Banyak Sumber Kuno Sebut Sumatera “Negeri Bencana”
Musnahnya manusia lembah Neander di Eropa dan Homo erectus di Asia diduga merupakan dampak dari letusan Gunung Toba itu. Konon setelah meletus terjadi musim dingin selama enam tahun berturut-turut. Akibatnya banyak tanaman dan hewan mati. Pada gilirannya, manusia lembah Neander dan Homo erectus juga kehilangan sumber makanannya sehingga mati kelaparan.
JERNIH– Pulau Sumatera boleh dibilang merupakan pulau yang penuh bencana. Berbagai gempa bumi sering terjadi di sana sejak berabad-abad lampau. Sumber-sumber sejarah banyak menyebutkan hal demikian.
Para pakar geologi dan vulkanologi masa kini pun sependapat kalau Sumatera merupakan kawasan yang rawan bencana. Sumatera berada dalam lempeng yang mudah patah. Hal ini yang menyebabkan kondisi Sumatera tidak stabil.
Tentu kita masih ingat gempa besar yang diikuti gelombang tsunami di Aceh dan Nias akhir Desember 2004 lalu. Ketika itu sekitar 200.000 jiwa manusia melayang dan ribuan rumah hancur. Belum termasuk hewan, harta benda lain, dan sejumlah provinsi di sekitarnya.
Menurut sumber sejarah, dalam tiga abad terakhir ini, Sumatera telah dilanda gempa bumi lebih dari 13.000 kali. Suatu jumlah yang relatif besar dibandingkan daerah-daerah lain di seluruh penjuru Indonesia. Sebagian terbesar memang berupa gempa kecil, artinya tidak dapat dirasakan oleh manusia. Tetapi gempa ini tercatat oleh seismograf. Yang tragis, sebagian kecil gempa besar telah meluluhlantakan permukiman penduduk, bahkan memakan korban jiwa dan harta benda.
Hingga awal 2014 berbagai gempa bumi masih tetap melanda Sumatera. Gempa terakhir yang cukup besar terjadi pada September 2009 lalu di Sumatera Barat. Guncangannya mencapai lebih dari 7 Skala Richter.
Bukan hanya gempa bumi yang sering melanda Sumatera. Banjir bandang pun seakan sudah akrab dengan penduduk Sumatera. Yang satu ini kemungkinan besar disebabkan adanya penebangan kayu secara ilegal.
Langganan bencana
Dalam arsip-arsip lama jelas dikatakan bahwa Sumatera merupakan wilayah langganan bencana. Dari sejumlah kawasan, Aceh dan Nias paling banyak disebut-sebut. Sejumlah dokumen tertulis dari abad XVI hingga XVIII berulang kali menyebutkan Aceh bersama Nias sebagai “Kota Bencana”. Dikatakan, setiap tahun banjir besar, air laut pasang, dan gempa bumi silih-berganti melanda Aceh dan sekitarnya. Karena sering mengalami atau melihat bencana, maka para pedagang dan pengelana asing yang pernah mengunjungi Aceh saat itu, sering menjuluki Aceh sebagai “kota mati” atau “kota yang menyeramkan”.
Yang tercatat agak panjang lebar adalah mengenai bencana banjir pada abad XVII. Denys Lombard dalam buku “Kerajaan Aceh” (Balai Pustaka, hal. 61), menulis demikian, “Sering kali dalam satu kali bencana, banjir tersebut menghancurkan satu kampung sekaligus. Meskipun rumah-rumah penduduk dibangun di atas tiang setinggi 1,20 meter hingga 1,80 meter, selalu saja ada sejumlah rumah yang hanyut terseret air”.
Rupanya bencana itu demikian besar. Apalagi rumah-rumah di sana sedikit sekali yang terbuat dari batu. Umumnya rumah-rumah penduduk berbahan tumbuhan, seperti alang-alang dan bambu. Dengan demikian banyak rumah roboh diterjang air besar itu.
