Sanus

Susy—Tentang Benih-benih CLBL—Cinta Lama Bersemi Lagi

“Kau masih ingat suratku dulu?” tanya Surya.

“Ya,”kata Susy. “Kau akan datang menjengukku tepat ketika ulang tahunmu yang keempat puluh. Dan kau akan terus membujang seumur hidup karena patah hati.”

Oleh  : Faisal Baraas*

JERNIH—Belajarlah menerima dan menyukai diri Anda sendiri, kata dr Florence Ryn Serlin. Ambillah risiko untuk mendekati orang lain, jangan Cuma menunggu untuk didekati. Padahal dalam hidup ini tidak mungkin kita diterima semua orang. Ada yang menyukai, ada yang tidak…

Nasihat ini sudah terlambat bagi Susy. Dia ia pun sudah tidak menyesal lagi. Ia tahu, menyesal memang tidak berguna. Tidak akan mengubah keadaan yang sudah terjadi. Ia pasrah menerima.

“Saya juga sudah pasrah,” kata Surya perlahan.

Malam itu mereka hanya berdua. Terasa lengang di sekitar mereka. Malam memang sudah lama turun, diiring gerimis tipis dan angin yang mengiris. Satu-dua suara burung malam, dan di kejauhan kadang satu dua klakson mobil masih terdengar. Surya menghirup kopi hangat yang dihidangkan Susy. Dalam hati ia memuji, Susy masih ingat minuman kesukaannya.   

“Saya bangga, kau sukses sebagai pengusaha real-estate,” kata Susy, tersenyum. “Tak kusangka kau bisa begitu.”

“Kau meragukan kemampuanku,” kata Surya. Susy tertawa.

“Kau kan dulu seorang kutu buku, anak pemalu dan tak suka bergaul.”

“Ya, bertahun-tahun kemudian aku belajar memperbaiki kekuranganku itu. Aku tahu, aku pemalu, dulu. Aku menderita kompleks rendah diri. Itulah yang menyebabkan aku gagal memilikimu waktu itu. Kau terlalu tinggi buatku. Aku merasa kurang cakep, kurang pintar, dan kurang kuat untuk mendekatimu.”

Susy tertawa.

“Aku tidak tahu kau menaruh hati kepadaku waktu itu. Dan suatu ketika kuterima suratmu. Aku terkejut sekali. Baru kuketahui kau mencintaiku diam-diam. Kucari kau. Tapi kau sudah taka da, kau sudah berangkat ke luar negeri melanjutkan pelajaranmu.”

“Maafkan aku yang telah lancung menulis surat itu. Masih kau simpan?Sebaiknya kau bakar saja surat itu. Nanti tak ada baiknya bila suamimu tahu.” Susy tersenyum.

“Aku senang menyimpannya, Menyimpan surat tak pernah berakibat jelek.”

Surya kini tersenyum. Ia bangga dalam hati mendengar pengakuan Susy itu. Ia bangkit dari tempat duduknya, lalu mengelilingi ruangan menikmati interior rumah itu. “Tak kulihat foto suamimu atau pun anak-anakmu,”katanya tanpa melihat ke arah Susy.

“Pentingkah itu dipajang di ruang tamu?” tanya Susy.

Surya menoleh.  “Maaf. Aku lupa bahwa sekarang berhadapan dengan seorang doktor wanita yang sukses di bidangnya. Aku bangga mendengar suksesmu itu. Kau tentu melihat sesatu selalu dengan rasio.”

“Tidak selalu. Jangan meremehkan kewanitaanku.”

Mereka tak bercakap lagi. Masing-masing dengan pikirannya sendiri yang mengalir dengan derasnya.

“Lama benar suami dan anak-anakmu pulang,” kata Surya seperti berkata untuk dirinya sendiri. Susy tidak menjawab. Senyumnya tipis membayang.

“Kau masih ingat suratku dulu?” tanya Surya.

“Ya,”kata Susy. “Kau akan datang menjengukku tepat ketika ulang tahunmu yang keempat puluh. Dan kau akan terus membujang seumur hidup karena patah hati.”

“Ya, kutepati itu semua,” kata Surya pelan.

Susy terharu. Hatinya mau menangis mendengar pengakuan itu.

“Dan hari ini aku datang. Bukan untuk mengganggu ketenteraman keluargamu, tapi hanya untuk menepati janji apa yang pernah kutulis dulu. Aku memang sudah pasrah menerima nasibku. Bagiku, kau adalah cintaku, yang pertama dan terakhir. Tak ada wanita yang sanggup menggeser kedudukanmu dalam hatiku. Memang salahku, aku tak berani menyatakan cintaku itu dulu kepadamu, karena takut kau tolak.  Aku pemalu sekali. Aku hanya mampu mencintaimu diam-diam.”

“Sebenarnya, aku juga mencintaimu, diam-diam,” kata Susy menunduk.

“Oh, bernarkah itu?” tanya Surya bergairah.

“ya. Aku selalu menunggu ucapanmu. Tapi kau tak pernah berkata apa-apa.”

“Memang,” Surya mengeluh panjang. “Sejak masa kanak-kanak aku sangat pemalu. Aku merasa minder dan takut ditolak orang. Mungkin Serlin benar. Kita memang harus menyadari bahwa dalam hidup ini kita selayaknya tak takut ditolak, sebab tak mungkin kita disukai semua orang. Ada yang senang, tentu ada yang tidak. Kita harus mengambil risiko untuk mendekati orang lain, bukan menunggu untuk didekati.”

“Kau hafal benar kata-kata Serlin itu,” kata Susy sambil bangkit.

“Aku juga menyimpan tulisan itu.”

“Oh ya?”

“Ya, aku juga membutuhkan semangat tulisan itu. Sering kubaca berulang-ulang kalau pikiranku lagi sedih.”  Mereka bersama tertawa riang, bahagia sekali. Mereka tertawa berkepanjangan.

“Kita tak seperti remaja sekarang,” kata Surya di sela-sela tawanya.

Remaja kini lebih bebas, lebih terbuka, lebih mampu berkomunikasi. Mereka tidak malu untuk bercinta, di mana saja, kapan saja. Pengungkapan cinta mereka lebih menggetarkan.

“Susy,” kata Surya. “Anakmu tentu sekarang sudah remaja. Kau dan suamimu tentu bahagia sekali memperhatikan perkembangannya….”

Susy tiba-tiba diam menunduk.

“Tidak ada semua itu, Surya,” kata Susy, pelan. Surya terkejut.

“Jadi kau belum…”

“Ya, aku menunggumu…”

Surya meloncat dari tempat duduknya, lalu memeluk Susy erat-erat. Mereka menangis malam itu. Penuh bahagia. [ ]

*Dokter ahli jantung dan penulis. Tulisan ini diambil dari buku beliau,”Beranda Kita”, Jakarta, Grafitipers, 1985

Back to top button