Selama bertahun-tahun, sistem pendukung komunitas yang kuat muncul, kata Lavakare. Generasi pertama orang India yang berhasil dalam industri ini sangat ingin membantu mereka yang (akan) datang setelah mereka, sehingga mereka dapat menghindari jebakan. Hasilnya adalah ekosistem pengusaha yang membimbing dan membiayai start-up.
JERNIH—Ketika pekan ini Twitter menunjuk Parag Agrawal untuk menggantikan Jack Dorsey sebagai CEO barunya, platform itu dibanjiri luapan kegembiraan dan kebanggaan dari orang-orang India. “Apakah ini virus India–‘virus CEO Silicon Valley’– yang belum ada vaksinnya?”kata seorang pengusaha, Anand Mahindra dari Mahindra Group, bercanda.
Agrawal adalah yang terbaru dari jajaran eksekutif kelahiran India yang mengepalai sebuah perusahaan teknologi AS.
Sejak gelombang lulusan dari Institut Teknologi India (IIT)-– perguruan tinggi teknik terkemuka di negara itu yang didanai pemerintah-–mulai bermigrasi ke Lembah Silikon pada 1980-an untuk mendapatkan peluang kerja yang lebih baik, mereka telah mendobrak hambatan yang selama ini ada di AS.
Beberapa nama terkemuka itu termasuk Sundar Pichai, CEO Google dan perusahaan induknya Alphabet; CEO Microsoft Satya Narayana Nadella; CEO IBM Arvind Krishna; CEO Adobe Shantanu Narayen; dan George Kurian, CEO perusahaan penyimpanan data NetApp, atau Anjali Sud, CEO Vimeo, hanya sebagai contoh-contoh yang mudah ditunjuk.
Kisah sukses ini telah membuat orang India terpesona dan banyak alasan telah ditawarkan untuk menjelaskannya. Salah satunya tak lain soal waktu.
“Ketika lulusan teknik India mulai bermigrasi ke AS pada akhir 1980-an untuk mengambil gelar master dalam ilmu komputer dan elektronik, peningkatan jumlah ini bertepatan dengan penurunan jumlah orang Amerika yang mengambil jurusan teknik dan ilmu komputer,” kata Ajit Kumar, kepala petugas informasi di HCL Technologies. “Itulah mengapa sebagian besar profesional TI di AS adalah orang India.”
Sementara semua CEO ini telah mengikuti lintasan mereka sendiri untuk mencapai puncak, beberapa faktor umum dapat dideteksi dalam perjalanan mereka untuk memimpin perusahaan-perusahaan teknologi raksasa.
Fokus yang bersemangat pada matematika dan sains sejak usia dini ada hubungannya dengan itu. Banyak orang tua India mengarahkan anak-anak mereka untuk mengambil mata pelajaran ini dengan serius karena mereka membentuk jalan teraman menuju sukses. “Parag selalu menyukai komputer dan mobil; dan matematika adalah keahliannya,” kata ibu Agrawal setelah anaknya ditunjuk sebagai CEO.
Di negara berpenduduk 1,3 miliar orang, persaingan sangatlah kejam. Hanya sedikit yang mendapatkan nilai untuk duduk dan kuliah di IIT. Tahun ini, sekitar 2,2 juta siswa mendaftar untuk mengikuti ujian masuk hanya untuk memperebutkan 16.000 tempat di perguruan tinggi itu.
“Kekakuan dalam persaingan di IIT kami yang jauh melebihi MIT, dan seleksi mandiri memainkan peran besar,” kata Ashok Alexander, pensiunan mitra McKinsey. Agrawal dari Twitter adalah salah satu siswa terbaik di negara bagian asalnya, Maharashtra, dan berhasil masuk ke IIT Mumbai.
Seorang mantan teman sekolah Agrawal mengatakan kepada wartawan bahwa Agrawal seorang yang sangat cemerlang, bahkan dalam kumpulan orang-orang terbaik di negara itu.
“Setiap [siswa IIT] adalah pahlawan di kota mereka,” kata Ram Kakkad dalam sebuah wawancara dengan Times of India. “Tapi skor Parag itu 10 dari 10 setelah tahun pertama dan membuktikan dirinya orang terpintar.”
