Cerita Pendek : Penyair yang Memaki Dirinya Sendiri
“Carut-marut suasana sosial-politik negeri kita saat ini, amat membutuhkan sentuhan tangan para penyair. Puisi-puisi mereka harus mampu ditabur dan ditebar ke tengah kehidupan sehari-hari masyarakat yang kehilangan acuan dan figur panutan. Karya aplikatif para penyair yang belum terkontaminasi lagak-lagu para politikus hipokrit dan birokrat korup, pasti dapat menjadi obat penawar yang mujarab. Tinggal mencari cara tepat dan praktis.”
Oleh : Usep Romli H.M.
Jika tidak karena Mama Ajengan Ohan, sangat menghormati orang itu, mungkin kami para santri Pesantren Budaya “Raksa Sarakan” akan mengacuhkan orang yang kami namai Pak Majnun itu.
“Ia kakak kelas Mama waktu ngaji di sebuah pesantren terkenal di Banten. Ia sudah hafal “Alfiyah” di luar kepala. Sedangkan Mama dan beberapa kawan, masih mengeja “Jurumiyah” dan “Imriti”. Ia sudah pandai baca Quran dengan irama-irama “qira’atussab’ah”.
“Tapi, Mama, mengapa ia…begitu ?”salah seorang dari kami bertanya. Kawan tersebut pasti tak punya pembendaharaan kata lain, selain gila. Tapi tak berani menyebutkannya.
“Ya, iya nyentrik, “Mama Ajengan seolah mengoreksi, dengan kosa kata baru. “Bahkan cenderung gila, begitu? Mama hanya menduga-duga sebabnya. Sebelum tamat mesantren di Banten, ia pergi entah ke mana. Konon menjadi santri pengembara. Ngaji di tiap pesantren yang terlewatinya selama perjalanan ke Jawa Tengah atau Jawa Timur. Tapi ada kabar juga, ia bergaul dengan para seniman-budayawan di Jakarta, bersama Ajip Rosidi dan kawan-kawan, di Pasar Senen. Memang, ia penyair. Telah banyak sajak-sajaknya dimuat di berbagai majalah terbitan tahun 1950-an.”
Kami berdecak kagum. Ternyata Pak Majnun lebih hebat dari kami-kami, penyair pesantren yang baru mampu memuatkan sajak di koran dinding. Atau di koran lokal setelah lama mengendap di laci redaksinya.
“Kawan gaul Ajip Rosidi ?”tanya seorang.
“Ya begitulah. Mungkin tidak seproduktif dan semasyhur Kang Ajip. Tapi lumayan juga. Kan kawan-kawan Kang Ajip sesama seniman Senen, tidak semua sukses seperti Kang Ajip. Mungkin kalian kenal nama-nama Misbahc Yusa Biran, S.M. Ardan, Sukanto SA, dan lain-lain. Mereka beralih ke profesi lain. Tidak terus mengarang seperti Kang Ajip. Kawan Mama masih mendingan. Dalam beberapa hari terakhir, ia rajin menulis di kamarnya.”
Mama Ajengan Burhan menyediakan kamar khusus untuk Pak Majnun menginap dan tinggal seminggu dua minggu di pesantren. Sebuah ruangan agak luas di lantai bawah pondok. Dilengkapi tempat tidur, meja tulis dan kamar mandi. Maklum bekas ruang tamu. Sekarang ruang tamu pindah ke samping rumah Mama Ajengan.
Jarang kami berkesempatan ngobrol dengan Pak Majnun, karena ia hanya keluar waktu salat berjamaah saja. Lalu menutup diri di kamarnya, Padahal kami ingin sekali mendapat informasi tentang dunia sastra tahun 1950-an dan 1960-an dari pelakunya. Bukan lewat Mama Ajengan yang hanya sepintas-sepintas.
Baru ketika kami menyelenggarakan acara Maulid Nabi Saw dengan diisi pesta puisi, Pak Majnun datang ke ruangan panitia. Ia nampak sumringah. Bertanya tentang berbagai hal kehidupan puisi masa kini.
“Terakhir kali, Abah baca puisi karya-karya Emha Ainun Najib, Yudistira Adi Nugraha, Korie Layun Lampan, Agus Sarjono, Soni Farid Maulana. Masih menuliskah mereka sekarang?” katanya.