Dilaporkan juga bahwa di Sumatera hampir setiap tahun terjadi banjir akibat pasang purnama dan sungai. Banjir ini sampai menggenangi kota, sehingga orang terpaksa naik perahu dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya untuk mengamankan diri.
Pada bagian lain “Kerajaan Aceh” menyebutkan, malapetaka kebakaran juga sering kali menghancurkan berbagai rumah di Aceh. Dikatakan, bencana terparah tetap akibat gempa bumi. Malah gempa bumi yang terjadi sebelum matahari terbit pada 7 Maret 1621, kekuatannya begitu besar. Mereka yang berada di dalam rumah merasakan seakan-akan atap rumah roboh menimpa mereka. Sekurangnya setiap tahun terjadi tiga-empat gempa di sana.
Banyaknya bencana di Sumatera, terlebih di Aceh, juga pernah dilaporkan William Marsden dalam bukunya “Sejarah Sumatra” (1999). Kala itu, menurut Marsden, di Sumatera terdapat sejumlah gunung berapi yang sering mengeluarkan lava sehingga menyebabkan hutan terbakar. Bahkan letusan-letusan gunung berapi itu mempunyai hubungan dengan gempa bumi yang sering terjadi di sana.
Gempa bumi yang paling keras dirasakan sendiri oleh Marsden pada 1770 dan terjadi di daerah Manna. Sebuah kampung dikabarkan musnah. Selain itu banyak rumah runtuh dan habis dimakan api, bahkan beberapa orang tewas. Sebelumnya, pada 1763 Marsden mendapat kabar bahwa seluruh penduduk yang tinggal pada satu kampung meninggal akibat gempa bumi di Nias.
Rupanya gempa yang terjadi pada abad XVIII itu relatif besar karena menurut Marsden, setelah gempa terjadi retakan tanah sepanjang seperempat mil, lebarnya dua depa, dan dalamnya empat atau lima depa. Benda seperti aspal mengalir dari sisi retakan dan tanah. Setelah gempa berlalu, aspal mengerut dan memuai silih berganti. Banyak bagian bukit longsor. Akibatnya Sungai Manna penuh sesak dengan tanah liat. Sering kali gempa diiringi gelombang laut yang dahsyat sehingga goncangannya dirasakan kapal-kapal besar yang membuang jangkar di bandar (hal. 23).
Marsden mengemukakan pula, dibandingkan dengan berbagai kejadian gempa bumi di Amerika Selatan, Karibia, dan negeri-negeri lain, jenis-jenis bangunan di Sumatera lebih tahan gempa sehingga bahayanya bagi penduduk sedikit sekali. Menurut Marsden, biasanya gempa itu terjadi setelah perubahan cuaca, terlebih setelah panas yang menyengat. Sebelumnya didahului bunyi gemuruh sayup-sayup seperti guntur yang jauh. Selain itu gejala gempa ditandai ulah ternak dan unggas peliharaan yang tidak seperti biasanya. Ini karena hewan-hewan itu mampu merasakan getaran abnormal. “Ayam memerlihatkan reaksi seperti yang mereka lakukan bila melihat burung elang,” kata Marsden tentang membaca fenomena alam secara tradisional.
Umumnya rumah-rumah yang didirikan di atas bukit mengalami kerusakan paling parah. Sebaliknya, rumah-rumah yang didirikan di atas pasir dataran rendah paling sedikit merasakan efeknya. Diperkirakan, fondasi dan struktur tanah pasir yang longgar, lebih mampu melawan guncangan dari tanah. “Oleh karena itu gedung-gedung di tanah pasir lebih kebal gempa,” kata Marsden. Setidaknya ini merupakan suatu masukan berharga buat para pakar konstruksi yang akan membangun rumah atau gedung.
Selain gempa bumi, Sumatera khususnya Aceh, sering dilanda surf, yakni alunan ombak tinggi dan pecah di pantai. Tinggi surf mencapai 15-20 kaki (4,5 hingga 6 meter) lalu puncaknya menggantung dan kemudian seluruhnya jatuh seperti air terjun, hampir tegak lurus melebur dirinya. Deru yang diakibatkan oleh hempasan itu sangat keras sehingga dapat terdengar bermil-mil di daratan dalam kesunyian malam.
