Koetaradja Fest yang Dianggap Menenggelamkan Sejarah Islam di Aceh Darussalam
JAKARTA– Hari Jumat (12/12) lalu Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Dinas Pariwisata menggelar event Koetaradja Fest yang mengusung tema ‘Mengenal Indonesia dari Koetaradja’. Kegiatan tersebut dibuka langsung oleh Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman.
Serambinews.com menulis, Aminullah dalam sambutannya menyampaikan bahwa Banda Aceh yang dulunya bernama Koetaradja sangat kaya akan sejarah masa lalu, termasuk sejarah perjuangan terhadap penjajahan Belanda. Dengan gelaran Koetaradja Fest itu Wali Kota berharap jejak sejarah itu tidak akan hilang dan selalu membekas di benak generasi muda Banda Aceh.
“Anak-anak kita harus tahu sejarah perjuangan pendahulu-pendahulu mereka. Nenek moyang kita dulu adalah pejuang-pejuang yang sangat heroik,” kata Aminullah.
Pada kesempatan itu, Kepala Dinas Pariwisata Banda Aceh, Iskandar, menyampaikan bahwa tema di atas diusung untuk membangkitkan ingatan pada Banda Aceh yang dulunya bernama Koetaradja memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi kemerdekaan Republik Indonesia. Event itu terdiri dari pameran dimana diisi berbagai stand dari aneka ragam instansi, lembaga dan komunitas yang menampilkan barang-barang tradisional, galeri pejuang.
Nama Koetaradja yang digunakan sebagai nama festival mendapat perhatian serius Arya Purbaya, pegiat sejarah Banda Aceh. Dalam tulisannya berjudul ‘Koetaradja, Kota Kolonial’ yang diunggah Aceh Darussalam Academy, Arya menolak kata Koetaraja digunakan sebagai nama festival karena tidak sesuai dengan fakta sejarah dan jati diri Banda Aceh. Pemerintah kolonial Belanda, menurut Arya, telah memaksakan nama Koetaradja untuk menggantikan toponimi Bandar Aceh Darussalam.
Padahal Koetaradja terlokalisasi hanya untuk menyebut Kuta Dalam/Istana Daruddunia. Ia tidak mewakili Banda Aceh secara keseluruhan.
Menurut Arya, Koetaradja pada awalnya adalah penyebutan kolonial Belanda untuk kompleks tersebut berdasarkan bahasa Melayu, sebelum diproyeksikan menjadi kota kolonial menggantikan sebuah bandar (kota pelabuhan) yang masyhur yaitu Aceh Darussalam. Padahal Otoritas Kesultanan Aceh sendiri menyebutnya Kuta Darud-dunia dan Kuta Dalam.
Karena Koetaradja secara historis pernah dipakai untuk mengganti topinimi Bandar Aceh Darussalam beserta seluruh tata ruangnya, maka ketika Pemerintah Kota Banda Aceh menggunakan kembali itu sebagai nama festival, berarti sama saja berusaha mengubur kembali sejarah Bandar Aceh Darussalam.
“Hal itu jelas mencederai cita-cita indatu (leluhur) yang telah membangun peradaban Islam di kota Bandar Aceh,” kata Arya, pegiat Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) dan Center of Information for Sumatera-Pasai Heritage (CISAH).
Masa getir bagi masyarakat Aceh ketika terjadi perang 70 tahun dengan Belanda. Sultan dan rakyat Aceh mengangkat senjata atas jawaban ultimatum Belanda pada tanggal 26 Maret 1837. Peperangan itu menyebabkan Banda Aceh menjadi puing dan Belanda yang kemudian berhasil menduduki istana pada tanggal 24 Januari 1874, mengganti nama Banda Aceh Darussalam menjadi Kutaraja oleh Gubernus Hindia Belanda Van Swieten.
Penggantian nama tersebut ditetapkan di Batavia pada 16 Maret 1874. Namun ditentang oleh kalangan tentara kolonial Belanda yang pernah bertugas di Aceh. Sampai kemudian tahun 1963 Kutaraja diganti menjadi Banda Aceh berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, 9 Mei 1963.
“Menolak penggunaan kembali toponimi Koetaradja bukan berarti kita meyakini bahwa nama tersebut karya cipta Belanda. Namun kita menolaknya atas nama sejarah. Karena toponimi itulah yang telah menenggelamkan kemasyhuran Bandar Aceh Darussalam hampir setengah abad, sebelum dikembalikan pada toponimi yang aslinya, yaitu Banda Aceh,” ujar Arya.
Arya menegaskan, penolakan penggunaan kembali toponimi Koetaradja memiliki landasan historis yang kuat. “Justru Pemerintah yang diwakili oleh Dinas Pariwisata perlu memperbaiki lagi bacaan sejarahnya, agar jangan sampai terkesan ikut melanjutkan proyek lama kolonial Belanda dalam penenggelaman sejarah Bandar Aceh Darussalam, sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara,” ia menambahkan.
Rujukan yang digunakan Arya di antaranya arsip Dutch Colonial Maps KIT tahun 1944 yang merupakan peta tata ruang Kolonial Belanda, yang menggambarkan Kota Kutaradja menggantikan tata ruang kota lama Bandar Aceh Darussalam, denah barak militer dengan judul ‘Militair kampement op het kratonterrein van Kota Radja’ yang dipublikasikan antara tahun 1880 dan 1883 koleksi KITLV. Ada pula sebuah foto yang dipublikasi antara tahun 1930-1940 koleksi KITLV berjudul ‘Een erepoort te Koetaradja’ yang merekam gerbang kehormatan ke Kutaradja dengan lambang salib di atas mahkota Kerajaan Belanda.
“Intinya, hal yang saya sampaikan adalah kritik positif terhadap Pemerintah Kota Banda Aceh terkait festival tersebut yang menggunakan nama Kutaradja. Kenapa tidak Bandar Aceh Darussalam Fest atau Duruddunia Fest yang maknanya lebih berakar dan membumi? Bukankah wajah peradaban Aceh adalah wajah peradaban Islam? Sehingga dijuluki Negeri Serambi Mekah dan sekaligus Daerah Istimewa. Wajah peradaban itulah yang mesti ditampilkan. Bukan wajah kolonial ” ujar Arya, panjang lebar, yang kalau dikali tinggi bisa menjadi volume. [Prd]