“Sudah jarang,”jawab salah seorang.
“Sayang, masih muda-muda mereka,”tampak kemurungan di wajahnya. Dan kami semua terkejut, betapa Pak Majnun-–yang kata Mama Ajengan, bernama Hidayat Syarif Muhammad-– masih rajin membaca publikasi puisi. Nama-nama yang disebutkan tadi, tentu 15-30 tahun jauh lebih muda dari generasinya dulu. Ajip Rosidi saja sekarang sudah berusia 80-tahunan.
Pada malam pesta puisi, Pak Majnun diberi waktu untuk membacakan puisi karyanya atau karya orang lain. Tapi ia menolak.
“Abah tak bisa baca puisi. Suara Abah jelek. Diksi dan intonasi Abah juga acak-acakan. Sejak zaman deklamasi dulu, Abah hanya menjadi penikmat saja…”ia mendesah.
Sudah beberapa hari Pak Majnun tak kelihatan. Bukan hal aneh. Ia datang dan pergi seenaknya saja.Tapi pagi itu, Mama Ajengan datang ke ruang pondok kami di lantai dua.
“Nih amanat dari kawan Mama. Ia meminta kalian membacanya baik-baik, “ Mama Ajengan mengangsurkan sebuah map berisi kertas betuliskan tangan.
Kami hampir berebutan menerimanya. Tapi sepakat akan membacanya bergantian.
Tulisan itu diawali sebuah pertanyaan menyentak :
“ Apa kerja nyata kalian sebagai penyair ? Hanya bersunyi-sunyi merangkai bait-bait puisi? Kemudian keluyuran dari satu tempat ke tempat lain, tanpa pernah mengerjakan apa-apa seperti apa yang mereka katakan? Meminjam pernyataan Quran S.26:224-225, mereka dikategorikan sesat dan menyesatkan !”
“Padahal para penyair terdahulu, di samping tekun beribadah mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallahi), juga menceburkan diri dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kata pepatah Arab “kal ruhbanun fil laili, wa kal fursanun fin nahari” (malam bagai rahib yang tekun bribadat, siang bagai pahlawan penunggang kuda yang aktif membina masyarakat). Jauh berbeda dengan penyair sekarang.”
“Beberapa literatur tentang kehidupan para sufi klasik masa lampau, baik di kalangan Muslim, Nasrani, maupun Yahudi, menunjukkan hal itu. Mereka tidak hanya berdendang syair. Melainkan membuktikan segala gagasan yang terkandung dalam syair itu, untuk kebaikan dan kebajikan dirinya dan orang lain di sekitarnya. Inilah wujud dari penyair sejati. Sebagaimana dinyatakan Q.s.26:227, yaitu penyair yang beriman dan beramal soleh dan selalu mengingat Allah, serta bangkit melawan kedzaliman. Sebagai “muqarrabin” (orang yang mendekatkan diri kepada Allah SWT), mustahil mereka hanya berkata-kata saja, tanpa mengerjakan apa yang mereka katakan (yaquluna ma la yaf’alun), yang akan mengundang murka besar Allah (Q.s. 61:2-3).
“Mereka menyingsingkan lengan baju untuk terjun langsung memberantas kemiskinan, kebodohan, kelaparan. Mereka mengacungkan tinju tanda protes atas kedzaliman para raja dan sultan. Mengeluarkan kritik keras melalui ucapan dan tulisan. Mereka masuk ke istana-istana, majelis permusyawaratan, pasar, universitas, untuk menyampaikan nilai-nilai haq. Amar ma’ruf nahyi munkar. Memberi kontribusi nyata dan langsung di lapangan. Bukan hanya merangkai kata-kata belaka.Jalaluddin Rumi (abad 14), mengabdikan hidup dengan rangkaian amal saleh.”
“Suatu saat ia menyantuni seorang pengemis Nasrani yang terlantar di jalan raya Konstantinopel. Di saat lain memberi pencerahan jiwa raga di desa-desa Anatolia. Muhyidin Ibnu Arabi (abad 12), yang digelari “Raja Penyair Sufi Arab Andalusia”, di samping menulis gagasan-gagasan sufistik yang rumit ( “Futuhatul Makkiyah”, “Futuhatul Rahbaniyyah”) setiap hari meluangkan waktu mendampingi para Sultan memecahkan problem pemerintahan yang sulit-sulit. Membela para terdakwa di mahkamah pengadilan dengan membebaskan mereka dari tuduhan, atau memperingan hukuman dan memonitor agar tidak terjadi salah tangkap atau salah vonis.”
