Dubes Ukraina: Perjuangan Budaya Chairil Anwar Sejalan dengan Perjuangan Ukraina Lawan Dominasi Budaya Rusia
Perjuangan Chairil itu kongruen dengan perjuangan budaya dan peradaban yang dilakukan Ukraina melawan dominasi Rusia. Perjuangan melalui sastra bagi rakyat Ukraina melawan penindasan Rusia sangatlah panjang. Dimulai sejak tahun 1720 ketika Tsar Peter I mengeluarkan dekrit yang melarang penerbitan dalam bahasa Ukraina. Peter yang terkenal karena gemar memajaki rakyatnya dengan segala jenis pajak, termasuk pajak jenggot, itu memerintahkan untuk menyita semua buku gereja Ukraina.
JERNIH– Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, di depan civitas akademika Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Indonesia (UII) mengingatkan peran besar penyair Chairil Anwar dalam perjuangan Indonesia.
“Mengapa Chairil Anwar? Chairil Anwar adalah pemuda yang memberikan peran luar biasa bagi perjuangan Indonesia. Bagi semangat kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya adalah sesuatu yang luar biasa,”ujar Dubes Vasyl kepada peserta Ambassadorial Lecture bertajuk “The Ukrainian Questions in Global Politics” di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir, Kampus Terpadu UII, Kaliurang, Senin (18/7) lalu.
Tidak banyak disadari peserta tahun ini adalah perayaan 100 tahun Chairil Anwar. Sastrawan kelahiran 26 Juli 1922 itu dikenal sebagai ‘Si Binatang Jalang’, dari beragam kumpulan puisinya, antara lain, “Deru Campur Debu”, “Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus”. Dari tangannya banyak syair telah terlahir dan membuat sastra di Indonesia menjadi berkembang.
Selain itu, peran Chairil Anwar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah menjadi pelopor Angkatan 45 sebagai perlawanan terhadap kooptasi budaya yang dilakukan penjajah Jepang yang membentuk Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso.
Perjuangan Chairil itu kongruen dengan perjuangan budaya dan peradaban yang dilakukan Ukraina melawan dominasi Rusia. Perjuangan melalui sastra bagi rakyat Ukraina melawan penindasan Rusia sangatlah panjang. Dimulai sejak tahun 1720 ketika Tsar Peter I mengeluarkan dekrit yang melarang penerbitan dalam bahasa Ukraina. Peter yang terkenal karena gemar memajaki rakyatnya dengan segala jenis pajak, termasuk pajak jenggot, itu memerintahkan untuk menyita semua buku gereja Ukraina.
Tekanan terhadap Bahasa semakin keras di tahun 1847 ketika karya-karya sastra Ukraina seperti Shevchenko, Kostomarov, Kulish, dan sebagainya, dilarang oleh Rusia, pembantaian budayawan Ukraina tahun 1930-an. Puncaknya ketika Konferensi Tashkent tahun 1979 memutuskan bahasa Rusia adalah bahasa seluruh wilayah Uni Soviet.
Dalam sambutannya, Rektor UII, Prof. Fathul Wahid menyebutkan bahwa sejalan dengan pemerintah, UII selalu berkomitmen untuk menjalankan amanat konstitusi UUD 1945 untuk mewujudkan perdamaian dunia.
“UII juga bersimpati atas krisis kemanusiaan yang muncul di Ukraina sebagai konsekuensi dari adanya perang yang berkelanjutan. Rektor UII juga menyatakan bahwa dunia harus mengecam segala bentuk agresi yang mengancam kemanusiaan dan perdamaian dunia,” kata Rektor UII, tegas.
Hubungan diplomatik Indonesia dan Ukraina telah terjalin sejak tahun 1992 di mana kedua negara telah melakukan kerja sama yang baik dalam bidang ekonomi. Namun, kondisi krisis kemanusiaan yang terjadi akhir-akhir ini memunculkan kekhawatiran. Bukan hanya karena hal tersebut menggoyahkan stabilitas Ukraina, namun juga berdampak signifikan pada stabilitas global.
Sedikitnya 400 orang peserta yang berasal dari kalangan sivitas akademika UII serta masyarakat umum mengikuti kegiatan yang diharapkan dapat membuat para peserta yang hadir lebih memahami mengenai permasalahan Ukraina secara objektif dan berimbang.
Kegiatan ini menjadi penting karena sejak Perang Rusia-Ukraina bermula pada Februari 2022, belum nampak pertanda bahwa konflik bersenjata di antara kedua negara tersebut akan berakhir. Ada beberapa argumen mengapa perang Rusia-Ukraina belum akan berakhir dalam waktu dekat.
Argumen pertama menyatakan bahwa perang ini akan terus berlanjut karena adanya keterlibatan aktor seperti Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang berperan secara aktif dalam menahan gempuran Rusia di Ukraina.
Argumen lainnya menyatakan pula bahwa perang tidak bisa berakhir karena adanya visi geopolitik Rusia yang hendakmembangun Pax Rosica, istilah historiografis untuk menyebut masa-masa damai ala Rusia di kawasan Eropa. [rls]