Bersama Mama Nona, Doni Monardo Bahas Warisan Baba Akong
“Apa tidak ada yang membantu biaya?” tanya Doni Monardo.
“Tidak ada. Kami sendiri,” jawab Mama Nona.
“Pemerintah Daerah juga tidak membantu?” lanjut Doni.
“Nol kosong,” jawab Mama Nona lugas mengenang peristiwa 20 tahun silam.
“Boleh saya menanam mangrove di sini?” tanya Doni.
JERNIH–Iring-iringan mobil meninggalkan pusat kota Meumere NTT ke arah barat laut. Angin semilir menyapa dari bibir pantai sepanjang jalan Trans Flores. Hijau savana di bukit pegunungan pada satu sisi, serta biru Laut Flores di sisi yang lain, mengusap lelahnya mata.
Usai menempuh perjalanan sejauh 29 kilometer, mobil melambat di Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka. Berbelok ke kanan memasuki halaman luas sebuah rumah sederhana. Di situlah tinggal Mama Nona, perempuan 71 tahun bernama lengkap Angelina Nona.
Dialah janda mendiang Baba Akong, salah satu “orang besar” di dunia pelestarian alam, yang wafat pada hari Rabu, 6 Maret 2019, pada usia 71 tahun. Sore itu, Mama Nona bertabur bahagia menerima kunjungan dadakan Kepala BNPB, Letjen TNI Doni Monardo.
Di antara kesibukan mengkoordinasi penanggulangan bencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Doni menyempatkan diri menengok warisan almarhum Baba Akong, berupa hutan mangrove yang terhampar di Pantai Ndete yang berlokasi persis di belakang rumahnya. Agaknya, Doni memang selalu merasa mendapat semprotan energi baru saat menyaksikan pohon rimbun, subur atau pohon langka, apapun jenis pohon itu. Berdiskusi tentang pohon dengan mantan Dan Paspampres ini bisa lupa waktu, karena ia mengenali secara fasih aneka jenis pohon, baik nama, asal bahkan sejarahnya.
Sore itu, Doni menyaksikan satu per satu pohon mangrove (bakau) yang ada di sana, tumbuh dari jerih payah Baba Akong.
Baba Akong adalah seorang nelayan. Setidaknya, sejak menikahi Angelina Nona pada tahun 1975. Sebelumnya, Baba Akong yang keturunan Cina asal Atambua itu, adalah pedagang di kota Maumere.
Saat jumpa pertama kali dengan Nona, Akong yang bernama asli Viktor Emanuel Rayon adalah seorang kasir di Toko Kalimas, Maumere. “Kebetulan saya sering belanja ke toko dia. Dari situ lama-lama muncul perasaan suka satu sama lain. Tuhan yang mengirim dia menjadi jodoh mama,” ujar Mama Nona.
Usai menikah, Baba Akong tinggal di rumah Mama Nona, dan meninggalkan dunia toko, beralih menjadi nelayan. Pertama-tama, ia membangun kolam ikan bandeng di belakang rumah, yang tidak jauh dari pantai. Baba Akong juga melaut, menjala ikan di Laut Flores bersama para nelayan lain Desa Reroroja.
Meski perawakannya kecil, Baba Akong dikenal sigap. Tidak heran, jika hasil tangkapan ikan Baba Akong tidak saja cukup untuk makan bersama keluarga, tetapi juga bisa dijual sebagai sumber nafkah.
“Anak kami enam, tiga perempuan, tiga laki-laki,” kata Mama Nona seraya menambahkan, “Puji Tuhan, semua sudah berkeluarga. Saat ini, satu anak laki-laki menemani Mama di sini. Kebetulan ia punya istri orang Jember, Jawa Timur.”
Keluarga ini kemudian dikenal sebagai tokoh pelestari lingkungan, berkat kegigihan Baba Akong menanami kawasan pantai belakang desanya dengan bakau. Tahun 2008, Baba Akong diberi penghargaan Kalpataru kategori Perintis Lingkungan oleh Menteri Lingkungan Hidup, Ir Rachmat Witoelar.
Setahun kemudian, 2009, Baba kembali meraih penghargaan Kalpataru kategori yang sama dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Baba pun berkesempatan menginjak karpet merah Istana Negara bersama Angelina Nona, istri yang setia mendampinginya.
