POTPOURRI

Cara Keledai Menghormati Wali Sufi Bisyr Al-Hafi

“Sesungguhnya harta, apabila dihasilkan dari usaha yang kotor dan syubhat, pemiliknya tidak akan mau menggunakannya kecuali hanya untuk hal-hal yang diinginkan nafsu dan seleranya.”

JERNIH– Suatu malam, ketika wali sufi Bisyr al-Hafi tengah terbaring menanti ajalnya pada tahun 277 H/ 841 M, tiba-datang seseorang dan mengeluhkan nasibnya kepadanya.

Bisyr pun bangun, membuka pakaian dan menyerahkan hampir seluruh pakaian yang dia kenakan kepada orang tadi. Dia pun lantas memakai pakaian lain yang dia pinjam dari salah seorang sahabatnya. Dengan menggunakan pakaian pinjaman itulah sang waliyullah tersebut menghadap Allah.

Pada waktu bersamaan, di tempat lain seorang laki-laki melihat keledai yang dibawanya membuang kotoran di jalan. Padahal selama Bisyr al-Hafi hidup, tidak ada seekor keledai pun yang membuang kotoran di jalan karena menghormati Bisyr yang berjalan di sana tanpa menggunakan alas kaki. Melihat kenyataan aneh seperti itu spontan si laki-laki tersebut langsung berteriak “Bisyr telah tiada!”

Mendengar seruan laki-laki tadi, orang-orang pun pergi untuk menyelidikinya validitas berita tersebut. Ternyata benar adanya. Lalu orang-orang pun bertanya,”Bagaimana kau tahu bahwa Bisyr al-Hafi telah meninggal dunia sementara kau jauh dari tempatnya meninggal?”

“Karena selama Bisyr al-Hafi hidup aku tidak pernah menyaksikan ada seekor keledai pun yang membuang kotoran di jalan. Tadi aku melihat kenyataan sebaliknya. Keledaiku membuang kotorannya di jalan. Dari situ aku tahu bahwa Bisyr al-Hafi telah wafat,”jawab laki-laki tadi.

                                                ***

Seseorang datang menemui Bisyr al-Hafi, lalu berkata, “Wahai Abu Nashr, aku hendak berangkat haji. Ini hajiku kesekian kali dan aku ingin meminta nasihat darimu. Nasihatilah aku!”

Bisyr berkata, “Berapa biaya yang kau keluarkan untuk pergi haji?”

“Dua ribu dirham,”jawab laki-laki itu.

Bisyr bertanya lagi,“Apakah kau berhaji karena zuhud, rindu ke Baitullah, atau karena mencari ridho Allah?”

Laki-laki itu menjawab, “Demi Allah, karena mencari ridho Allah.”

Bisyr kemudian berkata, “Apakah engkau berkenan aku tunjukkan sesuatu yang menyebabkan kamu memperoleh ridho Allah, sementara kamu tetap berada di rumah, tinggal bersama keluarga, sanak saudara dan para tetanggamu di kampung?”

“Ya, aku suka,”jawab laki-laki itu.

“Caranya, engkau berikan uang sejumlah biaya haji sunnahmu itu kepada sepuluh orang. Pertama, orang fakir untuk menutupi kefakirannya. Kemudian anak yatim untuk memenuhi kebutuhannya. Lalu orang yang berhutang untuk melunasi hutangnya, dan seterusnya sampai sepuluh orang. Seandainya kau berikan semua uang itu kepada satu orang untuk memenuhi kebutuhannya, tentu lebih utama,” kata Bisyr.

Namun laki-laki itu menolak. “Ya Abu Nashr. Hatiku lebih memilihb untuk melakukan ibadah haji.”

Bisyr pun berkata kepada laki-laki itu,“Sesungguhnya harta, apabila dihasilkan dari usaha yang kotor dan syubhat, pemiliknya tidak akan mau menggunakannya kecuali hanya untuk hal-hal yang diinginkan nafsu dan seleranya.”

                                                          **

Bisyr begitu dekat dengan saudara perempuannya. Ia sangat menyayangi saudara perempuannya itu, begitu pula sebaliknya. Suatu malam, saudara perempuannya itu berpikir, malam itu Bisyr akan datang berkunjung ke rumahnya.

Maka segeralah ia menyapu dan mengepel lantai rumahnya. Kemudian dengan penuh harap menanti kedatangan saudaranya itu. Tiba-tiba Bisyr muncul seperti seorang yang sedang kebingungan.

“Aku akan naik ke atas loteng,” kata Bisyr, lalu bergegas menuju tangga. Tetapi baru beberapa anak tangga yang dilaluinya, dia berhenti. Sepanjang malam itu ia tetap berdiri terpaku di tempat itu. Setelah Shubuh barulah ia turun dan pergi ke masjid untuk shalat.

“Mengapa sepanjang malam tadi engkau berdiri terus di atas tangga?”saudara perempuannya bertanya manakala Bisyr telah kembali dari masjid.

