POTPOURRI

Abu Nashr Bisyr bin al-Harist al-Hafi, Wali Sufi yang Gemar Bertelanjang Kaki

Konon, selama 40 tahun keinginan wali sufi Bisyr al-Hafi untuk merasakan daging panggang tak kunjung terwujud karena ia memang tak pernah memiliki uang.

JERNIH—Sepintas kadang riwayat kehidupan para wali sufi bisa membuat orang-orang yang hidup di masa kini menganggap mereka nyeleneh dan sok nyentrik. Padahal, mereka menjalani hal tersebut dengan istiqamah, karena selalu hal tersebut berhubungan dengan keyakinan  yang didapat dari pengalaman hidup.

Sebut saja wali sufi Bisyr bin Harits yang lebih dikenal sebagai Abu Nashr Bisyr bin al-Harits al-Hafi, yang lahir di dekat kota Merv sekitar tahun 150 Hijriah /767 Masehi. Setelah meninggalkan kehidupan maksiat penuh foya-foya, ia insyaf dan tergerak mempelajari hadits di kota Baghdad. Beberapa lama kemudian meninggalkan pendidikan formal untuk hidup sebagai pengemis yang terlunta-lunta, kelaparan dan bertelanjang kaki. Bisyr, yang meninggal di Baghdad 227 H/841 M, sangat dikagumi Imam Ahmad bin Hanbal dan dihormati Khalifah al-Ma’mun.

Kisah pertobatan Bisyr diriwayatkan Fariduddin al-Aththar dalam “Tadzkiratul Auliya”. Aththar meriwayatkan, sewaktu muda Bisyr adalah seorang pemuda berandalan. Suatu hari dalam keadaan mabuk, Bisyr pulang terhuyung-huyung. Tiba-tiba ditemukannya secarik kertas bertuliskan: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Bisyr lalu membeli minyak mawar untuk memerciki kertas tersebut, sebelum menyimpannya dengan cermat dan terhormat di rumahnya.

Malam harinya seorang alim bermimpi diperintah Allah untuk datang dan menyampaikan kepada Bisyr: “Engkau telah mengharumkan nama-Ku, maka Aku pun mengharumkan dirimu. Engkau telah memuliakan nama-Ku, maka Aku pun memuliakan dirimu. Engkau telah mensucikan nama-Ku, maka Aku pun mensucikan dirimu. Demi kebesaran-Ku, niscaya Ku-harumkan namamu, baik di dunia maupun di akhirat nanti”.

“Bisyr adalah seorang pemuda berandal,”kata orang alim tersebut dalam hati. “Mungkin aku telah salah bermimpi”.

Ia pun segera berwudlu, shalat malam dan kembali tidur. Namun tetap saja tidurnya mendatangkan mimpi yang sama, sampai tiga kali. Keesokan harinya pergilah si alim mencari Bisyr. Dari seseorang yang ia tanya, didapatlah jawaban bahwa Bisyr sedang berfoya-foya dan mabuk-mabukan.

Orang alim itu pun mendatangi Bisyr untuk menyampaikan pesan mimpinya.  Usai mendengarkan, Bisyr yang tergetar mendengar penuturan mimpi orang alim itu berkata kepada teman-temann minumnya, “Sahabat-sahabat, aku dipanggil, karena itu aku harus meninggalkan tempat ini. Selamat tinggal! Kalian tidak akan pernah melihat diriku lagi dalam keadaan yang seperti ini!”

Sejak saat itu, menurut Aththar, perilaku Bisyr berubah menjadi sedemikian saleh. Sedemikian asyiknya ia menghadap Allah, mulai saat itu ia tak pernah lagi memakai alas kaki. Inilah sebabnya mengapa Bisyr juga dijuluki Al Hafi, “Manusia Telanjang Kaki”.

                                                          ***

Konon Imam Ahmad bin Hanbal sering mengunjungi Bisyr al-Hafi, entah untuk urusan apa. Dan Imam Hambali pun disebut-sebut sangat mempercayai perkataan Bisyr al-Hafi. Hal itu kemudian menyebabkan rasa kurang senang pada hati murid-muridnya, sehingga suatu hari muridnya memprotes Imam Ahmad bin Hanbal.

