Akhir Hidup Seorang Pengarang: Kisah Yukio Mishima
Sebelumnya, Mishima sudah memberitahu para murid bahwa dia akan menuliskan pesan terakhir dengan tinta dari darahnya sendiri. Tapi rupanya sang satrawan berubah pikiran, “Tidak, aku tak butuh itu lagi.”
Oleh : Akmal N. Basral
PERINGATAN: Bagian ini adalah kisah nyata yang terjadi secara brutal dan bergelimang darah, tapi perlu diungkap sebagai gerbang untuk memasuki dunia Yukio Mishima yang rumit. Namun bagi anda yang tak terbiasa dengan estetika kekerasan, disarankan untuk melewati bagian ini, dan cukup untuk mengetahui bahwa Yukio Mishima, salah seorang sastrawan terbesar Jepang, mengakhiri hidupnya dengan hara-kiri pada 25 November 1970. — ANB.
JERNIH– RATUSAN lembar gekibun, kertas berisi manifesto yang biasa digunakan tentara pemberontak di tahun 30-an, melayang-layang dari atas sebuah balkon. Dua pemuda yang melakukan itu adalah murid-murid setia Yukio Mishima. Dua murid lainnya menunggu di ruang dalam bersama sang guru, mempersiapkan ritual yang sudah dibahas berkali-kali dengan rinci.
Kerumunan berkerubung di bawah balkon gedung Ichigaya, Markas Besar Tentara Beladiri Jepang (Jieitai) Bagian Timur, berebutan menangkap gekibun yang terus melayang-layang di atas kepala mereka. Beberapa menit sebelumnya Mishima baru saja menyemburkan bergumpal-gumpal kemarahan, kekecewaan terhadap Jepang yang dirasakannya sudah “tidak Jepang lagi”.
Pada bagian akhir gekibun, manifesto terakhir yang ditulis Mishima itu, terbaca: … Marilah kita perbaiki Jepang kembali dalam bentuknya yang murni dan sambutlah kematian. Apakah hanya hidup yang kalian hargai sembari membiarkan jiwa binasa? … Kami akan menunjukkan kepada kalian sebuah nilai yang lebih besar dari penghargaan terhadap hidup. Bukan kebebasan, bukan demokrasi. Nilai itu adalah Nippon! Nippon, negeri penuh sejarah dan tradisi. Jepang tumpah darah yang kita cintai.”
Seorang sastrawan di markas pusat Jieitai, bagaimana mungkin?
Inilah bagian dari salah satu kisah menggetarkan dalam hubungan sastra dan militer di Jepang. Hanya beberapa puluh menit sebelum gekibun melayang-layang di udara, Mishima dan empat murid terbaiknya diterima Jenderal Kanetoshi Mashita, komandan Bagian Timur. Mishima membawa sebuah pedang langka abad ke-16 yang dibuat Seki no Magoroku, salah seorang empu berpengaruh zaman itu. Dalam keterpukauannya meneliti keindahan pedang tersebut, Jenderal Mashita disandera oleh murid-murid Mishima, yang sangat terlatih dalam bela diri dan disiplin militer.
Hanya satu yang tak diduga Mishima sejak awal: kerumunan masyarakat di bawah balkon, ternyata sudah tak lagi terpengaruh oleh kata-katanya yang mengajak mereka kembali pada “kemurnian Jepang”. Sebaliknya, mereka dengan bersemangat mencaci maki ‘pendudukan’ Mishima atas kantor itu. Sebuah helikopter mulai terlihat berputar-putar di atas markas Ichigaya. Pukul 11.45. Setelah itu berturut-turut datang heli kedua, ketiga …
Suasana begitu riuh. Deru helikopter, keributan di dalam kantor Ichigaya karena disanderanya seorang jenderal, Mishima yang bersemangat mengajak rakyat Jepang kembali pada Jepang “yang asli”, dan cemoohan dari masyarakat pendengar terhadap kampanye-kampanye retorik dan ultra-nasionalistis sang sastrawan. Sementara dua muridnya menyebarkan tumpukan gekibun, Mishima kembali ke dalam ruangan, “Mereka sudah tak mendengarku lagi,” katanya kepada para murid yang lain. Ia mencari tempat di tengah ruangan Jenderal Mashita yang kini terikat di sebuah kursi.
