POTPOURRI

Akibat Pembalakan Hutan, Kecerdasan Spasial Suku-suku di Papua Terancam Hilang

Kawasan Taman Nasional Wasur merupakan rumah bagi empat suku besar yaitu suku Marind, Kanum, Marori Men Gey dan Yei. Ke empat suku ini mendiami tanah leluhurnya yang terbagi dalam tiga wilayah konservasi, yaitu Yanggandur, Nggalir dan Poo. Selain suku-suku asli, kawasan tersebut juga mulai dihuni oleh para pendatang dari Jawa.

Bagi orang Papua pengetahuan tentang alam dan kehidupan yang diwarisi dari tradisi lisan telah menjadi kecerdasan spasial yang kini harus berhadapan dengan perubahan lingkungannya. Perubahan tersebut adalah masuknya pengaruh budaya yang dibawa pendatang. Hal tersebut merupakan keniscayaan yang akan menggeser nilai-nilai lokal.  

Suku Marori yang dominan tinggal di Kawasan Wasur, memiliki sistem bermasyarakat yang tidak tertulis. Pengetahuan lokal sebagai dasar dari aturan hidup bersama di alam telah dipegang teguh turun temurun. Hal tersebut salah satunya terlihat dalam konsep pemukiman yang telah diatur sesuai perjalanan leluhurnya untuk menempati bentang alam dan budayanya.

Agustinus Mahuze dari marga Mahuze, bagian dari Suku Marori, menjelaskan bahwa kampung dalam sebutan orang Marori adalah Kier yang melingkupi rumah, tata lingkungan kampung dan pekarangan. “Wilayah kier ini ditandai oleh tumbuhan tertentu, seperti tanaman untuk dimakan dan kebun. Batas-batasnya adalah tanda-tanda alam seperti aliran sungai dihutan atau pohon tertentu ” Ujarnya kepada Jernih pada Selasa (25/02/2020)

Kier sebagai lanskap tentang kampung  berpengaruh pula terhadap struktur jalan, bentuk rumah dan luas lahan. Selain Kier sebagai pengetahuan bermasyarakat, maka keberadaan hutan sagu atau disebut juga dusun sagu merupakan pertalian batin yang tak dapat dipisahkan sebagai jati diri orang papua. Sagu adalah entitas dan identitas orang Papua.

Lihat juga : Ketika Bahasa Indonesia Mengancam Punahnya Bahasa Lokal di Merauke

Agustinus menilai bahwa kini hutan sagu telah menjadi konsep yang hilang relasinya dengan ruang kehidupan orang-orang Marori.  Hal itu disebabkan adanya perubahan pangan lokal, yaitu ketika sagu berganti ke padi, maka pengetahuan lokal tentang hutan sagu perlahan lahan hilang. Anak-anak tidak akan mengenal baik mengenai hutan sagu seperti Wosul, Winaibak, Mitataol dan Mbinjiker.

“Kunjungan rutin ke dusun sagu pada awalnya membuat kita menjadi sadar tentang peta lisan yang dibangun secara visual oleh orang lokal Marori. Pengetahuan peta secara imajier merupakan pengetahuan yang datang dari kecerdasan spasial yang di miliki oleh orang -orang Marori . Mereka memanfaatkan kecerdasannya untuk mewariskan pengetahuan ini dalam bentuk tutur lisan.” Papar Agustinus.

Salah satu yang menarik dari pengetahuan orang Marori mengenai pengetahuan spasial adalah berbasiskan sistem marga. Misalnya pada sekitar tahun 1930-an, sebelum kehidupan di Kampung Mbur tumbuh,  jalan sebagai jalur lalu lintas tradisional  juga ditentukan berdasarkan marga.

“Ini yang menarik menurut Saya. Orang -orang Marori ketika akan pergi ke dusun sagu dari kampungnya, akan mengikuti jalan sesuai dengan marga. Misalnya ada jalan marga Mahuze , Gebze, Ndiken, Samkakai dan sebagainya.”  

Selain dusun sagu, Di Taman Nasional Wasur terbentang hutan-hutan ulayat yang menjadi sumber kehidupan setiap marga. Keberadaannya kini terancam punah oleh pembalakan liar yang berlangsung secara masif. Padahal pemerintah kampung atas kesepakatan penduduk Wasur  telah mengeluarkan peraturan kampung  Nomor 5/1997 yang mengatur peredaran hasil  hutan.  

Selain itu pemerintah juga telah menetapkan zonasi yang terdiri dari zona pemanfaatan, zona rimba yang tidak boleh ditebang pohonnya dan zona sakral atau hutan larangan. Pembalakan liar adalah menjadi penyebab kecerdasan spasial orang Marori yang hidup di sekitar Taman Nasional Wasur juga terancam hilang.

“Tempat dan tanda wilayah untuk mengenali wilayah dan ruang spasial menjadi hilang. Ketika hutan telah rusak, maka tanda-tanda alam sebagai pedoman untuk menjelajah juga hilang.” Kata Agustinus. Dan sejauh ini tidak ada upaya untuk melestarikan kecerdasan spasial orang papua.

Menurut Agustinus, untuk melestarikan kecerdasan alam orang Papua diantaranya dengan menumbuhkan kembali budaya tutur, terutama bahasa lokal yang dihidupkan melalui pembangunan rumah adat yang disebut Gamaf Sour. (pandu radea)

Back to top button