Gelombang surf mungkin serupa dengan gelombang tsunami. Apalagi, menurut Marsden, tenaga surf sangat kuat. Hal ini terlihat dari sebuah perahu yang terjungkir sehingga puncak tiang layarnya menancap di pasir dan pangkalnya menembus dasar perahu (hal. 25).
Laporan sejenis lainnya, meskipun amat singkat, pernah diberikan sejumlah pengelana Barat. Dikatakan bahwa negeri Aceh tidak terlalu baik dari segi geografis. Bahkan negerinya sering diporakporandakan oleh alam.
Gunung api Toba
Banyak orang membayangkan, letusan Gunung Tambora pada 1815 atau Gunung Krakatau pada 1883 sebagai letusan gunung api super. Memang, letusan kedua gunung api tersebut tergolong dahsyat karena guncangannya terasa di banyak negara. Akan tetapi menurut para pakar, sebagaimana pernah disebutkan Radio Suara Jerman Deutsche Welle, letusan Tambora dan Krakatau belum dapat disebut letusan gunung api super.
Menurut penelitian para pakar vulkanologi dunia, negara kita pada zaman purba pernah dilanda letusan gunung api super. Peristiwa itu terjadi sekitar 74.000 tahun lalu pada Gunung Toba di Sumatera. Kini gunung itu sudah tak ada lagi dalam peta-peta topografi atau atlas nasional. Seperti halnya dinosaurus yang hidup kala itu, Gunung Toba pun sudah punah.
Konon pada saat meletus, Gunung Toba menyemburkan materialnya sampai ketinggian 40 kilometer, dalam radius 3.000 kilometer. Material yang disemburkan dari dapur magma itu mencapai volume 3.000 kilometer kubik. Akibat letusannya, terbentuk kaldera dengan panjang 100 kilometer dan lebar 60 kilometer di ketinggian 900 meter, yang kemudian tertutup air menjadi Danau Toba sekarang.
Penelitian yang dilakukan Michael Rampino, pakar vulkanologi dari Universitas New York itu menunjukkan, akibat dari letusan tersebut adalah temperatur global mengalami penurunan 5-15 derajat. “Bumi mengalami musim dingin seperti musim dingin akibat perang nuklir,” begitu dia menggambarkan.
Sekadar perbandingan, material letusan Gunung Tambora volumenya hanya sekitar 20 kilometer kubik. Material tersebut melenyapkan tiga kerajaan yang ada di sana, termasuk menghilangkan sekitar 10.000 jiwa.
“Ketika itu terjadi hujan abu selama tiga hari dua malam, disusul bunyi gelegar yang menandai keruntuhan kawah. Disusul lagi hujan pasir dan empoh laut. Malapetaka itu berakhir berkat orang sembahyang. Tetapi kemelaratan, kelaparan, dan penyakit tidak tertolong. Banyak orang mati karena makan daun dan ubi beracun,” demikian gambaran kedahsyatan letusan Tambora (“Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah”, Henri Chambert-Loir, hal. 249).
Tahun 1816 kemudian dicatat oleh warga Eropa, sebagai tahun tanpa musim panas. Hujan salju masih turun di bulan Juni hingga Agustus, yang seharusnya musim panas. Panen di Eropa mengalami kegagalan. Akibatnya kelaparan terjadi di mana-mana sehingga pemerintah Eropa banyak mendirikan dapur umum untuk warga mereka. Betapa terlihat dampak global dari letusan Tambora mencapai daratan Eropa yang amat jauh.
Dampak serupa pernah pula dialami banyak negara ketika Gunung Krakatau meletus. Diperkirakan, 36.000 korban jiwa terkubur hidup-hidup dan tenggelam kena pusaran air laut. Konon, guncangannya dirasakan sampai Afrika Selatan. Bahkan menyebabkan bencana tsunami di berbagai negara. Banyak korban jiwa berjatuhan di laut maupun daratan.