Selain Kalpataru, Baba Akong juga meraih penghargaan Film Dokumenter Metro TV Program Presiden “Hijaulah Indonesiaku” berjudul “Prahara Tsunami Bertabur Bakau.” Program itu diikuti 25 peserta dari Sabang sampai Merauke. “Dua kali kami diundang di acara Kick Andy Metro TV,” ujar Mama Nona, mengenang.
Baba “gila”
Ganjaran anugerah serta puja-puji banyak kalangan, bukan datang tiba-tiba. Itu semua terjadi setelah Baba Akong melewati pergulatan panjang. Apa yang ia lakukan, awalnya dicemooh banyak orang, bahkan sempat tidak mendapat dukungan dari istri dan anak-anaknya. Nama Baba Akong pun oleh para tetangga diubah menjadi Baba Gila.
“Itu benar. Jangankan orang-orang, saya sendiri awalnya tidak setuju. Saya bilang, nenek moyang kita tidak pernah menanam bakau. Pohon bakau di pantai itu tumbuh sendiri,” kata Mama Nona.
Itu terjadi awal tahun 1993, tidak lama setelah peristiwa gempa disusul tsunami dahsyat yang terjadi pada 12 Desember 1992. Saat itu, banyak korban meninggal, tidak sedikit warga kehilangan rumah. “Kami selamat, karena langsung lari ke bukit. Tapi rumah kami rata tanah tak ada sisa. Yang tersisa hanya baju yang kami pakai,” kenang Mama Nona, wanita berperawakan mungil tetapi tetap gesit di usia yang ke-71.
Sejak peristiwa itu, banyak tetangga mengungsi dan tidak kembali. Hanya sedikit warga Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda yang kembali dan membangun rumahnya. Memungut yang bisa dipungut, mencari sisa-sisa benda yang bisa dicari. “Baba Akong tidak mau pindah. Ia bilang, rumah kita di sini, dan akan tetap di sini sampai kapan pun,” tutur Mama Nona.
Tiba suatu hari, Baba Akong memanggil Nona, sang istri. “Mama, mari kita pergi cari anakan mangrove.” Mama Nona menolak.
Esok hari, Baba Akong kembali mengajak sang istri mencari bibit mangrove. Kali ini dengan penjelasan, bibir pantai harus ditanam mangrove, tujuannya agar masyarakat pesisir Reroroja bisa selamat jika suatu ketika bencana itu berulang. Mama Nona tetap tidak paham, dan untuk yang kedua kali pula, Mama Nona menolak.
Hari ketiga, Baba Akong — sekali lagi — mengajak sang istri mencari bibit mangrove dan menanamnya di pesisir belakang rumah. Ajakan kali ini rupanya ajakan terakhir. Terbukti, Baba Akong menegaskan, “Kalau mama (tetap) tidak mau, saya akan melakukannya sendiri.”
Mama Nona bergeming. Selangkah tidak bergerak, sejengkal tak beringsut. Toh, Baba Akong tidak marah. Ia hanya ngeloyor keluar rumah, mengambil sekop, memikul karung, dan meninggalkan rumah dan Mama Nona yang terbengong-bengong. “Saya akan melakukannya sendiri,” Mama Nona ingat kalimat suaminya.
Hari kedua, Baba Akong kembali mencari anakan mangrove, dan tidak mengajak istrinya. Pagi-pagi, usai sarapan pisang goreng, Baba Akong keluar rumah. Menyambar sekop, karung, ngeloyor ke pantai Ndete, mencari dan mengumpulkan bibit mangrove, lalu menanam di belakang rumah.
Hari ketiga, idem. Mama Nona tidak tega. Ia pun bergegas menyusul. Tidak lupa membawa bekal cemilan dan air putih. “Saya tetap belum paham untuk apa Baba Akong melakukan itu semua. Saya ikut dia karena kasih istri kepada suami,” ujarnya.
Nol kosong
Hari demi hari, minggu berganti minggu, bahkan bilangan bulan dan tahun berlalu. Tidak ada yang berubah dengan kebiasaan Baba Akong dan istrinya. Menanam dan menanam mangrove. Sepetak demi sepetak, hingga akhirnya berbilang hektar, bahkan puluhan hektar bibit mangrove tertanam.
