POTPOURRI

Geger Pecinan, Perang Besar Etnis Tionghoa Melawan Kompeni di Tanah Jawa

Pada 9-22 Okotober 1740 Kota Batavia dilanda hur-hara. VOC membakar rumah orang-orang Tionghoa. Diperkirakan 10.000 orang etnis “Kulit Kuning” ini dibantai.

Jernih — Sentimen etnis seringkali menjadi amunisi para politisi demi memuluskan jalannya duduk di kursi kekuasaan. Perhelatan pesta demokrasi, khususnya di daerah dengan komposisi penduduk yang heterogen, yang seyogianya jadi momentum pendewasaan merajut toleransi, acap kali dinodai oleh isu-isu sentimen etnis.

Salah satu etnis yang sering dipojokan dan jadi kambing hitam adalah etnis Tinghoa. Padahal, sejarah mencatat etnis asal Negeri Tirai Bambu ini merupakan bagian dari gerakan perlawan terhadap penjajah di Bumi Nusantara.

Perang Geger Pecinan (1740-1743) yang digelorakan oleh etnis Tionghoa disebut-sebut sebagai perlawanan terhadap kumpeni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) terbesar sepanjang sejarahnya di Nusantara.

Artikel Terkait : R.A. Tan Peng Nio, Prajurit Perempuan Tionghoa yang Bertempur Melawan VOC

Perang ini dipantik oleh represi VOC kepada etnis Tionghoa di Batavia dan anjloknya harga gula di pasar global saat itu. Terlalu melimpahnya ekspor gula dari Hindia Belanda ke pasar Eropa menyebabkan harga gula turun.

Warga Tionghoa yang bekerja sebagai buruh pabrik gula resah karena penghasilan mereka terdampak. Di sisi lain, pajak yang tinggi menjadi beban mereka.

Kondisi ini diperburuk oleh kongkaligkong VOC dengan para Tionghoa kaya pemilik pabrik gula dan kebijakan yang menyatakan bahwa orang Tionghoa yang tak memiliki pekerjaan akan dijadikan budak di Sri Langka.

Para buruh pabrik gula itu melakukan perlawanan. Mereka mempersenjatai diri dengan senjata yang dibuatnya sendiri. 7 Oktober 1740, di bawah pimpinan Kapitan Ni Hoe Kong, mereka menghabisi 50 pasukan Belanda di Jatinegara dan Tanah Abang (sumber lain menyebut, pihak Belanda yang menyerang terlebih dulu). Kapitan adalah istilah untuk menyebut pemimpin kelompok masyarakat Tionghoa yang ditunjuk VOC.

Peristiwa ini memicu kemarahan pihak Belanda. Mereka mengerahkan lebih dari seribu pasukan untuk merespon kejadian ini. Moncong meriam diarahkan ke rumah warga Tionghoa di Batavia.

Pembantaian ini diperburuk oleh desas-desus mengenai kekejaman entis Tionghoa yang berhembus di kalangan etnis lain. Mereka lantas turut serta membunuh warga Tionghoa dan menghancurkan berbagai properti milik mereka.

Kekerasan di dalam kota Batavia terjadi dalam kurun waktu 9-22 Okotober 1740. Sumber lain menyebut tanggal 9-10 Oktober 1740 VOC membakar rumah orang-orang Tionghoa di daerah yang kini dikenal dengan nama Kota Tua.

Diperkirakan 10.000 orang etnis “Kulit Kuning” ini dibantai. Beberapa nama tempat di Jakarta kini bahkan disebut-sebut terkait dengan peristiwa berdarah ini.

Nama Rawa Bangke (bangke=bangkai) di daerah Jatinegara, Jakarta Timur, diduga berasal dari peristiwa pembuangan mayat orang-orang Tionghoa di daerah tersebut. Kini, Rawa Bangke yang dianggap berkonotasi negatif telah berganti nama menjadi Rawa Bunga.

Daerah Tanah Abang juga dikaitkan dengan banyaknya darah warga Tionghoa yang tumpah membanjiri tanah di sana. Abang dalam arti ini bermakna merah.   

Bersekutu Dengan Mataram

Sebagian orang-orang Tionghoa yang selamat melarikan diri ke berbagai daerah, di antaranya ke daerah yang kini termasuk wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Buku Geger Pacinan 1740-1743 Persekutuan Jawa-Tinghoa Melawan VOC karya seorang sejarahwan dari Pura Mangkunegara, KRMH Daradjadi Gondodiprojo, menulis bahwa diaspora etnis Tionghoa yang dipimpin Kapitan Khe Padjang (Sepanjang) selanjutnya menjalin kerjasama dengan pihak Kesultanan Mataram Islam yang kala itu dipimpin oleh Sunan Pakubuwono II.

Asal-usul Kapitan Sepanjang tidak diketahui secara pasti. Beberapa sumber menyebut nama aslinya Singkeh Souw Pan Chaing yang oleh “lidah Jawa” berubah menjadi Se-pan-jang.