Dampak global letusan Gunung Toba tentu saja lebih mengerikan. Menurut catatan para arkeolog, keberadaan manusia di zaman itu terancam musnah. “Antara 70.000-80.000 tahun lalu, terjadi bencana yang memusnahkan banyak jenis makhluk hidup,” demikian para arkeolog.
Musnahnya manusia lembah Neander di Eropa dan Homo erectus di Asia diduga merupakan dampak dari letusan Gunung Toba itu. Konon setelah meletus terjadi musim dingin selama enam tahun berturut-turut. Akibatnya banyak tanaman dan hewan mati. Pada gilirannya, manusia lembah Neander dan Homo erectus juga kehilangan sumber makanannya sehingga mati kelaparan.
Para ahli geologi memerkirakan, jumlah populasi manusia purba di seluruh dunia ketika itu hanya tinggal beberapa puluh ribu. Teori bencana akibat letusan gunung api super inilah yang antara lain digunakan untuk menerangkan mengapa kode genetika manusia modern nyaris identik. Diduga, manusia modern yang hidup saat ini, berkembang dari hanya beberapa orang nenek moyang.
Meskipun begitu, beberapa gunung api super yang ada di seluruh dunia belum dinyatakan mati. Di AS, yang ukuran kalderanya jauh lebih kecil daripada Gunung Toba, gunung api super Yellowstone tetap dipantau hingga sekarang. Menurut pengukuran Robert Smith dari Universitas Utah, gunung api Yellowstone tetap hidup. Sementara itu Robert Christiansen, peneliti gunung api dari California, mengatakan gunung api super Yellowstone meletus setiap 60.000 tahun.
Dunia ternyata masih dihantui ancaman besar. Tentu tak terbayangkan dampak yang ditimbulkannya, jika beberapa gunung api super meletus secara bersamaan di zaman modern ini. Mungkin inilah yang disebut kiamat.
Disayangkan, situs-situs letusan gunung api di Indonesia belum memberikan banyak arti kepada dunia kepurbakalaan. Lain halnya dengan situs Pompeii di Italia. Situs itu ibaratnya menjadi “harta karun” penelitian arkeologi. Bahkan sering dijadikan studi kasus atau studi perbandingan untuk mengetahui keadaan masa lampau.
Kota Pompeii terkubur abu dan lava Gunung Vesuvius pada 79 Masehi. Pompeii ditemukan kembali pada 1748. Namun baru pada 1860 di bawah pimpinan arkeolog Italia Guiseppe Fiorelli, ekskavasi dan pemulihan yang sistematis dimulai di situs tersebut. Ternyata situs Pompeii masih berada dalam keadaan asli seperti pada masa kehancurannya.
Reruntuhan kota Pompeii banyak memberi petunjuk tentang kehidupan masyarakat pada waktu terjadi letusan. Ada informasi tentang harga barang-barang saat itu, termasuk segala sesuatu yang disukai dan tidak disukai penduduk. Tempat penyeberangan para pejalan kaki pun masih jelas terlihat di sana.
Dulu rupanya Pompeii merupakan kota sibuk yang dipenuhi toko, restoran, dan permukiman. Pengrajin tembikar, pengrajin perunggu, tukang daging, tukang roti, penjual perkakas, dan pengrajin kulit banyak berdagang di kota itu.
Kota Pompeii juga diketahui memiliki dua teater yang mampu menampung sekitar 5.000 orang. Salah satu teater yang disukai adalah amphiteater, tempat pertarungan para gladiator. Perkelahian antarmanusia atau manusia dengan hewan liar sering diselenggarakan di teater tersebut, sebagaimana terlihat pada sejumlah gambar di dindingnya (Arkeologi, Paul Devereux, 2003).
Di mata arkeolog, Pompeii merupakan situs perkotaan yang dianggap masih utuh dan lengkap. Banyak ciri perkotaan masa lalu, masih dapat diidentifikasi sehingga memudahkan studi perbandingan dengan situs-situs perkotaan lainnya. [ ]
Ditulis Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya, mantan wartawan “Mutiara”, dalam blog beliau.