Ada kalanya, ketika bibit mangrove mulai sulit didapat, Baba Akong tak segan-segan menggunakan hasil keuntungan jualan ikan untuk membeli bibit mangrove di daerah lain.
Doni Monardo pun terkesan dengan kisah yang dituturkan Mama Nona.
“Apa tidak ada yang membantu biaya?” tanya Doni Monardo.
“Tidak ada. Kami sendiri,” jawab Mama Nona.
“Pemerintah Daerah juga tidak membantu?” lanjut Doni.
“Nol kosong,” jawab Mama Nona lugas mengenang peristiwa 20 tahun silam.
“Boleh saya menanam mangrove di sini?” tanya Doni.
Mama Nona mempersilakan, dan meminta tetangga yang datang sore itu segera mengambilkan bibit mangrove. Mama Nona kemudian mengiringi langkah Doni Monardo ke arah ujung luar hutan mangrove. Sebuah jembatan bambu, membelah hutan mangrove yang lebat menjadi jalan menuju pantai.
Sejenak Doni Monardo menebar pandang ke sekeliling, lalu menuju area berlumpur. Ia memungut pelepah kelapa, lalu digunakannya sebagi cetok membuat lubang. Setelah dirasa cukup menggali, Doni meminta satu bibit mangrove, mengepal-ngepalkan tanah lumpur dalam polybag, lalu melepas polybag, dan menanam di lubang yang telah ia buat.
Dengan kedua telapak tangan telanjang, Doni menutup bibit mangrove dengan tanah lumpur di sekitarnya. Usai menanam, sambil berdiri, ia menepuk-nepuk ujung bibit mangrove dengan penuh kasih.
“Tolong dijaga mama, kelak saya akan datang menengok,” kata Doni kepada Mama Nona.
Langkah Doni ini adalah bentuk dukungan terhadap setiap usaha konservasi alam. Sebuah persembahan kepada almarhum Baba Akong.
Penanaman pohon mangrove oleh Baba Akong, terbukti telah mampu menghijaukan kawasan dan kini menjadi warisan membanggakan. Hutan Mangrove Magepanda, sudah menjadi icon Kabupaten Sikka.
Niscaya, kehadirannya akan lestari hingga zaman berganti. Mirip seperti keberadaan Gereja Santo Ignatius Loyola atau Gereja Tua Sikka yang terletak di Kampung Sikka, sebuah desa eksotis di garis pantai selatan Kota Maumere. Gereja itu dibangun oleh pastor berkebangsaan Portugis, JF Engbers D’armanddaville pada 1893.
Pembangunannya dibantu oleh Raja Sikka Joseph Mbako Ximenes da Silva. Bangunan gereja ini merupakan hasil rancangan Pastor Antonius Dijkmans, arsitek yang juga ikut mendesain Gereja Katedral Jakarta.
Begitu bersejarahnya gereja tua tadi, sehingga menarik perhatian mendiang Paus Yohanes Paulus II untuk datang ke Maumere, pada 10 November 1989. Tentu saja, kehadiran Paus Yohanes Paulus II menjadi berkat yang mendatangkan kegembiraan bagi seluruh masyarakat Flores.
Tak ayal, warisan Hutan Mangrove Baba Akong pun demikian. Atas nama pelestarian alam. Atas nama upaya vegetasi serta mitigasi kebencanaan, kerja panjang me-mangrove-kan pantai Ndete oleh Babah Akong adalah sebuah masterpiece warga Sikka.
Terlebih, berkat mangrove sudah dirasakan masyarakat banyak. Berkat hutan mangrove itu pula, masyarakat kini bisa mendapatkan kepiting, lele laut, dan udang.
Doni juga mengagumi cara pandang Baba Akong terhadap alam. Dalam sebuah wawancara, Baba Akong menyampaikan, “Kita tidak boleh lari dari alam. Kita harus dekat dengan alam. Yang harus kita ubah itu cara kita memperlakukan mereka.”
Doni Monardo sendiri, punya slogan, “Kita jaga alam, alam jaga kita”. Klop. [Catatan dari Maumere, Egy Massadiah]