CO – Kabar mengejutkan datang dari Kabupaten Bekasi. Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang, terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis malam, 18 Desember 2025. Penangkapan ini kembali menegaskan bahwa Bekasi belum sepenuhnya keluar dari bayang-bayang korupsi struktural di level pimpinan daerah.
Ade menjadi kepala daerah terbaru yang harus berhadapan dengan KPK, menambah daftar panjang elite lokal yang tumbang oleh operasi senyap lembaga antirasuah.
OTT ini tidak berdiri sebagai kasus tunggal, melainkan membuka tabir pola korupsi berlapis yang melibatkan proyek pemerintah, tata kelola jabatan, hingga dugaan persilangan perkara dengan aparat penegak hukum.
Berdasarkan informasi awal penyidikan, KPK mendalami dugaan suap proyek pembangunan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bekasi serta gratifikasi terkait rotasi dan mutasi jabatan.
Modus ini bukan barang baru: proyek menjadi pintu masuk aliran dana, sementara kewenangan bupati atas jabatan ASN menjadi instrumen konsolidasi kekuasaan sekaligus sumber rente. Namun yang membuat perkara ini menonjol adalah munculnya indikasi “peran ganda”.
Ade Kuswara Kunang diduga tidak hanya sebagai penerima suap proyek, tetapi juga berpotensi menjadi korban sekaligus pemberi dalam praktik pemerasan yang menyeret oknum di Kejaksaan Negeri. Skema semacam ini menunjukkan bagaimana korupsi di daerah sering kali tidak linier, melainkan saling mengunci antarlembaga.
Dalam operasi yang berlangsung di Bekasi, Jakarta, hingga Tangerang, KPK mengamankan total 10 orang. Selain Ade Kuswara Kunang—politisi PDI Perjuangan—penyidik juga menangkap HM Kunang, ayah kandung bupati, yang diduga berperan sebagai perantara atau penghubung komunikasi dalam perkara. Sejumlah pihak swasta/kontraktor turut diamankan sebagai pemberi suap proyek, sementara beberapa ASN dari lingkungan Disbudpora dan Sekretariat Daerah Kabupaten Bekasi diduga terlibat dalam pengurusan administrasi dan jabatan.
Untuk mengamankan alat bukti, KPK menyegel ruang kerja Bupati Bekasi serta kantor Dinas Budaya, Pemuda, dan Olahraga (Disbudpora), menandakan fokus penyidikan pada proyek dan tata kelola kepegawaian.
Soal nilai uang, KPK belum merilis angka resmi total komitmen suap dalam kasus Bekasi. Namun, dalam operasi paralel yang berkaitan dengan pengamanan perkara di wilayah penyangga (Tangerang/Banten), penyidik dikabarkan menyita uang tunai sekitar Rp900 juta.
Dengan melihat pola kasus serupa dan besarnya APBD Kabupaten Bekasi, nilai suap proyek yang diduga mengalir diyakini tidak kecil dan berpotensi mencapai miliaran rupiah, terutama jika dikaitkan dengan proyek strategis dan mutasi jabatan bernilai “politik”.
Kasus Bekasi juga tidak berdiri sendiri. Sepanjang tahun 2025, KPK mencatat rentetan OTT terhadap kepala daerah yang menunjukkan bahwa korupsi di tingkat lokal masih masif dan sistemik. Pada November 2025, Gubernur Riau Abdul Wahid ditangkap terkait dugaan suap proyek infrastruktur dan perizinan.
Memasuki awal Desember, Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya terjaring OTT dalam kasus pengadaan barang dan jasa tahun anggaran 2025. Di periode yang sama, beredar informasi penindakan terhadap Bupati Ponorogo, dengan penyitaan uang sekitar Rp500 juta. Puncaknya, pada 18 Desember 2025, Ade Kuswara Kunang menjadi kepala daerah terbaru yang diamankan KPK dengan dugaan suap proyek dan gratifikasi jabatan.
Rangkaian ini memperlihatkan satu benang merah: kekuasaan anggaran, kewenangan jabatan, dan lemahnya kontrol internal masih menjadi ladang subur praktik korupsi di daerah.
OTT terhadap Ade Kuswara Kunang bukan sekadar soal individu, melainkan potret bagaimana sistem pemerintahan lokal yang sarat biaya politik dan minim transparansi terus mereproduksi kasus serupa. Bagi publik Bekasi dan nasional, perkara ini menjadi pengingat bahwa reformasi tata kelola daerah belum selesai—dan KPK masih menjadi benteng terakhir yang kerap bekerja sendirian.
Berdasarkan survei Litbang Kompas pada November 2025, publik menilai korupsi kepala daerah lebih banyak dipicu oleh kombinasi faktor struktural dan personal. Penegakan hukum yang tebang pilih menempati urutan teratas sebagai penyebab utama dengan 22,4 persen, disusul tingginya biaya politik dalam Pilkada sebesar 21,2 persen. Biaya politik yang mahal dinilai mendorong kepala daerah mencari “pengembalian modal” setelah berkuasa, terutama melalui proyek dan kebijakan anggaran.
Di saat yang sama, gaya hidup mewah atau hedonisme juga disebut oleh 21,2 persen responden sebagai faktor pendorong korupsi, menunjukkan kuatnya tekanan gaya hidup terhadap perilaku pejabat publik.
Faktor lainnya adalah lemahnya pengawasan yang disebut oleh 20,4 persen responden, menandakan masih rapuhnya sistem kontrol internal dan eksternal di pemerintahan daerah. Sementara itu, budaya permisif—yakni kebiasaan membiarkan praktik koruptif berlangsung—meski berada di angka lebih rendah (6,5 persen), tetap menjadi fondasi yang membuat korupsi sulit diberantas.
Secara keseluruhan, temuan ini memperlihatkan bahwa publik melihat korupsi kepala daerah bukan semata persoalan moral individu, melainkan hasil dari pertemuan antara sistem politik yang mahal, penegakan hukum yang tidak konsisten, dan integritas personal yang rapuh.(*)
BACA JUGA: OTT KPK di Banten, Oknum Jaksa RZ Kejati Banten Diduga Peras WNA