“Wahai Guru, di zaman ini tak ada seorang pun yang bisa menandingimu di bidang hadis, hukum, teologi dan setiap cabang ilmu pengetahuan. Lalu mengapa setiap saat engkau menemani dan bergaul bersama seorang kotor tak jelas seperti Bisyr al-Hafi? Pantaskah hal itu?”kata muridnya.

Imam Hambali pun tersebut dan berkata,”Pada setiap bidang yang kalian sebutkan tadi, barangkali aku memang lebih ahli dibandingkan Bisyr. Tetapi mengenai Allah, dia lebih ahli daripada aku,” jawab Imam Hambali.

Konon Imam Ahmad bin Hanbal sering memohon kepada Bisyr al-Hafi,“Ceritakanlah padaku perihal Tuhanku!”

                                                          **

Konon, selama 40 tahun keinginan wali sufi Bisyr al-Hafi untuk merasakan daging panggang tak kunjung terwujud karena ia memang tak pernah memiliki uang. Pernah juga ia menginginkan memakan kacang buncis, yang tak juga kunjung terwujud. Padahal, kalau pun mau, sebagai salah seorang waliyullah yang dekat kepada Allah, ia bisa saja meminta segala sesuatu dan pasti dikabulkan. Itu tak pernah ia lakukan. Jalan hidup dan penyangkalan diri yang ia jalani bahkan menahan Bisyr untuk meminum air dari saluran yang ada pemiliknya.

Di suatu musim dingin yang lebih dingin dari biasa, saat semua orang mengenakan pakaian tebal untuk menghangatkan tubuh mereka, Bisyr al-Hafi malah berbuat sebaliknya. Dia melepas pakaiannya di tengah cuaca dingin. Akibatnya tubuhnya menggigil kedinginan.

“Hai Abu Nashr, mengapa kau melepaskan pakaianmu di tengah cuaca yang sangat dingin ini?” teriak orang-orang heran. “Aku teringat orang-orang miskin. Aku tidak punya uang untuk membantu mereka. Karena itu aku ingin turut merasakan penderitaan mereka.”

                                                          **

Suatu hari sekelompok orang datang kepada Bisyr al-Hafi. Mereka ingin Bisyr mendampingi mereka. “Kami datang dari Syam hendak melaksanakan ibadah haji. Sudikah engkau menyertai kami?” kata salah seorang dari mereka.

“Boleh, dengan tiga syarat,” jawab Bisyr.

“Apa itu, sebutkan saja?”

“Yang pertama, kita tidak akan membawa perbekalan. Kedua, kita tidak meminta belas kasihan orang di perjalanan. Yang ketiga, jika orang memberikan sesuatu, kita tidak boleh menerimanya,”jawab Bisyr al-Hafi.

“Tidak membawa perbekalan dan tidak meminta belas kasihan orang dalam perjalanan, mungkin dapat kami terima,” kata pemimpin rombongan itu. “Hanya mengapa kita tidak boleh menerima pemberian?”

“Sebenarnya, kalian tidak berpasrah diri kepada Allah, melainkan kepada perbekalan yang kalian bawa!” kata Bisyr.

                                                          **

Suatu ketika wali sufi Bisyr al-Hafi ditinggal wafat salah seorang saudara perempuannya, Mudghah, yang juga seorang ahli ibadah. Saai itu Bisyr al-Hafi terlihat menangis dan terpukul. Orang pun kemudian bertanya,“Mengapa engkau begitu sedih?”

“Aku telah membaca beberapa kitab, dan pernah kubaca, jika seorang hamba lalai dalam berkhidmah kepada Tuhannya, maka Dia akan mengambil teman dekatnya. Mudghah itu saudara dan temanku yang paling dekat,” jawab Bisyr. [ ]

Dari “Tadzkiratul Auliya” Fariduddin Aththar

Back to top button