Dibawah pimpinan Raden Mas Garendi (Amangkurat V), Pangeran Samber Nyawa (Mangkunegaran I), dan Kapitan Sepanjang, persekutuan Tionghoa-Jawa ini menjadi ancaman yang membuat VOC kalang kabut.

5 Agustus 1741, pasukan ini membombardir benteng VOC di Kartasura. Momentum ini sekaligus menandai Perang Geger Pecinan atau disebut juga Perang Kuning secara terbuka antara Mataram-Tionghoa melawan VOC.

Setelah penyerangan tersebut, berbagai perang meletus di hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. VOC kewalahan sampai akhirnya meminta bantuan Pangeran Cakraningrat IV dari Madura. Ia setuju membantu dengan syarat VOC akan membantunya lepas dari cengkraman Mataram.

Perang berkepanjangan ini menggunakan banyak strategi. Selain bergeriliya di hutan-hutan, salah satu taktik yang dilakukan oleh Laskar Tionghoa adalah memancing pasukan kumpeni untuk bertarung jarak dekat.

Selain menghemat peluru, kemampuan orang-orang Tionghoa bertarung jarak dekat menggunakan seni bela diri Kung Fu menjadi poin plus dalam strategi ini.

“Mereka bertarung dengan sengit dan menimbulkan banyak korban. Laskar Tionghoa mengandalkan Kung Fu dan silat, sementara tentara Mataram mengandalkan kuda dan pedang [kavaleri],” kata sejarahwan Tionghoa asal Semarang, Tjong Ki Thio.

Mereka juga melakukan teror mental kepada pasukan VOC. Laskar Jawa-Tionghoa kerap kali menyusup ke markas musuh dan memenggal kepala serdadu-serdadu VOC. Hal ini menjadikan pasukan VOC ngeri dan ciut nyalinya.

Sayangnya, perlawanan ini dikhianati oleh pimpinan mereka sendiri, Pakubuwonno II. Laskar Tionghoa yang telah mengucap sumpah setia pada Mataram merasa sangat kecewa sebab Pakubuwono II berbalik mendukung VOC dan meminta perang dihentikan.

Titah ini banyak ditentang oleh petinggi Mataram termasuk oleh Laskar Tionghoa sendiri. Mereka terus bertempur melawan VOC dan bahkan balik menyerang Pakubuwono II. Keraton Kartasura berubah jadi arena pertempuran antar anak bangsa.

Sebagai simbol perlawanan pada Pakubowono II, pasukan Jawa-Tionghoa mengangkat Raden Mas Garendi sebagai Sunan Kartasura (Sutan Mataram) bergelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrohman Sayidin Panotagomo pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati.

Juni 1742, pasukan Amangkurat V berhasil masuk ke Kartasura. Keraton Kartasura jatuh tangan pasukan Jawa-Tionghoa. Pakubunwono II dan VOC terdesak. Mereka lari ke Magetan lalu ke Ponorogo dan menyusun kekuatan di sana.

Nama lain yang dinisbatkan pada Raden Mas Garendi adalah Sunan Kuning. Istilah Kuning diduga berasal dari bahasa Tionghoa cun ling yang artinya bangsawan tertinggi.

Ada pula yang menyebut istilah itu karena ia memiliki pasukan “Kulit Kuning” dan dianggap sebagai raja Jawa dan (orang) Tionghoa. Pendapat lain mengatakan ia bergelar Seon Ang Ing yang berasal dari pelafalan orang Tionghoa untuk Sun-an (Kun)-ing.

Meski telah bertahta di Kartasura, namun justru perang ini makin berkecamuk. Amangkurat V harus menghadapi serangan dari koalisi VOC, Cakraningrat IV, dan Pakunowono II. 20 Desember 1742, Pakubuwono II berhasil duduk kembali di singgasana Kesultanan Mataram.

“Kondisi mereka makin lemah karena sejumlah pemimpin perjuangan tewas dalam pertempuran,” terang Tjong Ki Thio menjelaskan situasi pasukan Amangkurat V dan Kapitan Sepanjang usai kekalahan mereka di Kartasura.

Mereka lantas melanjutkan perlawan dan bergerak ke arah timur. Tanggal 2 Desember 1943, Sunan Kuning menyerahkan diri di Surabaya. Sebagian sumber menyebut ia ditangkap saat hendak melakukan perundingan di markas VOC. Ia lantas dibuang ke Sri Langka, seperti kakeknya, Amangkurat III.

Sebelum penangkapan, ia terpisah dengan pengawal setianya yang seorang Tionghoa tulen, Kapitan Sepanjang, dalam sebuah pertempuran. Beberapa keterangan menyebut Kapitan Sepanjang bergerak ke Bali dan mengabdi di sebuah kerajaan di sana. [ ]

Back to top button