Mishima membuka seragam Tatenokai, dan busana lain di dalamnya hingga hanya menyisakan celana dalam putih fundoshi. Tubuhnya liat, menandakan ia seorang yang sering berlatih dan berdisiplin tinggi. Seorang muridnya, Morita, maju dengan membawa pedang.
“Stop! Jangan lakukan itu,” bentak Jenderal Mashita. Rupanya ia mulai mendapat gambaran, bahwa Mishima dan para muridnya tak hendak mencelakakannya meskipun mereka kini mengikatnya. Ia dibutuhkan sebagai saksi mata, atas sebuah ritual kuno para Samurai yang sebentar lagi akan terjadi-– dan berlangsung persis di depan matanya.
“Stop!” ulang Mashita, kali ini semakin khawatir, karena Mishima jelas mengabaikan kata-katanya. Tak ada hal lain yang bisa diperbuat sang Jenderal karena ia terikat di sebuah kursi dengan sangat ketat. Sang sastrawan melepaskan jam tangannya, dan mengangsurkan kepada salah seorang murid. Lalu ia berlutut di karpet merah, di tengah ruangan milik Mashita, jenderal malang yang mubazir dengan pangkatnya. Jarak mereka tak lebih dari tiga meter.
Mishima mengambil sebuah yoroidoshi, belati para samurai, yang digenggam erat di tangan kanannya. Seorang muridnya yang lain, Ogawa, mendekati membawakan sebuah sikat gigi dan selembar kertas. Sebelumnya, Mishima sudah memberitahu para murid bahwa dia akan menuliskan pesan terakhir dengan tinta dari darahnya sendiri. Tapi rupanya sang satrawan berubah pikiran, “Tidak, aku tak butuh itu lagi.”
Mishima menekan-nekan perut bagian kirinya seperti mencari sebuah otot, atau tempat tertentu. Lalu ia menempelkan perlahan mata belati di atas tempat yang sudah ditemukannya itu. Tangan kanannya kembali terangkat ke atas, dengan mata yoroidoshi yang berkilat-kilat mengintai perut sang tuan yang putih.
Morita masih terpaku di tempatnya. Di tangannya tersampir pedang abad ke-16 yang menakjubkan itu. Perlahan, tangannya melayang ke udara, dan pedang mematikan itu terbujur menunjuk atap ruangan. Morita sudah mendapatkan pesan khusus dari Mishima, begitu hara-kiri dimulai, ia harus langsung menebas kepala sang guru. “Lakukan secepatnya agar aku tak menderita terlalu lama,” Mishima berwasiat.
Titik-titik keringat terbit di kening Morita. Banjir keringat meluncur dari wajah Jenderal Mashita. Suasana tenggelam dalam hening yang menggetarkan seluruh penghuni ruangan. Sayup-sayup teriakan dari kerumunan di luar balkon terdengar menyelusup masuk. Juga deru helikopter yang menyelinap masuk seperti dengkur kucing. Tak ada yang bisa menggoyahkan niat Mishima, yang sudah begitu fokus pada tahap persiapan terakhirnya untuk menuju dunia selanjutnya.
Tiba-tiba terdengar tiga kali teriakan Mishima yang menggelegar.”Tenno Heika Banzai! (Hidup Kaisar!) Tenno Heika Banzai! Tenno Heika Banzai!”
Secepat kilat Mishima menghujamkan yoroidoshi itu ke sebuah titik di perut kirinya, dan menekannya sekuat tenaga, “Haaaaa…owwww!” serunya mengerahkan seluruh kekuatan. Wajahnya memucat, tangan kanannya bergetar. Mishima menegakkan tubuhnya agar tak melengkung. Lalu ditariknya belati itu secara horizontal sehingga merobek perutnya, ke arah kanan. Cairan merah menyembur dari dalam seperti lahar murka yang baru terbebas dari kepundan. Belati itu berhenti di perut bagian kanan. Mishima membiarkan beberapa detik. Tangan kirinya bergerak dan hingga di atas tangan kanan yang masih memegang yoroidoshi. Gemetar, seluruh tangan dan tubuhnya bergetar.
