Dielus Malakal Maut di Tanjung Lesung
Kami baru sadar, saya dan Yanti diselamatkan Tuhan. Diutus-Nya nyamuk-nyamuk nakal itu, untuk mengusir kami dari lokasi sebelum terjadi bencana. Tempat makan dan panggung di bibir pantai itu sudah hancur berantakan, tersapu gelombang dahsyat tsunami.
JERNIH—Siang, 22 Desember 2018, kami mengayuh sepeda menyusur jalan sepanjang pantai, dari Labuan menuju Tanjung Lesung.
Sehari sebelumnya, kami sampai di Labuan setelah berangkat dari Serang dan melewati Pandeglang. Total jarak tempuh Serang-Pandeglang-Labuan-Tanjung Lesung hampir 100 km.
Saat perjalanan menuju Tanjung Lesung, suasana seperti biasa. Angin laut bertiup cukup kencang, sehingga cukup menahan laju sepeda. Memandang langit ke arah Tanjung Lesung, nampak gumpalan awan kelabu dengan bentuk yang tak seperti biasa.
Beberapa kali terdengar dari kejauhan suara dentuman dan gemuruh seperti petir. Mengira itu pertanda akan hujan, kami berusaha mempercepat laju sepeda. Jalan raya mulus membantu sepeda kami melaju lebih kencang.
Sore hari menjelang maghrib, sampailah kami di kawasan wisata pantai Tanjung Lesung. Debur ombak dan angin laut menghiasi pantai. Suasana ramai dan meriah oleh pengunjung yang berlibur panjang akhir tahun.
Tak jauh dari bibir pantai ada tempat makan, dan sebuah panggung musik berdiri membelakangi laut. Akan ada hiburan malam itu rupanya.
Sejenak kami bergantian berpose di samping tulisan penanda kawasan, “BEACH CLUB TANJUNG LESUNG”. Untuk kenang-kenangan perjalanan bahwa kami sudah pernah tiba di sini.
Tanpa ba-bu, nyamuk-nyamuk tiba-tiba menyerbu. Mereka menggigiti, menusuk menembus baju dan celana kami. Nampaknya bau keringat kami menggairahkan semangat para penghisap darah itu untuk menyerang membabi buta.
Keinginan Yanti—istri saya– pun batal untuk makan malam merayakan ulang tahun saya di tempat makan di pantai itu. Buru-buru kami pergi keluar dari kawasan wisata Pantai Tanjung Lesung dan mencari tempat makan lain.
Usai makan malam, kami kembali ke penginapan di dekat gerbang masuk Tanjung Lesung untuk beristirahat. Malam itu, hanya kami yang ada di penginapan ini. Menurut pengelolanya, kamar-kamar sudah dipesan jauh hari dan pemesannya sedang dalam perjalanan.
**
“Pak! Pak! Air laut naik! Air laut naik! Mengungsi dulu!!”
Sekitar pukul sembilan malam lebih, tiba-tiba penjaga penginapan mengetok kasar pintu kamar kami sambil berteriak.
Sontak saya memasukkan laptop dan handphone ke dalam ransel. Yanti pun buru-buru berkemas. Kami belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Yang ada hanyalah insting untuk segera pergi dari situ.
Keluar dari kamar, kami tergopoh-gopoh sambil mendorong sepeda menuju gerbang penginapan. Maklum sepeda yang kami pakai salah satunya adalah pinjaman teman. Yang terpikir hanyalah menyelamatkan sepeda pinjaman itu. Sementara itu si penjaga sudah lenyap entah kemana larinya.
Ketika akan membuka pintu gerbang, ternyata rantai melilit gerbang dan digembok! Kami panik. Bagaimana bisa keluar dari sini? Mengapa pula gerbang ini harus digembok?
Di depan gerbang itu, kami masih bingung bagaimana mau keluar. Saya menerangi rantai yang mengalung ke gerbang dan gembok dengan lampu sepeda. Akan saya coba mencari cara untuk melepasnya.
Alhamdulillah, ketemu caranya, akhirnya.
Saat diperiksa, ternyata ada bagian mata rantai yang hanya sekadar mengait, bisa dilepaskan dengan mudah. Sungguh lega rasanya. Buru-buru saya lepaskan, dan terbukalah gerbang penginapan.
Sekarang waktunya menyelamatkan diri! Saat itu kami belum tahu harus kemana mencari tempat selamat. Yang penting, harus mencari tempat yang lebih tinggi.
Dari gerbang Tanjung Lesung, mobil-mobil melesat keluar dengan kecepatan tinggi panik. Tak sedikit pengunjung berlarian keluar, berteriak-teriak meminta tumpangan pada mobil yang lewat. Suasana panik menguasai langit.
Setelah beberapa saat kami berlari menyusur jalan aspal, penduduk setempat memberitahu kami untuk masuk ke jalan kampung. Katanya jalan kampung tersebut mengarah ke tempat yang lebih tinggi dari jalan.
Tanpa pikir panjang, kami berdua berbelok dan memasuki jalan kampung berbatu yang kurang penerangan. Setelah sampai di kampung yang cukup tinggi, kami bertemu dengan sekelompok mahasiswa yang sedang berlibur di Pantai Cibiuk. Pantai ini terletak di dekat gerbang Tanjung Lesung.
Dari cerita mereka, kejadiannya seperti tsunami, karena mereka mendengar suara gemuruh seperti suara pesawat dan melihat garis putih gelombang yang mendekat ke pantai.
Tsunami?
Saat menunggu, saya berusaha mencari informasi melalui internet. Saat itu sinyal handphone masih ada. Berita resmi terakhir adalah peringatan dini BMKG tentang gelombang tinggi akibat bulan purnama. Penambahan tingginya pun hanya puluhan centimeter. Tak ada info apa pun tentang tsunami.