Setiap tahun, perekrut mendatangi 23 kampus IIT India untuk mencari yang terbaik dari yang terbaik. Tahun ini, banyak lulusan telah ditawari pekerjaan lokal dengan gaji awal lebih dari 20 juta rupee (266.500 dolar AS) per tahun atau sekitar Rp 311 juta per bulan.
Perguruan tinggi juga merupakan tempat berburu yang sempurna untuk perusahaan multinasional Amerika, dan berfungsi sebagai “sekolah pengumpan” yang sempurna untuk perusahaan teknologi terbesar di Lembah Silikon.
Ajay Lavakare, yang meninggalkan IIT Delhi untuk pergi ke Silicon Valley pada akhir 1980-an, mengatakan keterampilan analitik dan teknis yang diberikan oleh perguruan tinggi serta pendidikan menyeluruh yang solid menjelaskan mengapa begitu banyak orang India berada di pucuk pimpinan perusahaan Fortune 500 saat ini.
“Tumbuh di India, Anda memperoleh kemampuan untuk beroperasi di lingkungan penuh ketidakpastian dan ambiguitas, untuk belajar berbuat lebih banyak dengan lebih fasilitas sedikit,” kata Lavakare, yang bekerja di California’s Bay area dengan perusahaan manajemen risiko bencana untuk membangun solusi data bagi industri asuransi. Dia sekarang seorang investor malaikat di India, yang membimbing para pendiri perusahaan rintisan tempat dia berinvestasi.
Di negara di mana 25 persen penduduknya secara resmi diklasifikasikan sebagai “miskin”, dengan kekurangan air dan listrik yang biasa bagi banyak orang, orang India terbiasa beradaptasi dengan ketidakpastian. Lingkungan penuh kelangkaan seperti itu diyakini mendorong inovasi. India memiliki kata untuk kemampuan memecahkan masalah dengan kecerdikan dan sumber daya yang sangat terbatas—“jugaad”. Dalam bahasa modern, secara longgar diterjemahkan menjadi “retas”.
Konsep jugaad telah dieksplorasi oleh banyak pakar bisnis, termasuk dalam buku “Jugaad Innovation”, di mana penulis Navi Radjou, Jaideep Prabhu dan Simone Ahuja mengeksplorasi bagaimana menjadi fleksibel dan berbuat lebih banyak dengan modal lebih sedikit itu telah membantu bisnis “melahirkan terobosan pertumbuhan dalam lingkungan yang kompleks dan dunia yang langka sumber daya”.
Dalam artikel 2016 di majalah Stanford Social Innovation Review, akademisi Jamal Boukouray menganjurkan adopsi jugaad dalam inovasi kepemimpinan sosial.
“Apa yang dibutuhkan perusahaan modern saat ini adalah generasi baru dari chief officer … yang makan, bernapas, berbicara, dan sebagian besar bertindak dengan cara yang hemat dalam ekosistem mereka, dan yang secara bersamaan dapat berpikir secara luas tentang potensi organisasi mereka yang lebih besar di dunia,” tulis Boukouray, seorang profesor di ESCA Ecole de Management Maroko.
Lavakare mengatakan ketika dia bekerja di Silicon Valley tiga dekade lalu, dia tidak memiliki mentor untuk membimbingnya atau jaringan apa pun, meskipun dia mengambil inspirasi dari banyak panutan, seperti Vinod Khosla, salah satu pendiri Sun Microsystems, dan Sabeer Bhatia, pendiri Hotmail.
Selama bertahun-tahun, sistem pendukung komunitas yang kuat muncul, kata Lavakare. Generasi pertama orang India yang berhasil dalam industri ini sangat ingin membantu mereka yang (akan) datang setelah mereka, sehingga mereka dapat menghindari jebakan. Hasilnya adalah ekosistem pengusaha yang membimbing dan membiayai start-up.
Sementara itu, seiring tren honchos teknologi India tampaknya akan terus berlanjut, satu penghalang masih tetap ada. Dari Agrawal hingga Pichai dan Nadella, sebagian besar eksekutif kelahiran India di AS itu masih laki-laki.
CEO Vimeo Anjali Sud, kepala Flextronics Revati Advaithi, dan kepala Arista Networks Jayshree Ullal adalah beberapa wanita India yang telah merintis jalan untuk calon pemimpin wanita etnis tersebut.
Tetapi di suatu tempat di antara IIT India, pasti ada talenta muda yang cerdas yang tengah berusaha menghancurkan langit-langit kaca di Lembah Silikon. [South China Morning Post]