Dengan sisa-sisa kekuatan terakhir, belati yang kini dikendalikan dua tangan itu kembali ditarik Mishima ke arah kiri perut, tempat muasal tikaman dimulai. Kancut putih yang dipakainya kini sudah berwarna merah. Darah segar yang hangat.
Semua terpaku selama beberapa jenak yang mencekam itu, sampai Morita teringat akan tugasnya. Tugas terakhirnya yang dipercayakan sang guru kepadanya: untuk menetakkan pedang ke leher sang sastrawan. Secepat-cepatnya.
Dalam gemetar yang juga tak bisa sepenuhnya dikendalikan oleh Morita, dan juga karena tubuh Mishima yang mulai terhuyung meski ia mencoba agar tetap duduk dalam posisi tegak, hantaman pertama Morita justru mencabik bagian antara punggung dan bahu Mishima, sebelum terus melayang dan terhenti pada karpet merah yang semakin saga.
“Lagi!” teriak para murid yang lain memberi semangat kepada Morita yang gelisah melihat tubuh sang guru yang kini tersungkur di karpet. Tapi jelas Mishima belum mati, meski isi perutnya mulai menyembul dan terlihat di sana-sini. Pedang di tangan Morita melayang untuk kedua kalinya. Gagal lagi. Bukan leher yang tersambar, tapi punggung yang membuat Mishima menjerit kesakitan.
“Sekali lagi,” seru para murid.
Untuk ketiga kalinya Morita mencoba, dan kali ini tebasannya persis di leher, persisnya di belakang leher. Namun tenaganya sudah terlalu lemah. Darah segera mengalir dari leher Mishima yang tetap belum mati.
Seorang murid lain, Hiroyasu Koga, maju ke depan. Ia seorang praktisi kendo yang terlatih. “Berikan pedangmu,” katanya tegas kepada Morita. Morita setuju. Dengan sekali tebasan Koga, kepala Mishima sang guru terlepas dari tubuhnya. Menggelinding sebentar, mendekati kaki Jenderal Mashita yang pucat pasi.
Para murid berlutut. .
“Berdoa baginya,” ujar Mashita dalam suara bergeletar sembari menundukkan kepala. Doa-doa Buddha tertabur di ruangan itu. Mashita mengangkat kepala, menyangka mimpi buruk itu sudah berlalu dari hidupnya. Tapi matanya terbelalak, dipenuhi rasa tak percaya dan takut. Seorang murid lain mengambil belati yang masih digenggam jenazah Mishima, dan menyodorkannya kepada Morita yang dengan cepat maju ke tengah ruangan, dan berlutut seperti dilakukan Mishima sebelumnya. Dari mulut Morita pun terpekik tiga kata berulang-ulang, “Tenno Heika Banzai! Tenno Heika Banzai! Tenno Heika Banzai!”
Lalu ia menirukan contoh yang baru saja dilakukan sang guru, dengan hasil yang tidak efektif. Tikamannya terlalu lemah setelah dibombardir kejadian mengejutkan dalam hitungan detik. Ia melihat ke arah Hiroyasu Koga, meminta bantuan. Koga mengerti dengan cepat, dan kembali kekuatan tangannya yang cekatan memisahkan sebuah kepala lagi dari sebatang tubuh.
Murid-murid kembali mengumandangkan doa-doa.
Jenderal Mashita mengumpulkan seluruh keberaniannya dan berteriak. “Jangan lanjutkan!” katanya.
“Jangan khawatir,” jawab seorang murid. “Guru Mishima tidak menyuruh kami untuk melakukan hara-kiri seperti yang ia lakukan. Ia memerintahkan kami untuk menjaga keselamatanmu, Jenderal.”
“Kalian harus berhenti,” ujar Mashita yang kini tenggelam dalam histeria. “Kalian harus berhenti.” Ia memekik sejadi-jadinya. Dua kepala teronggok di dekat kakinya. Dua tubuh terbujur kaku, kutung dari batas leher. Betapa menakutkan.
