POTPOURRI

Ketika Bahasa Indonesia Mengancam Punahnya Bahasa Lokal di Merauke

Bahasa merupakan ciri dan identitas suatu bangsa, dan  Indonesia saat ini  berada di peringkat kedua di dunia sebagai  negara yang memiliki bahasa  daerah terbanyak.  Hasil dari penelitian terbaru  menunjukan bahwa terdapat 769 bahasa di Indonesia dari Sabang sampai Merauke.  Jumlah tersebut berada di bawah Papua Nugini yang memiliki 839 bahasa daerah.

769 bahasa daerah itu terbagi dalam 10 wilayah, yaitu Sumatera (35 bahasa), Jawa dan Bali (13 bahasa), Nusa Tenggara dan Maluku Barat Daya (74 bahasa), Maluku Tengah (54 bahasa), Maluku Utara (25 bahasa), Maluku Selatan (46 bahasa), Kalimantan (74 bahasa), Sulawesi (114 bahasa), Papua Barat Laut (62 bahasa) dan Papua Timur (272 bahasa).

Sebelumnya, berdasarkan pencatatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tercatat 652 bahasa dari tahun 1991 sampai 2017.  Validasi bahasa  tersebut dilakukan di 2.452 daerah pengamatan,  belum termasuk dialek dan subdialek.  Daerah  lainnya yang belum diidentifikasi bahasanya  adalah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Selain Badan Bahasa Kemendikbud, lembaga lainnya yang mendata bahasa-bahasa daerah di Indonesia  adlaah Summer Institute of Linguistics Internasional (SIL). Melalui proyek Ethnologue dan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (Unesco) dengan program Atlas of the World’s Languages in Danger.

Dari hasil penelitiannya, SIL telah mandata 719 bahasa daerah dan 707 di antaranya masih aktif dituturkan. Namun bahasa daerah Indonesia yang tercatat di UNESCO baru143 bahasa berdasarkan daya hidup bahasanya.

Papua Timur merupakan wilayah yang memiliki bahasa daerah paling banyak. Keragaman bahasa di Papua itu berbanding dengan keberadaan berbagai suku yang tersebar di 29 kabupaten. Beberapa suku besar yang mendiami kabupaten-kabupaten di Papua yaitu Suku Ayam Matu dan Moi di Kabupaten Sorong, Suku Arfak di Kabupaten Manokwari dan Suku Marind di Maerauke.

Suku-suku besar lainnya yaitu Suku Dani, Panai, Komoro, Amume, tinggal di wilayah pegunungan.Suku Serui, Siak, Bintani mendiami wilayah utara Papua. Suku Asmat, Muyu, Mandobo, Mappi dan Marind menetap di wilayah selatan Papua.

Di Wilayah selatan, Suku Marind di Merauke merupakan suku yang paling dominan karena wilayah Merauke merupakan kabupaten terluas di Papua, sekaligus wilayah Indonesia paling timur yang berbatasan dengan Papua Nugini.

Agustinus Mahuze, seorang guru dan peneliti yang memfokuskan minatnya dalam pendokumentasian bahasa asli Merauke menyatakan bahwa di Merauke terdapat bahasa lokal yang masih dituturkan, yaitu Marori, Kanum, Yeinan, Marind, Maklew, Kimagama dan Riantana.

“Menurut UNESCO setiap 2 bulan 1 bahasa mati. Prosentase bahasa terbanyak di dunia berada di Pulau Papua dan Papua Nugini. Dari kekayaan bahasa ibu tersebut. Maka terkandung pengetahuan lokal yang menyimpan begitu banyak kearifan lokal dan sistem moral.” Ujar Agustinus

Di bagian tenggara wilayah Merauke ditandai dengan keberadaan Taman Nasional Wasur yang memendam kekayaan hayati dan lingusitik yang menakjubkan. Di kawasan inilah hidup tiga kelompok etnis, yaitu Marind, Marori dan Kanum  yang masih setia dengan tradisi dan bahasanya.