“Di luar para penyair sufi Muslim, para penyair sufi Yahudi dan Nasranipun, menjalankan prinsip hidup yang sama : berkata, dan mengerjakan apa yang dikatakan itu. Mereka berupaya menjauhkan diri dari stigma “para penyair diikuti orang-orang sesat”. Solomon ben Gabirol (1021-1969), Moses ben Ezra (1080-1139), Yudah ha Levi (1086-1145), tiga penyair Yahudi Andalusia terbesar Abad Pertengahan, tiap pagi berjalan dari sinagoga, menuju ladang-ladang pertanian. Ikut meneteskan keringat bersama para petani Yahudi yang sedang menikmati abad keemasan di bawah naungan pemerintahan umat Islam masa itu. Karya-karya puisi mereka, selain menjadi lirik-lirik serenada keagamaan, juga menjadi inspirasi bagi kelahiran “Sastra Utopia” di kalangan para sastrawan Zionis abad 19, yang kelak mendorong terwujudnya negara Israel di Palestina.”
“Penulis Ibrani, Elhanan Leib Levinsky, mengaku “berdialog” dengan puisi “Ode to Zion” karya Yudah ha Levi ketika menggarap buku “Massa le–Eres Yisraelbi-Shenat Tat” (Perjalanan ke Israel Raya Th.5800/2040 M), sambil membayangkan Yudah ha Levi, ketika berziarah ke Jerusalem, tertabrak kuda hingga mati di dekat Bukit Moriah. Buku yang terbit tahun 1893 itu, kemudian menjadi sumber spirit para pionir imigran Zionis (Aliyya) yang mendirikan “kibutzim” (kompleks pertanian terpadu) di Palestina. Hingga sekarang,”kibutz” menjadi pusat pembinaan sumber daya manusia Israel, karena di situ berkumpul para ilmuwan dan sastrawan pemenang Nobel, para birokrat, jendral, ideolog dan politikus. Bersama para petani, mereka ikut berkubang lumpur, mengolah tanah penghasil produk-produk pertanian berkualitas eskpor, seperti zaitun, apricot, jeruk, sayur-sayuran, dan bibit tanaman varietas baru, ke seluruh dunia.”
“Demikian pula di kalangan sufi Nasrani. Nama-nama Tertulian (abad 1 M), yang menulis puisi kesaksian seorang berjiwa Kristen, St.Agustine (abad 4 M), penulis “Confessions”, St.Francis of Assisi (1182-1226), penulis “Little Flowers”, Kardinal John Herry Newman (1801-1890), penulis “Apologia Pro Vita Sua”, dlsb. tidak hanya merenung di keremangan biara-biara. Tapi terjun ke tengah percaturan dunia nyata. Dunia terang benderang. Menabur kasih dan kebijakan dengan kata-kata yang dimengerti orang banyak, sementara karya-karya puisinya menjadi kajian para intelektual, praktisi politik, pejabat pemerintahan, dll., untuk dijadikan acuan moral dan santapan batin dari zaman ke zaman.”
“Carut-marut suasana sosial-politik negeri kita saat ini, amat membutuhkan sentuhan tangan para penyair. Puisi-puisi mereka harus mampu ditabur dan ditebar ke tengah kehidupan sehari-hari masyarakat yang kehilangan acuan dan figur panutan. Karya aplikatif para penyair yang belum terkontaminasi lagak-lagu para politikus hipokrit dan birokrat korup, pasti dapat menjadi obat penawar yang mujarab. Tinggal mencari cara tepat dan praktis.”
Tulisan itu di akhiri kata-kata pedas yang ditujukan kepada diri sendiri.
“Terkutuklah aku yang sudah menjadi penyair sejak muda, tapi tak berdaya apa-apa hingga tua. Bagaimana aku mempertanggungjawabkannya di Hari Perhitungan kelak?” [ ]