“Sebuah pikiran terbetik di dalam benakku,”jawab Bisyr,”Orang-orang ada yang Yahudi, Kristen, ada yang Majusi. Aku sendiri bernama Bisyr dan sebagai seorang Muslim aku telah mencapai kebahagiaan yang sangat besar. Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri, apakah yang telah kulakukan sehingga aku memperoleh kebahagiaan itu, serta apa yang telah mereka lakukan sehingga mereka tidak memperolehnya? Karena dibuat bingung seperti itulah, aku berdiri terpaku seperti itu.”

**

Sebagai seorang ahli hadits, Bisyr memiliki buku-buku hadits sebanyak tujuh lemari. Buku-buku itu dikuburkannya ke dalam tanah dan tidak diajarkannya kepada siapa pun.

Mengenai sikapnya ini Bisyr menjelaskan : “Aku tidak mau mengajarkan hadits-hadits itu karena aku merasa bahwa di dalam diriku ada hasrat untuk melakukan hal itu. Tetapi seandainya aku mempunyai hasrat berdiam diri, niscaya hadits-hadits itu akan kuajarkan.”

                                                **

Ahmad bin Ibrahim menuturkan : Bisyr berkata kepadaku  “Sampaikan kepada Ma’ruf bahwa aku akan mengunjunginya setelah selesai shalat.”

Pesan itu ku sampaikan kepada Ma’ruf. Kemudian aku dan Ma’ruf menantikan dia. Tetapi setelah kami selesai melakukan shalat Dhuhur, Bisyr belum juga datang. Ketika kami melakukan shalat Ashar, ia belum juga kelihatan. Begitu pula halnya setelah kami salat Isha.

“Maha Besar Allah,” aku berkata dalam hati, “Apakah seorang manusia seperti Bisyr pun masih suka ingkar janji? Sungguh keterlaluan.”

Aku masih mengharap-harap kedatangan Bisyr, waktu itu kami sedang berada di pintu masjid. Tidak lama kemudian tampaklah Bisyr di seberang sungai, mengepit sebuah sajadah berjalan ke arah kami. Bisyr langsung menyeberangi sungai itu, berjalan di atas air untuk menghampiri kami.

Bisyr dan Ma’ruf berbincang-bincang sepanjang malam. Setelah Shubuh barulah Bisyr meninggalkan tempat itu dan seperti ketika datang, sungai itu diseberanginya dengan berjalan di atas permukaannya. Aku meloncat dari loteng, bergegas menyusulnya, dan setelah kucium tangan dan kakinya, aku memohon kepadanya, “Berdoalah untuk ku!”

Bisyr mendoakan diriku. Setelah itu ia berkata : “Jangan katakan segala sesuatu yang telah engkau saksikan kepada siapa pun!”

“Selama Bisyr masih hidup, kejadian itu tak pernah kuceritakan kepada siapa pun.”

                                                **

Suatu hari orang-orang berkumpul, mendengarkan wali sufi Bisyr al-Hafi memberikan ceramah mengenai rasa puas diri. Salah seorang di antara pendengar menyela,”Abu Nashr, engkau tidak mau menerima pemberian orang karena ingin dimuliakan. Jika engkau benar-benar melakukan penyangkalan diri dan memalingkan wajahmu dari dunia ini, maka terimalah sumbangan-sumbangan yang diberikan kepadamu agar engkau tidak lagi dipandang sebagai orang yang mulia. Kemudian secara sembunyi-sembunyi  berikanlah semua itu kepada orang-orang miskin. Setelah itu jangan engkau goyah dalam kepasrahan kepada Allah, dan terimalah nafkahmu dari alam ghaib.”

Murid-murid Bisyr sangat terkesan mendengar kata-kata ini.

Bisyr memperhatikan orang yang berbicara tersebut, lalu berkata,“Camkan oleh kalian! Orang-orang miskin terbagi atas tiga golongan. Golongan pertama adalah orang-orang miskin yang tak pernah meminta-minta dan apabila kepada mereka diberikan sesuatu mereka menolaknya. Orang-orang seperti ini adalah para spiritualis.”

“Seandainya orang-orang seperti ini meminta kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan segala permintaan mereka. Golongan kedua adalah orang-orang miskin yang tak pernah meminta-minta, tetapi apabila kepada mereka diberikan sesuatu, mereka masih mau menerimanya. Mereka itu berada di tengah-tengah. Mereka adalah manusia-manusia yang teguh dalam kepasrahan kepada Allah, dan mereka inilah yang akan dijamu Allah di dalam surga.”

“Golongan ke tiga adalah orang-orang miskin yang duduk dengan sabar menanti pemberian orang sesuai dengan kesanggupan, tetapi mereka menolak godaan-godaan hawa nafsu.”

“Aku puas dengan keteranganmu ini,” kata orang yang menyela tadi. “Semoga Allah puas pula denganmu.” [  ]

Dari “Tadzkiratul Auliya” Fariduddin al-Aththar; Al-Shafdi, al-Wafi bi al-Wafayat, al-Maktabah as-Syamilah; Abu Abdurrahman al-Sulami, “Thabaqat as-Shufiyah”

Back to top button