Terkait dengan Bahasa Marind, menurut Agus, terbagi berdasarkan dialek yang dipengaruhi garis sungai. Selain Bahasa Indonesia,  penutur Bahasa Marind merupakan yang terbanyak saat ini sehingga menjadi identitas bagi Merauke. Sedangkan dua bahasa lainnya yaitu Kanum dan Marori mulai terancam punah.

“Suku Marori yang tinggal di Kampung Wasur menggunakan bahasa Marori sebagai bahasa utama. Saat ini populasinya 400 sampai 500 jiwa. Tapi jumlah penutur bahasa aslinya hanya 14 orang. Jika tidak segera dilestarikan maka bahasa tersebut akan punah” papar Agustinus, asisten peneliti dalam program Dokeumentasi Bahasa Endangered Language Documentatio Program (ELDP) The Endangered Papuan Languages of Merauke-Indonesia : Ethnobiological and Linguistic Documentation, di bawah pimpinan I Wayan Arka pada tahun 2016 sampai 2017.

Ancaman punahnya bahasa lokal terjadi setelah arus pendatang dari Jawa semakin meningkat. Migrasi  tersebut menyebabkan pembauran akibat kontak sosial budaya antara pendatang dan tuan rumah. Bahasa lokal mulai tergantikan dengan bahasa Indonesia sebagai lingua franca sehari-hari.

“Dominannya penggunaan Bahasa Indonesia menyebabkan basa lokal, seperti bahasa Marori semakin jarang digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Maka akibatnya informasi tradisi budaya yang terkandung dalam bahasa lokal juga punah”

Agustinus mencontohkan dalam soal sagu sebagai tanaman yang menghasilkan makanan  pokok masyarakat papua. Masyarakat Marori mengenal empat jenis sagu yang namanya dibedakan dari bentuk daunnya, yaitu elitel, buov, uliba dan yuk.

Demikian pula bagian-bagian pohon sagu memiliki nama tersendiri dalam bahasa lokalnya. Diantaranya bend untuk menyebut batang pokok sagu, piyau (tangkai primer bunga), korou (tangkai sekunder bunga), titin (tangkai tersier bunga), soru (anak-anak daun), minyangga (pucuk daun) dan bing (pelepah daun).

Dari sisi spiritualis, Pohon Sagu atau disebut Nggi ini adalah simbol totem atau dema dari Klan Suku Mahuze yang merupakan salah satu sub Suku Malind Anim. Klan lainnya yaitu Kaize (kasuari), Ndiken (Burung Ndik), Gebze (kelapa), Basik Basik (Babi), Samkakai (kangguru) dan Balagaize (buaya).

“Tidak saja nama dan bagian-bagian Pohon Sagu, demikian pula alat-alat yang digunakan dalam proses membuat makanan dari Pohon Sagu juga memiliki nama yang berbeda-beda. Nah, manakala bahasa lokal digantikan oleh Bahasa Indonesia maka, semua istilah lokal dalam Pohon Sagu akan punah.” Imbuh Agus.

Bukan mustahil hal itu terjadi, mengingat  pada 12 Februari  2010, pemerintah pusat telah mencanangkan proyek ambisiusnya di Merauke yang diberi nama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Program tersebut bermimpi mengembangkan produksi pangan yang mencakup, perkebunan, peternakan dan perikanan dengan mengajak 32 investor mengelola lahan seluas 1,28 juta hektar.

90,2% lahan tersebut adalah hutan yang merupakan tanah leluhur dan  jiwa bagi warga lokal untuk menlanjutkan kehidupan tradisinya. Bagi klan Mahuze, bila hutan-hutan ulayat mereka diganti menjadi lahan tanam padi atau kelapa sawut,  maka tidak saja  menggusur kearifan lokal tentang sagu. Namun berdampak terhadap kerusakan lingkungan  secara luas. Bahkan suatu saat  warga pribumi akan tergusur dari tanahnya sendiri.

Back to top button