Murid-murid Mishima mendekati Mashita, melonggarkan ikatan tangannya, dan membantu berdiri tubuhnya yang bergetar hebat. Sebelum meninggalkan ruangan, para murid itu kembali berdoa untuk ketiga kalinya. Kali ini di depan dua kepala yang pernah begitu mereka kenal, mereka cintai.
SAAT kabar duka itu menyeruak keluar dari tembok Ichigaya, Jepang langsung tenggelam dalam kebingungan hebat dan pelbagai kontroversi. Seorang reporter Mainichi Shimbun, koran Jepang berpengaruh, menelepon redakturnya dan menceritakan dengan rinci apa yang terjadi di Ichigaya. Redakturnya yang tak percaya malah menyemprot sang reporter dengan murka, “Tak mungkin, cek lagi semua fakta!” katanya. Untuk edisi sore yang menghebohkan itu, sang redaktur sudah menyiapkan sebuah judul yang mencoba optimistik: MISHIMA LUKA PARAH, DILARIKAN KE RUMAH SAKIT.
Komentar resmi pertama atas kejadian itu diumumkan langsung oleh Perdana Menteri Eisaku Sato, yang kenal secara pribadi dengan sang sastrawan. Setelah membuka masa sidang Parlemen Jepang (Diet) mewakili Kaisar, Sato diberondong pertanyaan para wartawan.
“Apa komentar anda atas Insiden Mishima, Perdana Menteri?” tanya wartawan. Sebutan insiden menyiratkan mereka tak percaya Mishima sudah mati, apalagi dengan kepala terpisah dari tubuhnya, sebuah peristiwa yang hanya bisa terjadi di masa silam. Ketika samurai dan ronin mudah ditemui dalam keseharian masyarakat. Tapi Sang Perdana Menteri sudah mendapatkan informasi terbaru yang paling meyakinkan tentang apa yang terjadi di Ichigaya.
“Saya kira dia sudah kichigai, kehilangan akal warasnya,” ujar Sato pendek, sebelum berjalan cepat menuju mobil dinasnya, menyembunyikan kesedihan yang gagal pergi dari raut wajahnya.
PADA 25 November 1970 itu, Mishima baru berusia 45 tahun. Masih berada dalam masa produktif seorang sastrawan. Ia meninggalkan seorang istri Yoko, dan dua orang anak bernama Noriko (lahir 2 Juni 1959) dan Iichiro (2 Mei 1962) yang pagi itu sedang diantarkan ibu mereka ke sekolah masing-masing.
Tapi peninggalan lain Mishima yang sungguh sulit dicari tandingannya adalah gunung karya yang begitu menjulang, terdiri dari 40 judul novel, 18 naskah drama, 20 antologi cerita pendek, lebih dari 20 buku kumpulan esei, dan sebuah libretto (drama dengan dialog yang dinyanyikan).
Pada 25 November 1970, hari ketika Mishima memutuskan untuk menunjukkan kepada masyarakat Jepang tentang sebuah “nilai yang lebih besar dari penghargaan kepada hidup”, sastrawan yang lahir dari sebuah pasangan kelas menengah di Shinjuku, Tokyo, itu, baru saja menuntaskan penulisan buku terakhir dari tetralogi Sea of Fertility – terdiri dari Spring Snow; Runaway Horses; The Temple of Dawn; The Decay of the Angel — yang ditulisnya selama enam tahun (1964-1970).
Sejak kematiannya itu, sedikitnya sudah delapan film yang dibuat tentang biografi Sang Pengarang-Samurai atau pokok-pokok pikirannya, sampai tahun 1985. Adaptasi kisah hidup dan lakon-lakonnya dalam bentuk teater tradisional Noh dan Kabuki bahkan lebih banyak lagi.
Data statistik yang menggiurkan seperti itu otomatis akan membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan penting: Siapakah sebenarnya Yukio Mishima, sastrawan yang terlahir dengan nama asli Kimitake Hiraoka pada 14 Januari 1925 itu? Apa saja kontribusinya bagi kesusastraan modern Jepang dan tradisi literer dunia? Apa yang menyebabkannya begitu disiplin dalam menulis sekaligus begitu radikal dalam bersikap? [ ]