Saat itu, ketidakpastian dan kebingungan akan apa yang terjadi menggantung di atas kami.
Tak berapa lama, datang sepeda motor penduduk, dinaiki tiga orang. Penumpang yang di tengah terlihat tak berbaju. Terlihat Lemas, dengan darah segar masih mengucur dari luka di kaki. Ia langsung dibawa masuk ke rumah salah satu penduduk untuk dirawat. Hanya cerita sekelebatan tak jelas yang saya dengar tentang kejadian yang menimpanya.
Tsunami?
Beberapa mahasiswa memberanikan diri turun kembali ke penginapan. Mereka berusaha menyelamatkan barang-barang berharga yang mereka miliki, di penginapan. Sekilas, mereka menceritakan bahwa sebagian bangunan penginapan mereka di pantai Cibiuk sudah rusak dilanda gelombang laut.
Menjelang tengah malam, rasa kantuk mulai menggayut. Kami mulai berpikir untuk turun kembali ke penginapan. Sebagian pengungsi menyarankan tetap tinggal dan tidur di teras rumah penduduk saja dulu. Namun kami memutuskan turun kembali ke penginapan. Saat itu waktu menjelang pukul satu dini hari.
Mendekati penginapan, suasana yang tampak mengagetkan kami. Di depan jajaran emperan toko, orang-orang hilir mudik. Semakin mendekat, semakin kami kaget.
Belasan orang dengan baju basah menggeletak, berbaring, duduk, terkulai dengan tatapan mata kosong dan nanar. Beberapa di antaranya tampak terluka berdarah, ada yang memar, ada yang patah kaki.
Ada satu keluarga yang duduk berkumpul di emperan. Kedua anak laki-lakinya menggigil kedinginan karena bajunya basah kuyup. Sementara itu ibunya menangis mencari-cari anak bungsunya yang hilang. Sang bapak tampak diam kebingungan, meski sesekali berusaha menenangkan istrinya.
Mereka ternyata adalah para pengunjung yang menginap di Tanjung Lesung. Di emperan lain, beberapa orang tertunduk diam dalam keadaan basah kuyup.
Apa yang terjadi? Mengapa banyak orang terluka? Mungkinkah gelombang naik akibat purnama bisa mengakibatkan dampak begitu parah?
Tak menunggu lama, Yanti langsung berusaha membantu sebisanya. Ia pinjamkan handphone pada para korban agar mereka bisa menghubungi sanak keluarga. Ia juga berusaha mengabarkan keadaan ini ke dunia luar untuk minta pertolongan, melalui live video di Facebook saat itu juga.
Sementara itu penduduk setempat berusaha menuju ke pantai untuk mengevakuasi orang-orang di Tanjung Lesung. Ada yang bermotor, ada pula yang membawa mobil.
Seorang petugas PMI Pandeglang, Kang Agus Keling, sudah berada di sana dan berusaha mengkoordinasikan proses bantuan penyelamatan. Beberapa kali tampak mobil keluar dari Tanjung Lesung membawa korban, ada yang meninggal, ada yang luka-luka.
Hujan deras yang kemudian turun membuat suasana semakin sulit dan mencekam.
Anak-anak yang menggigil kedinginan saya ganti bajunya dengan baju dan sarung saya yang masih kering, sambil memberinya air hangat yang saya ambil dari dispenser penginapan. Dengan perlengkapan P3K seadanya, saya mencoba membantu mengobati mereka yang luka-luka dan berdarah.
Di belakang hari, saya mendapat cerita heroik dari para penolong korban. Sepuluh orang dari tim pelaksana proyek PUPR di Desa Cikadu, tak jauh dari Tanjung Lesung, langsung turun masuk ke wilayah bencana begitu mendapat kabar. Tak peduli dengan malam gelap, hujan deras, mereka berusaha menolong korban-korban di Tanjung Lesung.
Yang mampu berenang, dengan mengenakan life-jacket, berusaha menyelamatkan orang-orang yang terseret ombak dan berteriak-teriak minta tolong di lautan dalam kegelapan. Seorang anak yang tersangkut di karang tengah laut dapat diselamatkan setelah berenang kurang lebih 500 meter bolak-balik.
Yang terluka dan patah tulang langsung dilarikan dengan mobil proyek ke Puskesmas terdekat. Yang selamat diturunkan di dekat penginapan kami. Tak kenal lelah dan takut mereka berusaha menyelamatkan korban.
Mengapa mereka begitu berani mempertaruhkan keselamatan sendiri untuk menolong korban? Padahal mereka sendiri tak cukup punya keahlian dalam mencari dan menyelamatkan orang.
Jawaban sang kepala tim sangatlah sederhana, namun begitu menyentuh hati. “Cukup menjadi manusia untuk mau menolong orang lain….”
Sungguh, inilah salah satu pelajaran kehidupan yang tak akan terlupakan dari perjalanan ini. Kemanusiaan sudahlah cukup menjadi alasan untuk menolong sesama.
Pelajaran lain, dalam setiap bencana, Tuhan-lah yang memilih dan menetapkan siapa yang selamat dan siapa yang dipanggil-Nya. Hanya pasrah dan tawakal sajalah manusia upayanya.
Kami baru sadar, saya dan Yanti diselamatkan Tuhan. Diutus-Nya nyamuk-nyamuk nakal itu, untuk mengusir kami dari lokasi sebelum terjadi bencana. Tempat makan dan panggung di bibir pantai itu sudah hancur berantakan, tersapu gelombang dahsyat tsunami.
Dan dalam kejadian ini, Tuhan memilih kami menjadi sebagian orang yang tetap selamat. Mungkin Ia masih memberikan kami kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri. Wallahu’alam… [Mursid Widjanarko]